Pentingnya Kesadaran Kritis atas Berbagai Bentuk Penindasan Perempuan yang Dianggap Normal
NU Online · Ahad, 16 November 2025 | 19:45 WIB
Luviana Ariyanti saat berbicara dalam diskusi bertema Ngobrol Santai Pentingnya Narasi Feminis yang diadakan oleh Jakarta International Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (16/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Jurnalis dan aktivis perempuan, Luviana Ariyanti, menegaskan bahwa kesadaran kritis atas berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan menjadi langkah penting untuk membaca ulang pengalaman sehari-hari yang selama ini dianggap wajar.
Menurutnya, struktur sosial yang menempatkan perempuan dalam batasan-batasan tertentu—baik terkait tubuh, moralitas, maupun peran gender—perlu dilihat sebagai bentuk pembatasan, bukan kodrat.
“Feminisme pertama kali muncul dari perjuangan para perempuan di Prancis yang menentang dualisme penilaian terhadap tubuh mereka. Feminisme itu, membuat kita sadar bahwa banyak hal yang selama ini dianggap normal ternyata adalah bentuk penindasan,” ujarnya.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi bertema Ngobrol Santai Pentingnya Narasi Feminis yang diadakan oleh Jakarta International Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/11/2025).
Luviana menjelaskan bahwa feminisme membuka ruang bagi masyarakat untuk memahami dan mengkritisi bentuk-bentuk penindasan yang kerap dilegitimasi sebagai sesuatu yang wajar.
Ia mencontohkan seringnya tubuh perempuan sering menjadi objek penilaian yang tidak adil, termasuk pengalaman pribadinya terkait cara melahirkan secara sesar.
“Perempuan yang melahirkan normal selalu dianggap lebih baik. Sementara yang Caesar itu dinilai buruk. Bahkan dalam keluarga saya sering dibanding-bandingkan, ‘Eh kamu lahirannya normal ya, nggak kayak Luvi.’ Itu menyakitkan,” kata Luviana.
Ia menilai bahwa standar sempit yang mendefinisikan tubuh perempuan sempurna atau tidak merupakan warisan nilai-nilai patriarki yang masih kuat.
“Perempuan dituntut menjadi sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Kamu harus begini, harus begitu. Kalau tidak, kamu dianggap hilang dari peredaran,” tambahnya.
Baca Juga
Gus Dur dan Keseteraan Gender

Selain itu, Luviana mengkritik budaya produktivitas berlebihan yang menekan banyak perempuan, termasuk pelaku media.
Menurutnya, tekanan untuk menghasilkan konten secara cepat sering mengabaikan kualitas narasi dan membahayakan keberlangsungan media kecil.
“Kalau kamu tidak memproduksi sesuatu hari ini, kamu akan dianggap tidak ada. Media kecil seperti kami bisa dilindas hanya karena pembaca dianggap tidak cukup banyak,” ungkap Pemimpin Redaksi Kondedotco itu.
Luviana menekankan pentingnya menempatkan sejarah secara lebih inklusif, tidak sekadar sebagai history (cerita laki-laki), tetapi juga herstory (cerita perempuan). Narasi tanding, lanjutnya, diperlukan agar suara perempuan tidak terus-menerus terhapus dari cerita besar masyarakat.
“Dulu saya selalu bilang hanya ada satu kata: lawan. Tapi sekarang saya belajar bahwa tidak semua orang bergerak dengan cara yang sama. Kadang kita harus pelan-pelan,” tekannya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua