Fiqih Sosial: Persinggungan Pemikiran KH Sahal Mahfudh dan KH Ali Yafie
Ahad, 26 Februari 2023 | 17:15 WIB
Fiqih Sosial merupakan buah pemikiran yang identik dengan dua ulama besar nusantara, yakni KH Ali Yafie dan KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. Kiai Ali Yafie adalah ulama asal Wani-Donggala, Sulawesi Tengah. Lahir pada tanggal 1 September 1926, beliau tercatat sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Institut Ilmu Al Quran dan Universitas Islam Asy Syafi’yyah, Jakarta. Selain itu beliau juga tercatat pernah mendapatkan amanah sebagai Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais ‘aAm Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Sedangkan Kiai Sahal Mahfudh adalah ulama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah. Kiai Sahal memiliki dua versi tanggal lahir, yakni 17 Desember 1937/16 Februari 1933. Beliau tercatat sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen. Selain itu, beliau juga tercatat pernah mendapatkan amanah sebagai Rektor INISNU, Jepara (sekarang UNISNU), Direktur Perguruan Islam Mathali’ul Falah, Rais ‘Am PBNU selama 3 periode (1999-2014), Ketua Umum MUI selama 3 periode (2000-2014), Ketua DSN MUI (2000-2014).
Pada saat Kiai Ali Yafie menjadi Rais 'Aam PBNU (1991-1992), Kiai Sahal Mahfudh pernah mendampinginya sebagai Wakil Rais ‘Aam PBNU. Kiai Sahal wafat pada tanggal 24 Januari 2014, sedangkan Kiai Ali Yafie wafat pada tanggal 25 Februari 2023.
Secara istilah, dapat dikatakan bahwa fiqih sosial Kiai Ali Yafie dan Kiai Sahal Mahfudh muncul hampir bersamaan. Jika sebagai sebuah pemikiran, istilah Fiqh Sosial Kiai Ali Yafie, dikenal sejak diterbitkannnya buku Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, Hingga Ukhuwah (Mizan, 1995). Maka Fiqih Sosial Kiai Sahal dikenal sejak diterbitkannya buku yang berjudul Nuansa Fiqh Sosial (LKiS, 1994).
Meskipun secara istilah, fiqih sosial Kiai Ali Yafie dan Kiai Sahal dikenal setelah buku keduanya dilahirkan, akan tetapi, secara spirit pemikiran, gagasan fiqih sosial keduanya tumbuh beriringan jauh sebelum buku-buku tersebut diterbitkan. Fiqih sosial lahir karena keresahan sekaligus kepedulian kedua ulama tersebut dalam merespons persoalan umat. Keduanya berharap dapat ikut serta menyumbangkan pemikirannya guna mengembalikan fiqih pada watak asalnya. Yakni fiqih yang responsif terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan.
Meski memiliki istilah yang sama, dan sama-sama memiliki semangat kepedulian dan pemikiran progresif, akan tetapi fiqih sosial Kiai Sahal dan fiqih sosial Kiai Ali Yafie memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Untuk memahami fiqh sosial sebagai sebuah persinggungan pemikiran antara Kiai Ali Yafie dan Kiai Sahal Mahfudh, maka penting untuk menuliskan titik temu dan titik beda keduanya. Adapun titik persamaan dan titik perbedaan antara fiqih sosial Kiai Sahal Mahfudh dan Kiai Ali Yafie antara lain:
Pertama, keduanya sama-sama mendorong pemahaman yang komprehensif dalam memaknai ajaran agama dan mencari solusi bagi persoalan umat. Dalam kerangka mencari solusi terhadap persoalan umat ini, Kiai Sahal memberikan penjelasan mengenai pentingnya melakukan pengembangan fiqih baik secara qauli maupun secara manhaji.
Secara qauli, pengembangan fiqih dapat dilakukan dengan cara kontekstualisasi kitab kuning dan pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah ushuliyyah maupun kaidah fiqhiyyah. Secara manhaji, pengembangan fiqih dilakukan dengan cara pengembangan teori masalikul illat agar fiqih yang dihasilkan sesuai dengan maslahah ammah (KH MA. Sahal Mahfudh, 1994).
Pengembangan fiqih dengan berpijak pada pola bermadzhab secara qauli dan pola bermadzhab secara manhaji ditekankan oleh Kiai Sahal sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara kekuatan teks, pemahaman konteks suatu masalah serta mempertimbangkan temuan sains, teknologi dan ilmu sosial, dalam mencari solusi untuk kemaslahatan.
Sedangkan Kiai Ali Yafie memandang pentingnya tajdid (pembaharuan) dalam kehidupan beragama. Tajdid merupakan upaya penerapan norma-norma agama atas realitas sosial guna memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat dengan berpegang pada dasar-dasar (ushul) yang sudah diletakkan agama. Tajdid dalam pemikiran Kiai Ali Yafie memiliki ruang gerak yang luas dalam memperbaharui cara memahami, menginterpretasi, mereformulasi dan melakukan toepassing atas ajaran agama. Terutama untuk masalah di luar wilayah qath’iyyah (KH Ali Yafie, 1995).
Kedua, Kiai Sahal membangun landasan berfikir fiqh sosial dengan memberikan lima ciri pokok, yang kemudian lebih dikenal dengan lima prinsip dasar fiqh sosial (Umdah & Tutik, 2016). Sedangkan Kiai Ali Yafie melahirkan pemikirannya dengan melakukan kontekstualisasi pemahaman ajaran agama tanpa memberikan ciri pokok tertentu dalam pemikirannya.
Ketiga, Kiai Sahal memandang maqasid al syariah sebagaimana urutan tujuan kemaslahatan dalam al dlaruriyatul al khams, yakni: hifdz al din, hifdz al nafs, hifdz al nasl, hifdz al aql, dan hifdz al mal (KH MA. Sahal Mahfudh, 1994). Kiai Ali Yafie menyatakan bahwa pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup (hifdz al bi’ah) termasuk dalam kategori komponen utama dalam kehidupan manusia (al dlaruriyat al kulliyat).
Dengan demikian, komponen dasar kehidupan manusia tidak lagi sebagaimana yang dikenal dengan al dlururiyat al khams, tetapi berkembang menjadi al dlaruriyat al sitt. Menurut Kiai Ali Yafie, al dlaruriyyat al sitt meliputi: hifdz al nafs (perlindungan jiwa kehormatan), hifdz al aql (perlindungan akal), hifdz al mal (perlindungan harta), hifdz al nasb (perlindungan keturunan), hifdz al din (perlindungan agama), dan hifdz al bi’ah (perlindungan lingkungan hidup) (KH Ali Yafie, 2006)
Keempat, keduanya sama-sama melihat pentingnya ijtihad dalam mencari solusi bagi persoalan umat. Kiai Sahal menawarkan solusi dilakukannya ijtihad jama’i (ijtihad yang dilakukan secara kolektif) dalam proses istinbath hukum. Ijtihad jama’i adalah suatu ijtihad yang melibatkan beberapa ulama berdisiplin ilmu tertentu yang berbeda, untuk kemudian menetapkan ijtihad dalam satu atau beberapa perkara (KH MA. Sahal Mahfudh, 1994) Ijtihad fardi (ijtihad secara individu) menurut Kiai Sahal amat riskan dilakukan saat ini.
Hal ini mengingat semakin sulitnya individu-individu yang memiliki kualifikasi sebagai seorang mujtahid. Ketiadaan ulama yang mampu memenuhi persyaratan dalam melakukan ijtihad fardi tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindari kewajiban dalam ikut serta menyelesaikan persoalan umat (Tutik NJ. (Ed.), 2015). Karenanya, Kiai Sahal menekankan pentingnya dilakukan ijtihad jama’i.
Sedangkan Kiai Ali Yafie memandang pentingnya ijtihad dari dua perspektif. Pertama, ijtihad yang merupakan keharusan bagi setiap muslim secara individu (ijtihad yang bersifat fardlu ‘ain). Ijtihad pertama ini mengacu pada penalaran dalam menentukan pilihan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah tertentu.
Kedua, ijtihad yang bersifat fardlu kifayah. Yakni ijtihad yang mengandung pengertian terbatas, mengacu pada upaya penalaran yang bersifat ilmiah. Ijtihad kedua ini mengarah pada ruang lingkup peradilan dan kekuasaan kehakiman. Mengenai pengembangan pemahaman terhadap konsep fardlu'ain dan fardlu kifayah, Kiai Ali Yafie tidak hanya sebatas menggunakannya dalam membuat kategorisasi ijtihad. Lebih lanjut, Kiai Ali Yafie juga mengembangkan terma fardlu'ain dan fardlu kifayah dalam melihat hak dan kewajiban manusia.
Menurut Kiai Ali Yafie, segala permasalahan yang terkait dengan hak dan kewajiban manusia (baik kepada dirinya sendiri, maupun kepada sesama manusia), harus dipandang sebagai pola taklif dalam penetapan kewajiban individu (fardlu'ain) dan kewajiban kolektif (fardlu kifayah) (KH Ali Yafie, 1995).
Kiai Ali Yafie menggugah kepedulian umat terhadap persoalan-persoalan sosial dengan memperluas pemahaman mengenai kewajiban individu dan kewajiban kolektif. Fardlu‘ain dan fardlu kifayah yang di dalam kitab kuning lebih banyak dicontohkan dengan kewajiban sholat lima waktu (fardlu‘ain) dan sholat jenazah (fardlu kifayah), diberi pemahaman ulang dengan memperluas pemaknaan terkait dengan tugas manusia sebagai khalifah fil ardl.
Kelima, keduanya memiliki kemiripan terkait isu atau persoalan yang direspon dalam tulisan-tulisannya. Hal ini dapat dipahami karena Kiai Sahal dan Kiai Ali Yafie hidup sezaman. Namun, secara spesifik, Kiai Sahal lebih banyak merespons persoalan kesehatan ibu dan anak, kontrasepsi dan kependudukan, HIV/AIDS, pemberdayaan ekonomi, zakat produktif, profesionalisme pengelolaan zakat, pendidikan dan pesantren, NU dan kebangsaan, dll. Sedangkan Kiai Ali Yafie lebih banyak menuliskan respon beliau mengenai persoalan kontrasepsi dan kependudukan, kesehatan, asuransi, lingkungan, pengelolaan zakat, konsep pembangunan sosial-ekonomi, dan lain-lain.
Keenam, Fiqih sosial Kiai Sahal tidak hanya lahir dan mewujud dalam gerakan pemikiran. Namun fiqih sosial Kiai Sahal juga menyentuh gerakan sosial dengan menjadikan pesantren yang diasuhnya sebagai motor penggerak. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) Maslakul Huda hingga proses institusionalisasi gerakan pemberdayaan masyarakat menjadi lembaga ekonomi, lembaga pendidikan dan lembaga kesehatan.
Kiai Sahal mendorong penyelesaian problem masyarakat secara kolektif dengan mengedepankan gerakan yang terorganisir sehingga penyelesaian masalah dilakukan dengan mengandalkan kekuatan sistem dan lembaga. Bukan kekuatan individu semata (Tutik NJ. (Ed.), 2015). Sedangkan fiqih sosial dalam pandangan Kiai Ali Yafie banyak berhubungan dengan kebijakan-kebijakan pembangun yang dicanangkan oleh pemerintah kala itu. Hal ini, bisa dicermati dari berbagai tulisannya yang merespon isu-isu pembangunan, penjabaran nilai-nilai keagamaan yang bersinergi dengan nilai-nilai pembangunan, serta posisi akomodatifnya dalam menerima pembangunan sebagai pintu masuk untuk menciptakan kemaslahatan.
Pandangan fiqih sosial Kiai Ali Yafie berkorelasi dengan spektrum pembangunan yang berkelanjutan dan mewujudkan pembangunan sosial yang menegakkan semangat kemanusiaan. Kontribusi pemikiran fiqih sosial Kiai Ali Yafi yang bersentuhan dengan konsep pembangunan sebagai strategi pemaknaan sosial terhadap ajaran fiqih terletak pada upaya penjabaran nilai syariah secara kontekstual. Nilai utama yang ingin ditegakkan oleh fiqh sosial Kiai Ali Yafie mewujud pada upaya internalisasi keimanan dan ketakwaan, penegakan nilai amar ma’ruf nahi munkar, fungsionalisasi nilai kewajiban (fardlu) di wilayah publik secara proporsional, semangat ukhuwah yang global dan lintas sektor (Fathorrahman, 2016).
Ketujuh, keduanya pernah merangkap jabatan sebagai pucuk pimpinan dua organisasi besar di Indonesia. Yakni sebagai Rais ‘Am PBNU dan Ketua Umum MUI. Kiai Sahal sebagai pemimpin dua organisasi besar di Indonesia sekaligus pengasuh pesantren memiliki “pengikut” yang terus mengalami proses regenerasi. Kondisi ini berpengaruh pada gairah mengkaji pemikiran fiqih sosial Kiai Sahal.
Hingga hari ini, puluhan karya ilmiah yang dihasilkan dari kajian pemikiran maupun gerakan sosial yang dilakukan oleh Kiai Sahal. Belum lagi diskusi-diskusi ilmiah yang diikuti oleh ribuan santri Kiai Sahal yang kini tersebar di berbagai bidang khidmah perjuangan. Kiai Ali Yafie sebagai seorang ulama sekaligus guru besar di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, pemikiran-pemikirannya juga banyak menyita perhatian para akademisi. Terdapat puluhan karya ilmiah berupa tesis, disertasi ataupun artikel yang meneliti tentang fiqih sosial Kiai Ali Yafie.
Fiqih sosial pada akhirnya akan melewati ruang dan waktu. Sebagai sebuah gagasan, fiqih sosial mau tidak mau akan mengalami pemahaman dan penafsiran ulang sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh generasi selanjutnya. Hal ini menjadi kesemestian karena demikianlah sesungguhnya watak ilmu pengetahuan. Keberanian kedua tokoh Nahdlatul Ulama ini dalam memberikan pendapat dan memberikan penanda dalam pemikiran yang dilahirkannya, merupakan langkah besar yang perlu untuk dilanjutkan oleh generasi berikutnya.
Tutik Nurul Janah, Direktur Pusat Studi Pesantren & Fiqh Sosial IPMAFA Pati