Penguasa Dinilai Makin Antikritik: Suara Rakyat Diremehkan, Dianggap Lolongan Anjing
Sabtu, 22 Maret 2025 | 07:00 WIB

Demo menolak pengesahan Revisi UU TNI di depan Gedung DPR RI, Kamis (20/3/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)
Aru Lego Triono
Penulis
Jakarta, NU Online
Sikap penguasa terhadap kritik dinilai sejumlah pihak semakin menunjukkan kecenderungan antikritik. Sejumlah elemen masyarakat menilai, kritik dari rakyat tidak lagi dianggap sebagai masukan, melainkan direspons dengan pernyataan yang meremehkan. Fenomena ini dinilai semakin menguat dalam sistem politik Indonesia yang elitis dan minim keterlibatan rakyat.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar mengungkapkan kekhawatirannya terhadap praktik politik yang terjadi saat ini. Ia menilai bahwa politisi lebih mementingkan keberpihakan kepada kelompok penguasa dibandingkan berperan sebagai oposisi yang mengawasi jalannya pemerintahan.
“Politisi kerap saling menolong asal 'lolos' bisa gabung dalam rombongan penguasa. Hal ini difasilitasi oleh sistem multipartai presidential yang memiliki sisi buruk, yaitu bisa menjadi tirani politisi koalisi mayoritas. Sebaliknya, nyaris tak ada yang mau jadi minoritas atau oposisi,” ujar Haris Azhar dihubungi NU Online, Jumat (21/3/2025).
Ia menambahkan bahwa politik semacam ini menyebabkan kebijakan yang diambil lebih berorientasi pada kepentingan elite, bukan rakyat. Akibatnya, kritik dari rakyat hanya dianggap sebagai gangguan.
“Kritik hanya dianggap suara yang tidak paham dan membahayakan. Hanya dianggap 'lolongan anjing',” kata Haris, mengacu pada respons pejabat terhadap kritik yang sering kali mengandung nada meremehkan.
Sementara itu, Sejarawan dan Dosen Universitas Nasional (Unas) Andi Achdian juga menyoroti hal serupa. Menurutnya, sifat antikritik yang berkembang saat ini berakar dari sistem politik yang elitis dan budaya militerisme yang masih kuat.
“Elite tidak perlu rakyat, tidak perlu suara mereka, karena suara mereka sudah dipilih dalam pemilu. Dalam struktur politik ini, para oligarki tidak merasa perlu mendengarkan rakyat. Itu hanya sekadar formalitas, bukan sesuatu yang harus dijalankan,” jelas Andi.
Ia menambahkan bahwa lemahnya gerakan sosial di Indonesia turut berkontribusi terhadap sikap penguasa yang semakin enggan mendengar kritik.
“Kita hidup dalam era di mana struktur organisasi sosial lemah. Tidak ada yang benar-benar dikhawatirkan oleh elite jika mereka tidak peduli terhadap suara rakyat,” tambahnya.
Andi juga menyoroti pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang sempat menyebutkan, "kita akan terus maju meskipun banyak gonggongan anjing."
Menurutnya, pernyataan semacam ini menunjukkan bagaimana kritik tidak dianggap sebagai bagian dari demokrasi, melainkan sekadar gangguan yang tidak perlu diperhatikan.
“Sikap seperti ‘anjing menggonggong, kafilah berlalu’ itu berasal dari pola pikir manajerial yang dianggap efisien dan efektif. Bagi mereka, pemerintahan dijalankan layaknya manajemen perusahaan. Yang penting adalah negara tetap berjalan, dan suara kritis tidak dianggap sebagai ancaman nyata,” kata Andi.
Terpopuler
1
Lailatul Qadar Ramadhan 1446 H Akan Jatuh pada Malam Ke-23 Menurut Imam Ghazali
2
Khutbah Jumat: Manfaatkan 10 Hari Terakhir Ramadhan untuk Raih Lailatul Qadar
3
Doa Malam Lailatul Qadar, Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
4
Masuk 10 Hari Terakhir Ramadhan, Berikut 6 Amalan yang Dianjurkan
5
Khutbah Jumat: Menggapai Lailatul Qadar dengan Sabar dan Ibadah yang Ikhlas
6
Khutbah Jumat: Tiga Tingkatan Orang yang Berpuasa Ramadhan, Mengapa Puasa Anda Bisa Berbeda?
Terkini
Lihat Semua