Oleh Ahmad Ishomuddin
Bagi manusia yang berakal sehat tanah air sebagai tempat tumpah darahnya sangatlah penting dan amat bernilai. Karenanya ia cintai dan tak pernah dilupakan. Cinta kepada tanah air merupakan fitrah yang kokoh dan menjadi tabiat setiap manusia. Berpisah dari tanah air atau bahkan kampung halaman saja terasa berat dan terasa menyiksa. Sehingga harapan kembali ke tanah air atau kembali ke tempat tinggalnya membawa kesedihan apabila tidak menjadi kenyataan, sedangkan bila menjadi kenyataan akan terasa sangat membahagiakan.
Kecintaan kepada tanah air bukanlah kebodohan (jahiliyah), apalagi sebagai bentuk penyembahan kepada "berhala-berhala abstrak" sebagaimana berhala kasat mata yang dibuat dan disembah oleh kaum pagan. Kecintaan kepada tanah air bukanlah kemusyrikan (menyekutukan Allah). Cinta tanah air adalah sebagaimana menghormat bendera merah putih yang bukan berarti menyembahnya.
Tanah air bukanlah sekedar gugusan tanah dan genangan air. Tanah air seringkali terkait sangat erat dengan teritorial tempat hidup manusia sebagai bangsa yang karenanya memiliki nilai dan bobot adat istiadat, budaya, posisi regional dan internasional, pengaruh politik dan bahkan hingga sejarah panjang yang penuh suka duka. Semua itu tidak mungkin dilupakan begitu saja oleh para penghuninya. Kecintaan kepada tanah air sebagai hal positif dan tidak sedikitpun tercela adalah perkara yang tidak dapat diingkari karena telah menjadi tabiat dan dorongan naluri setiap manusia.
Berkaitan dengan cinta tanah air ini ada banyak dalil yang menunjukkan kebolehannya. Jadi, keliru besar jika ada siapa saja, apalagi bila ada "tokoh agama", melarang atau mengharamkan cinta tanah air.
Berikut ini beberapa dalil tentang cinta tanah air dalam perspektif ajaran Islam:
Pertama, cinta tanah air dalam al-Qur'an dan menurut para ahli tafsir.
Allah berfirman,
ولو أنا كتبنا عليهم أن اقتلوا أنفسكم أو أخرجوا من دياركم ما فعلوه إلا قليل منهم ... ( النساء: 66 )
"Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): "Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!" niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka..." (Qs. al-Nisa': 66)
Dalam Tafsir al-Kabir, Juz XV, hal. 165; al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan ayat di atas,
جعل مفارقة الأوطان معادلة لقتل النفس
"Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri."
Pernyataan al-Razi di atas menjelaskan bahwa meninggalkan tanah air bagi orang-orang yang berakal adalah perkara yang sangat sulit dan berat, sama sebagaimana sakitnya bunuh diri. Jadi, cinta tanah air merupakan fitrah yang terhunjam sangat dalam pada jiwa manusia.
Kedua, cinta tanah air dalam hadits dan penjelasan ulama pen-syarah-nya.
ن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا قدم من سفر فنظر إلى جدرا ت المدينة أوضع راحلته وإن كان على دابة حركها من حبها ( رواه البخاري وابن حبان والترمذي )
"Diriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi SAW. ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat laju untanya. Dan apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah." (HR. Al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Turmudzi)
Mengomentari hadits di atas, dalam Fath al-Bari, Jilid III, hal. 621, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, "Hadits ini menunjukkan keutamaan kota Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air."
Hal yang sama juga dikemukakan dalam kitab 'Umdat al-Qariy, Jilid X, hal. 135, oleh Badr al-Din al-'Aini.
Ketiga, cinta tanah air menurut para ahli fikih.
Bahwa hikmah berhaji dan pahalanya yang besar karena mendidik jiwa menjadi lebih baik dengan meninggalkan tanah air dan keluar dari kebiasaannya. Dalam kitab al-Dakhirah, Jilid III, hal. 194, al-Qarafi menyatakan, "Manfaat haji adalah mendidik diri dengan meninggalkan tanah air."
Keempat, cinta tanah air menurut para wali.
Orang-orang yang saleh senantiasa mencintai tanah air. Dalam kitab Hilyat al-Awliya', Jilid VII, hal. 380, Abu Nu'aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada pimpinan kaum zuhud dan ahli ibadah, Ibrahim bin Adham, ia berkata, "Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air."
Berdasarkan beberapa dalil di atas, maka setiap orang beragama selain berkewajiban untuk mencintai agama yang dianutnya--dengan cara memahami dan mengamalkannya dengan sebenar-benarnya--juga berkewajiban untuk mencintai tanah airnya, karena mencintai tanah air itu tidak bertentangan dengan agama dan bahkan merupakan bagian dari ajaran agama yang wajib juga diamalkan.
Orang yang beragamanya benar dan cinta terhadap tanah airnya akan selalu memerhatikan keamanan tanah air, tempat hidupnya, kampung halamannya. Ia tidak akan membuat kegaduhan demi kegaduhan, tidak menebar kebencian dan saling permusuhan di antara setiap orang dan setiap suku serta para pemilik indentitas berbeda yang menempati setiap jengkal tanah airnya.
Orang yang mencintai tanah air karena perintah agamanya bahkan sanggup mengorbankan harta benda atau apa saja, bahkan mengorbankan nyawanya untuk kepentingan mempertahankan tanah airnya dari setiap ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Cukuplah kiranya kita belajar kepada bangsa-bangsa lain yang penduduk negerinya berpecah belah, saling menumpahkan darah, saling bunuh dan masing-masing mereka berjuang atas nama agama yang sama, namun mereka tidak peduli kepada nasib tanah airnya. Itu semuanya terjadi karena kecintaan mereka pada agama yang tidak diiringi dengan kecintaan kepada tanah air yang juga merupakan tuntutan agamanya.
Penulis adalah Rais Syuriyah PBNU