Jakarta, NU Online
Jalur kultural merupakan jalan paling efektif untuk menyelesaikan konflik bangsa ini. Konflik yang dipicu pemberontakan PKI 1965 juga harus diselesaikan dengan jalan kebudayaan.
<>
Demikian salah satu poin dalam seminar nasional bertema Rekonsiliasi Nasional; Telaah jalur Kultural sebagai Alternatif. Seminar tersebut digelar Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan (eLSIK) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), di gedung Juang 45, Menteng, Jakarta, (18/10).
Salah satu pembicara Agus Sunyoto mengatakan bahwa rekonsiliasi melalui jalur kultural sudah berjalan alamiah di kalangan masyarakat yang konflik. Ia mencontohkan di desa Trisula, Ploso Klaten, Kediri Jawa Timur.
Hampir seluruh warga desa itu anggota PKI. Tahun 1965 desa itu “dibersihkan”. Yang tersisa adalah janda-janda dan para anak yatim.
Tokoh agama dari desa tetangga mengambil inisiatif untuk memelihara anak yatim dan membantu para janda. Kemudian berkeliling dari rumah ke rumah mendoakan warga yang meninggal.
"Begitu juga yang terjadi di Madiun. Seorang kiai ada yang mengangkat anak yatim sampai 40 orang. Mereka dibesarkan, dididik, hingga bisa masuk menjadi pegawai negeri. Padahal pada waktu itu, pemerintah melarang anak PKI jadi pegawai negeri. Itu disebabkan orang tua anak-anak tersebut diatasnamakan kiai tersebut," ungkap Agus Sunyoto yang juga sastrawan.
Senada dengan Agus Sunyoto, Rais Syuriah PBNU KH Masdar F. Mas’udi mengatakan jalur kultural lebih tepat, karena lembaga hukum sudah rusak dan tidak netral dalam kasus 1965.
“Saya juga sepakat dengan dengan rekonsiliasi jalur kultural,” tegasnya. Begitupun jika dibawa ke pengdilan internasional, pasti akan dimasuki kepentingan-epentingan. “Lebih baik kita doakan saja supaya yang merasa benar dan merasa disalahkan itu bisa bertemu di surga,” katanya disambut tepuk tangan sekira 60 peserta.
Ia juga menganjurkan supaya setiap tahun digelar doa bersama untuk tragedi tersebut. Mengungkapnya dengan pengadilan tidak akan selesai karena setiap elemen masyarakat tersangkut-paut.
Penulis: Abdullah Alawi