TNI Kebal Hukum, Imparsial Paparkan Pentingnya Reformasi Peradilan Militer
Kamis, 30 Oktober 2025 | 18:00 WIB
Koordinator Peneliti Imparsial, Annisa Yudha, saat memaprkan urgensi reformasi peradilan militer, di Tebet, Jakarta Selatan, pada Kamis (30/10/2025). (Foto: NU Online/Haekal Attar)
Jakarta, NU Online
Koordinator Peneliti Imparsial Annisa Yudha memaparkan pentingnya reformasi peradilan militer yang sebenarnya telah dicanangkan di dalam Undang-Undang (UU) TNI Nomor 34 2004 bahwa prajurit harus tunduk pada peradilan umum untuk pidana umum.
Ia menyoroti beberapa kasus yang ditangani pada peradilan militer bahwa persidangan terhadap anggota TNI sering tertutup, tidak menjunjung prinsip persidangan yang adil, dan mengabaikan hak serta perlindungan korban.
"Ini memperkuat kesan bahwa anggota TNI ini kebal hukum, kok hukum ini tidak bisa menembus seragam-seragam lorengnya mereka gitu," katanya dalam diskusi Imparsial dengan tema Urgensi Reformasi Peradilan Militer, Ketidakadilan Peradilan Militer dari Medan hingga Papua di Waroeng Sadjo, Tebet, Jakarta Selatan, pada Kamis (30/10/2025).
Mulanya, Annisa menunjukkan adanya masalah struktural dan kultural, terutama terkait disiplin, komando, dan penghormatan terhadap hukum. Hal ini, katanya, menjadi pekerjaan rumah untuk TNI bahwa reformasi peradilan militer bukan lagi isu kecil, tetapi urgensi besar.
Ia menyoroti kasus penembakan diduga oleh TNI terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Intan Jaya, Papua, pada tanggal 19 September 2020 dan kematian Jusni yang diserang dua anggota TNI di Jakarta Utara pada Februari 2020. Kedua kasus itu anggota TNI yang terlibat divonis dalam peradilan militer hanya satu tahun penjara.
"Ini semua kasus-kasus berat yang terjadi berakhir dengan hukuman-hukuman yang ringan dan sangat-sangat jauh dari rasa keadilan khususnya keadilan bagi korban yang merupakan warga sipil yang mungkin kalau disandingkan dengan anggota militer, mereka yang sipil tidak punya sumber daya, kemudian kekuatan untuk kemudian melawan," jelasnya.
Bahkan, lanjutnya, kasus kematian Mikael Histon Sitanggang (MHS), remaja berusia 15 tahun, akibat dianiaya oleh Sersan Satu Riza Pahlevi, anggota TNI di Jalan Pelikan Ujung, Perumnas Mandala, Kabupaten Deli Serdang. Ibu korban, Lenny Damanik, yang juga menghadiri diskusi ini, jelas Annisa, menolak vonis yang dianggap terlalu ringan yaitu sembilan bulan penjara dan membayar restitusi kepada korban.
Belum lagi, katanya, masih ada pekerjaan rumah terkait kekerasan terhadap perempuan di lingkungan militer. Ia menjelaskan kasus pidana yang melibatkan jurnalis perempuan di Kalimantan maupun kekerasan dalam rumah tangga oleh anggota TNI sulit diakses oleh korban, keluarga, atau pendamping ketika diproses di peradilan militer.
"Itu menjadi memperbesar kerentanan korban perempuan, ini menjadi PR besar lagi bagi institusi TNI khususnya dalam peradilan militer," katanya.
Menurut Annisa, ketiadaan reformasi peradilan militer akan semakin memperlebar jarak antara kontrol sipil dan militer, membuka peluang otoritarianisme baru, serta memperkuat impunitas TNI.
"Karena banyak kebijakan-kebijakan yang kemudian tidak berprinsip terhadap HAM, tidak fair dengan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi dan sebagainya. Ini semakin memperkuat kekebalan impunitas institusional militer dari hukum sipil," terangnya.