Jakarta, NU Online
PBNU menegaskan, selain politik uang, sentimen Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) agar dihindari pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten pada 2018 ini.
"Ini (sentimen SARA) soal serius yang semua pihak harus menyadari," kata Ketua PBNU H Robikin Emhas saat ditemui NU Online di lantai tiga, Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (10/1).
Menurut Robikin, penggunaan sentimen SARA jelas-jelas dilarang oleh regulasi dan diancam pidana.
Bahkan, katanya, kalau politik uang berdampak pada potensi timbulnya korupsi, tapi kalau penggunaan sentimen SARA berdampak pada perpecahan di masyarakat.
"Yang Kalau ini tidak dilakukan penegakkan hukum juga bisa merobek-robek tatanan sosial yang pada akhirnya mengancam kesatuan dan persatuan," jelas alumnus Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang ini.
Robikin mengatakan, siapa saja boleh bercita-cita menang dengan berkompetisi di Pilkada, tetapi harus jujur dan adil. "Kalau mau fair tentu kemudian patuh hukum dan kemudian mengedepankan nilai-nilai demokrasi substansial," katanya.
Pria yang juga menjabat Majelis Komite Nasional Komite Independen Pemantau Pemilu (KKIP) ini menilai, penegakkan hukum pada kasus SARA belum optimal, bahkan masih jauh dari harapan.
"Kita semuanya harus belajar dari Pilkada DKI di mana digunakannya mimbar-mimbar Keagamaan," katanya mengingatkan.
Menurut Robikin, penggunaan sentimen keagamaan yang tidak sesuai dengan koridor hukum yang ada, pada gilirannya bukan saja mendistorsi kualitas demokrasi itu sendiri, tetapi lebih jauh dari itu adalah bisa mendistorsi maksud dan tujuan dari agama itu dihadirkan.
"Jangan (sampai) ada orang yang mempolitisasi agama hanya untuk kepentingan politik praktis lima tahunan.
Daya rusaknya sangat tinggi dibanding dengan kemungkinan manfaat yang bisa diperoleh," jelasnya. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)