Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman Perlu Didukung Kemandirian Anggaran Lembaga Yudikatif
Kamis, 30 Oktober 2025 | 05:30 WIB
Jakarta, NU Online
Tim Kuasa Hukum Para Pemohon Harseto Setyadi Rajah, Didi Supandi, dan Isam Saifudin resmi menyerahkan Perbaikan Permohonan Perkara Nomor 189/PUU-XXIII/2025 tentang Uji Materiil UU Mahkamah Agung (MA), UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan UU Perbendaharaan Negara ke MK terkait Kemandirian Anggaran Badan Peradilan.
Permohonan ini berkaitan dengan uji materiil terhadap Undang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang (UU) Perbendaharaan Negara yang dinilai belum menjamin kemandirian anggaran badan peradilan. Salah satu poin penting dalam perbaikan permohonan tersebut adalah adanya penambahan pihak pemohon.
Menurut para pemohon, ketentuan dalam undang-undang yang diuji menunjukkan belum terwujudnya kemandirian anggaran lembaga yudikatif, sehingga prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana amanat konstitusi belum sepenuhnya terlaksana.
“Jadi salah satu poin perbaikan permohonan ini, ada penambahan pemohon, yaitu Nurhidayat, selaku Advokat Pajak (Tax Lawyer) sebagai Pemohon II, dan Irfan Kamil selaku wartawan dan juga sebagai Ketua Umum Ikatan Wartawan Hukum sebagai Pemohon III,” jelas Advokat Konstitusi sekaligus Pemohon I Viktor Santoso Tandiasa, Rabu (29/10/2025).
Selain penambahan pemohon, Viktor menjelaskan bahwa terdapat beberapa poin lain yang disempurnakan dalam dokumen perbaikan tersebut.
Pertama, para pemohon memutuskan untuk mengeluarkan satu objek pengujian, yakni Pasal 9 UU Komisi Yudisial (KY). Hal ini karena KY dianggap bukan pelaku kekuasaan kehakiman sehingga pengujian terhadap pasal tersebut dinilai tidak relevan.
Kedua, kami juga memasukkan penjelasan tentang asas nemo judex dan curia novit dimana pada pokoknya Mahkamah Konstitusi tidak sedang mengadili dirinya sendiri namun sedang melaksanakan peran dan fungsinya sebagai the guardian of constitution, sementara ketentuan norma yang diuji in casu Pasal 81A ayat (1) UU MA, Pasal 9 UU MK dan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara secara jelas dan terang benderang melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, karena menyebabkan Pelaku Kekuasaan Kehakiman menjadi tidak mandiri secara anggaran dan dapat menjadi alat intervensi Eksekutif.
Ketiga, lanjutnya, para pemohon menambahkan perbandingan dengan lembaga BPK. Mereka menjelaskan bahwa Pasal 35 Undang-Undang BPK mengatur mekanisme anggaran yang bersifat mandiri, di mana pengajuan anggaran dilakukan langsung kepada DPR untuk dibahas dalam pembahasan rancangan APBN.
"Hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang APBN," jelasnya.
Menurut Viktor, mekanisme tersebut memungkinkan BPK menjalankan fungsi audit secara bebas dari tekanan politik anggaran serta memperkuat prinsip check and balances dalam sistem pemerintahan.
“Mekanisme anggaran yang diatur pada Pasal 35 UU BPK tersebut seharusnya juga diberlakukan kepada MA dan MK, sehingga MA dan MK memiliki kemandirian anggaran untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka,” ujarnya.
Keempat, para pemohon juga menambahkan rujukan dari Buku Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010–2035 yang diterbitkan oleh MA. Dokumen tersebut menegaskan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kemandirian anggaran merupakan bagian dari visi besar yaitu Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.
Sebelumnya, Viktor telah mengajukan permohonan uji materiil terhadap sejumlah pasal dalam UU MA, UU MK, dan UU Perbendaharaan Negara yang dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Permohonan tersebut telah terdaftar di MK dengan Nomor 189/PUU-XXIII/2025, dan telah melalui sidang pendahuluan pertama pada 17 Oktober 2025. Adapun sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan dijadwalkan berlangsung pada Kamis, 30 Oktober 2025 pukul 13.30 WIB di Mahkamah Konstitusi.
Permohonan ini muncul di tengah kebijakan efisiensi fiskal nasional yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari upaya penataan keuangan negara. Namun, kebijakan tersebut dinilai berdampak langsung terhadap lembaga peradilan, antara lain berupa pemotongan sejumlah program Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi pada tahun anggaran berjalan.
Sejumlah program strategis seperti digitalisasi putusan, peningkatan layanan publik, dan dukungan kesejahteraan hakim diketahui mengalami penundaan atau pengurangan pagu anggaran akibat kebijakan efisiensi tersebut.
“Kami mendukung upaya efisiensi negara, tetapi efisiensi tidak boleh menjadi alat untuk mengintervensi atau menghambat fungsi kekuasaan kehakiman,” terangnya.