Nasional

Program Food Estate Dinilai Mengikis Kearifan Ekologi Masyarakat Adat

NU Online  ·  Selasa, 28 Oktober 2025 | 14:30 WIB

Program Food Estate Dinilai Mengikis Kearifan Ekologi Masyarakat Adat

Ketua Ikatan Keluarga Alumni STF Driyarkara Ruth Indiah Rahayu dalam Kuliah Terbuka bertema Hierarki Utang Pencedera Kehidupan: Kritik Ekofeminisme di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Ketua Ikatan Keluarga Alumni STF Driyarkara Ruth Indiah Rahayu menilai program food estate berpotensi mengikis kearifan ekologi masyarakat adat.


Menurutnya, program yang diklaim untuk memperkuat ketahanan pangan nasional itu justru membawa ancaman baru terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan komunitas lokal.


Ruth mencontohkan proyek food estate di Merauke, Papua, yang dinilai telah merusak sistem ekologis yang sebelumnya mendukung kehidupan masyarakat setempat.


“Kita sedang dihadapkan pada bentuk penghancuran baru. Program kedaulatan pangan yang semestinya menyejahterakan, justru menjadi ancaman terhadap keberlanjutan hidup komunitas lokal,” ujarnya dalam Kuliah Terbuka bertema Hierarki Utang Pencedera Kehidupan: Kritik Ekofeminisme di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).


Ia menegaskan bahwa pembongkaran cara berpikir menjadi langkah awal menuju tatanan sosial dan ekologis yang lebih adil. Menurutnya, perubahan struktural tidak dapat terwujud tanpa perubahan paradigma.


“Setidaknya sekarang pembongkaran epistemiknya dulu, karena langkah berikutnya adalah tindakan,” katanya.


Ruth menggarisbawahi bahwa kerusakan ekologis tidak terlepas dari pola pikir yang memandang alam sebagai objek eksploitasi. Ia menjelaskan bahwa konsep “utang” dalam kerangka ekofeminisme bukan sekadar persoalan finansial seperti dalam teori ekonomi neoliberal.


Ia mengutip pemikiran Ariel Salleh dalam buku Ego-sufficiency and Global Justice bahwa utang merupakan konsep ekologis dan politis yang mengungkap ketimpangan global dalam produksi dan konsumsi.


“Selama ini negara selatan selalu dianggap miskin karena tidak memiliki uang, padahal konsep kekayaan tidak semata-mata soal finansial,” tegas Ruth.


Dalam pemikiran Salleh, lanjut Ruth, terdapat tiga gagasan utama untuk menghadapi krisis ekologi global.


Pertama, dekolonisasi epistemologi, yaitu membongkar cara pandang Barat yang memisahkan manusia dari alam, serta mengangkat pengetahuan perempuan dan masyarakat adat sebagai science of survival.


Kedua, bioregionalisme dan kedaulatan pangan, yakni mendorong ekonomi berbasis komunitas lokal dengan prinsip hidup cukup dan selaras dengan lingkungan.


Ketiga, menempatkan perempuan sebagai subjek politik ekologis, terutama perempuan adat yang selama ini berperan menjaga keberlanjutan kehidupan dari tekanan kapitalisme, patriarki, dan kolonialisme.


Ruth menyerukan agar masyarakat dan kalangan akademisi tidak berhenti pada tataran intelektual, tetapi terlibat dalam aksi nyata.


“Semoga pembongkaran epistemik ini tidak berhenti di tataran ide, tetapi sampai pada tindakan nyata,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang