Nasional

Tantangan di Pesantren: Eksploitasi, Keamanan, Kenyamanan, dan Keselamatan Santri

Kamis, 23 Januari 2025 | 15:00 WIB

Tantangan di Pesantren: Eksploitasi, Keamanan, Kenyamanan, dan Keselamatan Santri

Pengasuh Pondok Mahasina Darul Quran Wal Hadits Jatiwaringin, Bekasi Nyai Hj Badriyah Fayumi saat mengisi sesi pada Kongres Pendidikan NU, Rabu (22/1/2024) di Hotel Bidakara Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU serta Lembaga Perguruan Tinggi PBNU mengadakan Kongres Pendidikan NU. Kongres kali pertama ini dilaksanakan di Hotel Bidakara, Jakarta pada Rabu (22/1/2025). 


Dalam kongres ada tiga sesi pembahasan yakni soal pendidikan sebagai basis penguatan karakter, transformasi pendidikan tinggi, dan pendidikan pesantren menjawab tantangan.


A’wan PBNU Nyai Hj Badriyah Fayumi mengungkapkan bahwa epistemologi pesantren sarat akan nilai. Pesantren memiliki konsep khidmah, berkah hingga pola pengasuhan 24 jam. Tata nilai ini, kata Nyai Badriyah, selanjutnya menjadi landasan cara pandang serta cara berbuat bagi kalangan pesantren. 


"Khidmah menjadi kurikulum hidup, tradisi ekospiritual yang terjaga di pesantren," ungkapnya.


Akan tetapi jika potensi pesantren tersebut tak dikelola dengan baik, justru akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Pengelola pesantren (pengasuh, pembina, pengurus) perlu melestarikan budaya luhur itu. Sebab itu, Nyai Badriyah menyarankan agar pola pengasuhan di pesantren dimaknai sebagai peran pengasuhan orang tua kandung.


“Tapi tantangan kita hari ini, ada oknum-oknum yang melakukan penyalahgunaan atas khidmah sehingga kemudian terjadi eksploitasi. Ini tantangan,” tegas Pengasuh Pondok Mahasina Darul Quran Wal Hadits Jatiwaringin, Bekasi itu.


Oleh karena itu, sambungnya, pengasuhan di pesantren itu parenting bukan fathering, sekalipun kebanyakan pengasuh pesantren itu laki-laki. Ia menegaskan bahwa pesantren itu rumah kedua bagi santri. Para santri membutuhkan ayah dan ibu di pesantren dalam wujud pengasuh, pembina, dan pengurus.


Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev mengibaratkan bahwa hubungan kiai dan santri bagai mursyid dan murid. Artinya, pengasuh pesantren bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup di dunia hingga akhirat terhadap diri para santri.


"Maka di situ keselamatan harus menjadi perhatian utama para kiai," ujar Kiai Hodri. 


Dalam rangka memaksimalkan peran kiai serta proses pembelajaran santri, pihaknya telah menyepakati lima titik transformasi, di antaranya pengasuhan dan kurikulum. Selain sebagai pemimpin utama, kiai disebut juga berperan dalam aspek institusional manajer dan leadership.


Peran ini, lanjut Kiai Hodri, mengharuskan adanya lembaga pendidikan Islam yang inklusif, terarah, dan dapat dikontrol oleh publik. Pasalnya, wilayah ini menjadi parameter bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat pesantren, terutama santri putra dan putri. 


"Jadi ekosistem di pesantren itu perlu diatur sedemikian rupa agar pesantren dapat dikelola dengan baik, tidak hanya mengandalkan kepercayaan bahwa kiai bersikap baik, tetapi ada hal-hal yang menggoda kiai sebagai manusia," ungkapnya.


Sementara itu, akademisi Katolik Hariyatmoko mengatakan, pendidikan karakter menjadi tanggung jawab setiap orang tua. Ia berpesan bahwa pendidikan karakter harus diemban tiap  orang tua atau guru, tidak memandang apakah bidang apa yang digelutinya.


"Jangan hanya kepada guru agama, guru pekerti atau (guru) PKN, tetapi setiap guru di setiap pelajaran menerapkan model pembelajaran yang di dalamnya ada unsur-unsur pendidikan karakter," tuturnya.