Opini

Kemah Pelajar Lintas Agama: Antara Amerika dan Indonesia

Rabu, 22 Januari 2025 | 18:00 WIB

Kemah Pelajar Lintas Agama: Antara Amerika dan Indonesia

Para peserta The Children of Abraham Coalition (COAC) di Chicago (Dok. Pribadi Fares)

"Ibaratnya, tanah air itu rumah kita"
KH Ahmad Mustofa Bisri

"All inhabitants of the globe are now neighbors"
Marthin Luther King Jr


Dua kutipan dari dua tokoh di atas menjadi fondasi penting dalam hidup di tengah keragaman ras, suku, agama, budaya, bahasa, dan lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Manusia bisa hidup melalui interaksi dengan manusia dan makhluk hidup lainnya.


Kehidupan dalam lingkungan yang homogen menjadi faktor sulitnya manusia berkomunikasi dengan mereka yang berbeda, baik agamanya, rasnya, budaya, dan lainnya. Terlebih jumlah kuantitas yang besar atau hal lain terkadang membuat manusia itu merasa superior sehingga mereka yang berbeda hanyalah kelas bawah saja. Atau pun dalam pikiran lain, komunitas yang berbeda itu menjadi ancaman karena muncul prasangka dan stigma berlebih.


Oleh karena itu, upaya pertemuan kelompok-kelompok berbeda itu dalam sebuah momentum menjadi penting sebagai upaya menghapus stigma dan prasangka satu sama lain. Kemah menjadi satu alternatif pertemuan itu, khususnya bagi anak-anak yang menjadi generasi penerus untuk menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman di masa yang akan datang.


Adalah The Children of Abraham Coalition (COAC), sebuah organisasi yang diinisiasi di Chicago selepas tragedi 9/11 atau 11 September 2003 di pinggiran barat laut Kota Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Stigma dan diskriminasi, serta perundungan terhadap Muslim pun meningkat karena tragedi itu. Karenanya, organisasi ini dibentuk agar diskriminasi itu tidak berlanjut dan keamanan serta kenyamanan hidup tidak lagi terganggu. Hal itu diupayakan melalui kampanye "salam, shalom, and peace" dengan ragam tindakan.


Di antara ikhtiar untuk mewujudkannya adalah dengan kegiatan kemah yang diikuti oleh anak-anak Muslim, Kristen, dan Yahudi seusia SD dan SMP. Mereka terlibat komunikasi yang intens dalam dua hari kemah itu, saling bertanya satu sama lain mengenai agama rekan-rekannya itu. Hal itulah yang menciptakan pemahaman dan penghargaan terhadap agama lain.


Fares, salah satu peserta, merasa agenda itu sangat mempengaruhinya dalam meningkatkan rasa hormat dan menghargai terhadap penganut agama yang lain. Sebab, kemah tersebut memang didesain khusus agar anak-anak dengan berlatar agama-agama Abrahamic bisa saling mengenal.


"Hal ini memungkinkan saya untuk melihat bagaimana iman kita mengajarkan rasa hormat dan hidup berdampingan, yang telah memengaruhi cara saya berinteraksi dengan orang lain, terlepas dari perbedaan mereka," katanya.


Komunikasi itu tidak berhenti di saat kemah saja. Namun, hubungan mereka terus berlanjut dan saling mendukung untuk bersama mewujudkan perdamaian yang dicita-citakan agar tidak ada stigma dan praduga.


"Setelah acara seperti Peace Camp, komunitas terus menjalin ikatan melalui keterlibatan berkelanjutan dalam perencanaan dan penyelenggaraan acara mendatang. Hal ini membantu para peserta tetap terhubung dan terus bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Kolaborasi yang berkelanjutan menumbuhkan rasa persatuan dan tujuan di antara anggota komunitas, yang memungkinkan hubungan semakin erat dan kuat," kata pria berlatar belakang Suriah itu.


Fares pun terinspirasi untuk terus berikhtiar melawan narasi kebencian terhadap orang yang berlatar belakang identitas berbeda. Kehidupan harmonis menjadi cita-cita bersama dalam lingkungan yang sangat beragam. 


"Tujuannya adalah untuk menciptakan komunitas yang lebih harmonis di mana orang-orang dari berbagai latar belakang, budaya, dan agama dapat hidup berdampingan secara damai dan penuh rasa hormat," ujarnya.


SMA Kolase Kanisius Jakarta juga memberikan pengalaman berarti bagi murid-muridnya dengan mengirim mereka ke pesantren, di antaranya ke Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat pada 2022 lalu. Mereka pun merasakan bagaimana menjadi seorang santri yang jadwalnya cukup padat karena mengaji sampai malam dan harus berlanjut mencuci pakaian sampai lewat tengah malam. Beberapa juga tampak saling mengoreksi hafalan di pertengahan malam itu.


Hal tersebut membuat Bennaya Jonathan Raja Partogi Siagian, salah seorang siswa SMA Kolase Kanisius, merasa kagum. Pasalnya, mereka juga sudah harus bangun Subuh untuk shalat berjamaah dan mengaji lagi sebelum kemudian berangkat sekolah.


Penerimaan para santri tersebut membuat rasa saling menghargai semakin tertanam. Terlebih ketika disebut "SMA Kolase Kanisius", para santri serentak menjawab, "Saudara kita". Hal demikian sangat menyentuh Ignatius Bryan Chai. Pertemuannya dengan para santri memberikan pemahaman bahwa ia dan mereka memang berbeda, tetapi tidak berarti saling bermusuhan, justru bisa dipersatukan dalam bingkai keindonesiaan. “Kita memang berbeda, tetapi kita bisa bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah,” katanya sebagaimana dikutip NU Online pada Selasa (21/1/2025).


Persentuhan santri dengan siswa dari Kanisius tentu memberikan kesan tersendiri bagi mereka. Pasalnya, dari sisi agama, mereka biasa hidup homogen karena mengikuti praktik keagamaan yang diajarkan kiainya. Sepanjang hari, mereka mengaji dan sekolah di lingkungan yang sama. Jangankan dengan mereka yang non-Muslim, santri juga belum terbiasa bersentuhan dengan Muslim yang berbeda mazhab. Karenanya, agenda menginap di pesantren itu menjadi hal dan pengalaman baru bagi mereka.


Kemah Antaragama, Astacita, dan Masa Depan Kerukunan Indonesia
Kemah seperti COAC atau tinggal dalam sebuah komunitas berbeda yang dilakukan SMA Kolase Kanisius Jakarta menjadi praktik penting untuk menanamkan bibit-bibit pemahaman dan penghargaan atas perbedaan. Hal itu sekaligus menghapus ragam stigma dan praduga yang tidak-tidak. Sebagaimana disampaikan dalam dua kutipan di atas, bahwa Indonesia bahkan dunia merupakan rumah bersama yang harus dijaga.


Kemah dengan desain seperti itu juga merupakan langkah penting yang sangat cair sebagai sebuah bentuk dialog antaragama. Terlebih kemah ini tidak ditujukan untuk para pemimpin atau tokoh agamanya, melainkan oleh anak-anak. Disebutkan dalam sebuah hasil evaluasi para cendekiawan mengenai dialog antaragama, bahwa perlu ada dalam dialog-dialog macam itu, di antaranya perpindahan dari dialog antara tokoh ke pelibatan antara pengikut.


Agenda yang digelar dalam kemah juga biasanya lebih informal. Bahkan hubungan di luar agendanya bisa lebih kuat karena ada komunikasi-komunikasi yang lebih intens setelah itu. Dari situ pula, dalam sebuah kelas Micro-Credential Dana Abadi Pesantren bersama Mahan Mirza, pengajar American Islamic College dan University of Notre Dame, peserta mengajukan satu peralihan lagi, yakni dari dialog ragam formal ke informal. Sebab, dalam sebuah agenda informal dengan bincang santai, pertautan antara peserta terasa lebih emosional.


Hal demikian ini selaras dengan salah satu astacita Prabowo-Gibran, yaitu memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Dalam penjelasannya, toleransi antarumat beragama bukan hanya menjadi semboyan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata, memastikan setiap warga negara merasa dihargai dan dilindungi hak-haknya dalam menjalankan ibadah. Karenanya, percangkokan kemah-kemah seperti COAC dan SMA Kolase Kanisius dalam konteks Indonesia perlu diperbanyak dan diperluas. Dengan adanya kegiatan tersebut, rasanya masa depan hubungan masyarakat bisa kian erat nan rukun karena tumbuhnya kesalingpahaman dan penghargaan satu sama lain. 


Hal tersebut semakin penting untuk lekas diwujudkan mengingat hasil riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Institute for Research and Empowerment pada tahun 2023 menunjukkan bahwa wacana pendekatan ekonomi, sosial, dan budaya dalam ikhtiar mencegah kekerasan ekstremisme belum ditangkap secara kuat dalam implementasinya, terutama di tingkat lokal. Bahkan, praktik implementasi banyak ditemukan karena dorongan dan kegiatan yang digelar organisasi masyarakat berbasis komunitas dan penguatan lokalitas dengan pendekatan kultural. Hal ini perlu didukung oleh pemerintah.


Laporan akhir Praktik Moderasi Beragama di Lembaga Publik yang dilakukan INFID juga merekomendasikan agar memperkuat dan mengupayakan ide-ide kreatif praktik moderasi beragama. Rekomendasi lain adalah perlunya mengupayakan kegiatan yang memfasilitasi perjumpaan antaragama, termasuk perjumpaan anak didiknya dengan kalangan minoritas. Di situlah peranan pemerintah dapat menjadi jembatan yang dapat menghubungkan konektivitas mereka agar membuka cakrawala pemikirannya, pengetahuannya, dan pengalamannya.


Syakir NF, pengajar di Pondok Pesantren Darul Amanah, Buntet Pesantren Cirebon dan peserta Micro-Credential Dana Abadi Pesantren, Kementerian Agama-LPDP


Tulisan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).