Jelang HUT Ke-80 TNI, KontraS Luncurkan Catatan Kegagalan Reformasi dan Menguatnya Militerisme
Jumat, 3 Oktober 2025 | 12:00 WIB
KontraS saat menyampaikan catatan kegagalan reformasi sektor keamanan dan menguatnya militerisme, di Kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, pada Jumat (3/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meluncurkan Catatan Kegagalan Reformasi Sektor Keamanan dan Menguatnya Militerisme, di Kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2025).
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya menjelaskan, laporan ini menjadi bentuk evaluasi sekaligus kritik terhadap TNI agar dapat kembali pada prinsip demokrasi sesuai amanat Reformasi 1998.
“Kami mengacu pada berbagai data. Mulai dari kekerasan yang dilakukan TNI, pembentukan satuan baru, putusan pengadilan militer terhadap pelaku penganiayaan, penerjunan pasukan ke Papua, hingga intervensi militer di ranah sipil,” ujarnya.
KontraS mencatat, sepanjang Oktober 2024-September 2025 telah terjadi 85 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Peristiwa tersebut menyebabkan 182 korban, dengan rincian 31 orang meninggal dunia, 64 orang luka-luka, dan 87 orang mengalami intimidasi maupun teror. Bentuk kekerasan yang paling dominan adalah penganiayaan (35 kasus), intimidasi (19), penyiksaan (13), penembakan (11), dan kekerasan seksual (7).
Dimas menilai, meningkatnya kasus kekerasan prajurit TNI berkaitan erat dengan disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang menggantikan UU Nomor 34 Tahun 2004.
“Sebanyak 62,3 persen kasus terjadi setelah UU baru diberlakukan. Regulasi ini sejak awal diprotes masyarakat sipil karena dianggap menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan membuka ruang intervensi militer ke ranah sipil,” jelasnya.
Papua jadi episentrum kekerasan
Menurut Dimas, pendekatan militeristik di Papua justru memperburuk situasi kemanusiaan dalam satu tahun terakhir. Tercatat, 23 peristiwa kekerasan di Papua dengan 67 korban sipil. Selain itu, terdapat 5.859 prajurit TNI yang ditugaskan ke Papua, baik untuk pengamanan perbatasan, proyek strategis nasional, maupun operasi militer.
“Kebijakan ini tidak hanya mengancam warga sipil, tapi juga menelan korban di kalangan prajurit TNI dan anggota Polri. Sayangnya, hingga kini belum ada evaluasi serius dari DPR maupun pemerintah,” katanya.
Budaya kekerasan di internal TNI
Selain kekerasan terhadap warga sipil, KontraS juga menyoroti praktik kekerasan di internal TNI. Salah satunya kasus penyiksaan yang menewaskan Prada Luki Capril Saputra Nomo di Nagekeo, NTT, pada 6 Agustus 2025.
“Peristiwa ini menunjukkan budaya kekerasan masih mengakar dalam tubuh TNI, bahkan terhadap sesama prajurit,” ungkap Dimas.
KontraS menilai, tren menguatnya militerisme tidak hanya bersifat simbolik atau kultural, tetapi sudah nyata melalui pelibatan militer dalam ranah sipil dan penegakan hukum. Hal ini, menurut KontraS, berbahaya karena menyimpang dari prinsip demokrasi dan amanat Reformasi 1998.
“Catatan ini kami sampaikan sebagai ‘kado ulang tahun’ bagi TNI, dengan harapan reformasi sektor keamanan benar-benar dijalankan, bukan justru mundur ke belakang,” pungkas Dimas.