Opini

Fiqh Sosial : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji (Tamat)

Senin, 14 Juli 2003 | 07:48 WIB

Pengembangan Fiqh Manhaji

Dalam fiqh, hampir tidak terdapat suatu hukum pun yang berlaku permanen kecuali bila ia digali dari dalil-dalil yang disepakati. Padahal, dalil-dalil semacam ini yang diistilahkan sebagai gath'iy jumlahnya sangat terbatas, karena al-Qur' an dan al-Hadits, yang merupakan sumber baku, tidak akan pernah lagi mengalami penambahan kuantitas atau kualitas.

<>

Setelah Rasulullah wafat. Sementara itu, al-Qur'an sendiri tidak seluruhnya merupakan petunjuk hukum, karena ia juga memuat hal hal lain, seperti "sejarah" dan nasehat moral. Sedangkan Al-Hadits, dalam kedudukannya sebagai "penerjemah tingkat pertama" Al-Qur'an, tentunya juga tidak memuat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak terdapat pada zamannya. Karena itu, perkembangan masalah yang melingkupi kehidupan manusia setelah periode Rasulullah ditentukan hukumnya berdasarkan kedua sumber hukum itu, dengan mengacu pada rumusan magashid al-syari'ah (tujuan-tujuan syari ah).

Magashid al-syari'ah itu, sebagaimana dipahami dari syari'ah yang telah ditetapkan pada periode Rasulullah, terdiri dari lima bagian. Pertama, mehndungi agama (hifdh al-din). Kedua, melindungi jiwa (hifdh al-nafs), yang diketahui dari kehalalan makan dan minum, serta diberlakukannya hukum diyat dan qishas untuk tindak pidana penyerangan dan pembunuhan. Ketiga, melindungi kelangsungan keturunan (hifdh al-nasl), seperti dianjurkannya pernikahan dan ditetapkan hukum pemeliharaan anak (hadlanah), serta larangan keras perbuatan zina berikut penerapan sanksi (had) atas pelanggarannya. Keempat, melindungi akal-pikiran (hifdh al-'aql), seperti anjuran untuk mengkonsumsi makanan yang sehat, dan larangan berikut ancaman hukuman bagi penggunaan muskirat (barang-barang yang memabukkan). Kelima, menjaga harta benda (hifdh al-mal), seperti kewenangan untuk melakukan mu'amalah, dan larangan melakukan pencurian.

Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek penyembahan Allah dalam arti terbatas pada serangkaian perintah dan larangan atau halal dan haram yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya. Keseimbangan kepedulian dapat dirasakan bila kita memandang hifdh al-din sebagai unsur magashid yang bersifat kewajiban bagi umat manusia, sementara empat lainnya kita terima sebagai wujud perlindungan hak yang selayaknya diterima setiap manusia. Dalam kerangka pandang ide, maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia, kecuali yang bersifat 'ubudliyah murni, harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan, karena hanya dengan menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dapat dilaksanakan dengan baik, meskipun tidak berarti bahwa tanpa hal kemaslahatan beribadah dengan sendirinya menjadi gugur. Bila pola pandang tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka risalal Rasulullah sudah sepantasnya kita klaim sebagai rahmatan li al-'alamir dan kaaffatan li al-nas.

Klaim, kita yang menyebut Islam baik sebagai rahmatan li al-'alamin maupun kaaffatan li al-nas, sebetulnya adalah kebanggaan yang melahirkan beban berat, sebab kedua kalimat itu akan memberi pengertian bahwa Islam adalah ajaran yang bersifat universal. Di sinilah beban itu muncul, sebab dengan begitu ia harus mampu beradaptasi dengan seluruh umat manusia yang sangat beragam, baik karena perbedaan geografis maupun tingkat kebudayaannya.

Sebagai jembatan penghubung kesenjangan waktu antara kejadian sekarang dengan turunnya wahyu, lembaga ijtihad bukan hanya boleh difungsikan, tetapi merupakan suatu kebutuhan. Bagi umat Islam, ijtihad adalah suatu kebutuhan dasar, bukan saja ketika Nabi sudah tiada, tetapi bahkan ketika Nabi masih hidup. Haditis riwayat Mu'adz Ibn Jabbal adalah buktinya. Nabi tidak saja mengizinkan, tetapi menyambut dengan gembira campur haru mendengar tekad Mu'adz untuk berijtihad, dalam hal-hal yang tidak diperoleh ketentuannya secara jelas dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Apabila di masa Nabi saja ijtihad bisa dilakukan, maka sepeninggal beliau, tentu jauh lebih mungkin dan diperlukan. Di kalangan umat Islam manapun, tidak pernah ada perintah yang sungguh-sungguh menyatakan ijtihad haram dan harus dihindari. Dalam kitab al-Radd ala man afsad fi al-ard, As-Suyuti dengan tandas berkesimpulan, pada setiap periode (