PBNU Rinci Pasal-pasal RUU HIP yang Bertentangan hingga Khawatir Timbulkan Konflik
Selasa, 16 Juni 2020 | 10:30 WIB
Menurut Kiai Said, Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945
Jakarta, NU Online
PBNU merinci pasal-pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila yang bertentangan, mempersempit tafsir, tidak relevan, tidak urgen, dan menimbulkan konflik. Karena itulah PBNU meminta DPR RI agar menghentikan proses legislasinya.
Hal tersebut disampaikan PBNU dalam konferensi pers yang dipimpin Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj yang didampingi sejumlah ketua, sekretaris jenderal dan wakil sekretaris jenderal PBNU, di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (16/6).
Ketua PBNU Bidang Hukum dan Perundang-undangan H Robikin Emhas merinci pasal-pasal dari RUU tersebut .
“Bahwa setelah mencermati dengan seksama Naskah Akademik dan draft RUU HIP, PBNU menyampaikan penilaian sebagai berikut,” katanya.
Pertama, Pasal 3 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.
Kedua, Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 mempersempit ruang tafsir yang menjurus pada mono-tafsir Pancasila.
Ketiga, Pasal 22 dan turunannya tidak relevan diatur di dalam RUU HIP.
Keempat, Pasal 23 dapat menimbulkan benturan norma agama dan negara.
Kelima, Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 merupakan bentuk tafsir ekspansif Pancasila yang tidak perlu.
Keenam, Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Menurut Kiai Said, Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945.
“RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh founding fathers bisa koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang polemis,” katanya.
Ia menambahkan, tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Pancasila sebagai Philosophische Grondslag dan Staatsfundamentalnorm merupakan pedoman yang mendasari platform pembangunan nasional. Jika dirasakan ada masalah mendasar terkait pembangunan nasional di bidang demokrasi politik Pancasila, maka jalan keluarnya adalah reformasi paket undang-undang bidang politik (legislative review). Begitu pula jika ada masalah terkait dengan haluan pembangunan ekonomi nasional, yang dirasakan menyimpang dari jiwa demokrasi ekonomi Pancasila, maka yang perlu dipersiapkan adalah RUU Sistem Perekonomian Nasional sebagai undang-undang payung (umbrella act) yang secara jelas dimandatkan oleh Pasal 33 ayat (5) UUD 1945.
“Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional,” katanya.
Sebaiknya, lanjut Kiai Said, proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang memulihkan perekonomian nasional.
Pewarta: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad