Gusdurian Dorong Reformasi Birokrasi Presiden Jokowi Bisa Minimalisasi Korupsi
Rabu, 25 Agustus 2021 | 04:01 WIB
Jakarta, NU Online
Korupsi di Indonesia masih marak terjadi, terutama di kalangan pejabat negara. Terakhir, praktik korupsi dana bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang dilakukan Mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara. Hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara karena menilai terdakwa sudah cukup menderita lantaran mendapat banyak cercaan dari masyarakat.
Menanggapi itu, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid mendorong Presiden Joko Widodo melalui upaya reformasi birokrasi yang dicanangkan dapat mengambil berbagai langkah konkret agar praktik korupsi, terutama di masa-masa krisis seperti pandemi Covid-19 ini, tidak lagi terjadi.
“Jadi ketika presiden mencanangkan reformasi birokrasi, itu termasuk salah satunya adalah meminimalisasi dan mencegah kemungkinan terjadinya praktik-praktik korupsi. Saya juga berharap presiden memperkuat lagi gerakan antikorupsi,” tutur Alissa kepada NU Online melalui sambungan telepon, Selasa (24/8) kemarin.
Namun, ia mengaku patah arang dan tidak memiliki harapan besar karena melihat kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri yang sudah dilemahkan melalui revisi Undang-Undang KPK di tangan presiden, beberapa waktu lalu.
“Saya sih nggak punya harapan besar terkait itu (pemberantasan korupsi). Saya patah arang dalam hal ini. Tetapi yang jelas, presiden perlu untuk memberikan perhatian khusus supaya reformasi birokrasi itu bukan hanya soal kinerja, tetapi juga meminimalisasi peluang-peluang terjadinya korupsi,” tegas putri sulung Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Soal berbagai praktik korupsi yang masih marak terjadi ini, Alissa masih sangat berharap kepada masyarakat untuk terus kritis dan sadar terhadap hak kewarganegaraannya. Artinya, ia menjelaskan, sebagai warga negara harus memiliki kesadaran untuk terus terlibat dalam mengawasi penyelengaraan negara.
“Kita sangat memerlukan warga negara yang sanggup untuk melakukan itu. Tetapi di sisi lain, saya juga berharap masyarakat tidak asal dalam kritik. Artinya bersikap kritis tidak sama dengan membabi-buta melakukan hujatan kepada siapa pun,” harap Alissa.
Lebih lanjut Alissa menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap koruptor di Indonesia yang dinilai masih banyak intrik di dalamnya, membuat masyarakat hilang kepercayaan. Bahkan, masyakarat jadi tidak bisa lagi mengandalkan hukum.
“Kemudian kita jadi enggak punya pegangan. Apa yang sebetulnya akan digunakan oleh hakim untuk mengambil keputusan, itu kita jadi nggak punya pegangan karena apa pun bisa dinegosiasikan,” kata dia.
“Tetapi coba kalau misalkan publik enggak tahu apa-apa, akan seperti apa? Kemarin ada remisi koruptor, kita lihat seperti apa? Pengurangannya sangat banyak. Itu kan pertanyaannya siapa yang menekan dan kepentingannya apa? Karena (proses pengambilan keputusan) tidak benar-benar berangkat dari sistem hukum yang menjamin keadilan,” pungkas Alissa.
Indeks perilaku antikorupsi Indonesia 2021
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa indeks perilaku antikorupsi (IPAK) Indonesia pada 2021 sebesar 3,88 pada skala 0-5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian 2020 sebesar 3,84.
Nilai indeks mendekati angka 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Sebaliknya, indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan perilaku masyarakat yang semakin permisif terhadap korupsi.
Tercatat, IPAK masyarakat perkotaan 2021 lebih tinggi (3,92) dibanding masyarakat perdesaan (3,83). Semakin tinggi pendidikan, masyarakat cenderung semakin antikorupsi. Pada 2021, IPAK masyarakat berpendidikan di bawah SLTA sebesar 3,83; SLTA 3,92; dan di atas SLTA 3,99.
Sedangkan IPAK masyarakat usia 40 tahun ke bawah dan 40-59 tahun, sedikit lebih antikorupsi. Pada 2021, IPAK masyarakat berusia di bawah 40 tahun sebesar 3,89; usia 40–59 tahun 3,88; dan usia 60 tahun atau lebih sebesar 3,87.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad