Menjelang peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober, puisi “Lirboyo” karya KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) kembali menemukan relevansinya. Puisi ini bukan sekadar ungkapan rindu seorang alumnus terhadap almamaternya, tetapi juga renungan yang menyentuh inti persoalan keberpesantrenan: bagaimana menjaga ruh keilmuan dan kesederhanaan di tengah perubahan zaman.
Di sinilah puisi Gus Mus berbicara dengan cara yang lembut tapi menggigit. Pertanyaan berulang “Lirboyo, Kaifa Hal?” (Lirboyo, bagaimana kabarmu?) bukan sekadar nostalgia, melainkan panggilan nurani: masihkah pesantren menjadi tempat lahirnya kesungguhan, keikhlasan, dan kebersahajaan sebagaimana dahulu? Masihkah “tebu-tebu berderet manis” dan “petromak sepembuluh bambu” menjadi metafora kehidupan yang bersahaja namun penuh cahaya?
Puisi ini mengajak kita menengok kembali makna “pembangunan”; bukan hanya menegakkan bangunan bertingkat, tetapi menegakkan bangunan ruhani. Ketika tubuh pesantren membesar tetapi jiwanya menyusut, maka di situlah kekhawatiran Gus Mus menjadi nyata: pesantren bisa tegak, tetapi kehilangan cahaya dari dalamnya.
Lirboyo Kaifa Hal
Lirboyo,
Masihkan tebu-tebu berderet manis melambai di sepanjang jalan
menyambut langkah gamang santri anyar menuju gerbangmu?
Ataukah seperti di mana-mana
pabrik-pabrik dan bangunan bergaya sepanyolan yang angkuh dan genit menggantikannya?
Lirboyo,
Masihkan mercusuar-mercusuar petromak sepembuluh bambu
setia menemani para santri bersaharul layali?
Ataukah seperti di mana-mana
neon-neon kebiruan yang berjaga kini seperti bola-bola lampu
menggantikan teplok-teplok gothakan?
Lirboyo,
Masihkan shorof dan i‘lal dihafal di serambi, dapur dan pematang?
Dan senandung alfiyah membuai merdu?
Ataukah seperti di mana-mana
santri lebih suka menghafal lagu-lagu dan alunan dangdut
dari transistor modern masa kini?
Lirboyo,
Masihkah musyawarah pendalaman ilmu dan halaqoh-halaqoh
menghidupkan malam-malam penuh ghirrah dan himmah?
Ataukah seperti di mana-mana
diskusi-diskusi sarat istilah tanpa kelanjutan
dinilai lebih bergengsi dan bergaya?
Lirboyo,
Masihkan sari-sari pikiran Al-Ghazaly dikaji sore
dan setiap saat dicontohkan dalam perilaku Bapak Kiai?
Ataukah seperti di mana-mana
penggalan-penggalan kata-kata mutiara
dianggap lebih bermakna salam kaligrafi dan majalah-majalah?
Lirboyo,
Masihkan santri-santri bersama-sama melakukan sholat setiap waktu
dalam derajat ganjarannya yang berlipat dua puluh tujuh?
Ataukah seperti di mana-mana
orang merasa tak punya waktu
sibuk memburu saat-saat kesendirian untuk diri sendiri?
Lirboyo,
Masihkah Mbah Manab, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus
memercikkan tsawab berkah dalam suksesi ilmu dan amaliyah?
Ataukah di mana-mana
mereka tidak punya arti apa-apa
kecuali dibuat dikenang sesekali dalam upacara haul yang gegap gempita?
Lirboyo,
Masihkah senggotmu terasa berat bagi penimbanya?
Ataukah lebih berat lagi?
Lirboyo,
Kaifa Hal?
Bagaimana kabar Gus Idris, Gus War, Gus Imam, Gus Maksum?
Lirboyo,
Di mana-mana ada Lirboyo
Di mana-mana ada Mbah Manab
Di mana-mana ada Mbah Marzuqi
Di mana-mana ada Mbah Mahrus
Dari senggotmu mereka menimba
Lirboyo,
Aku rindu kau…!!!
(K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), 1991. Ohoi: Kumpulan Puisi Balsem. Jakarta: Pustaka Firdaus).
Baca Juga
Sejarah Hari Santri
Pembangunan Ruhani di Tengah Pembangunan Fisik
Puisi “Lirboyo” karya KH. A. Mustofa Bisri tidak hanya menyimpan nostalgia terhadap masa silam pesantren, tetapi juga menjadi seruan reflektif tentang arah pembangunan umat dan bangsa. Gus Mus memotret perubahan zaman dengan nada lirih, mengajukan pertanyaan yang menggugat kesadaran kolektif: masihkah nilai-nilai ruhani, kesederhanaan, dan keberkahan menjadi pusat kehidupan pesantren, ataukah semuanya telah tergeser oleh gemerlap modernitas?
Pertanyaan-pertanyaan retoris dalam setiap bait, “Masihkah... Ataukah seperti di mana-mana...”, menjadi pola spiritual yang menggambarkan pertarungan antara dua arus besar: pembangunan lahiriah dan pembangunan batiniah. Gus Mus tidak menolak kemajuan, tetapi mengingatkan bahwa pembangunan tanpa ruh akan kehilangan makna sebagaimana pabrik-pabrik menggantikan ladang tebu yang dulu menyambut santri dengan manisnya kesahajaan.
Puisi ini terasa semakin relevan ketika kita menatap kenyataan mutakhir: bangunan fisik pesantren bertumbuh megah, tetapi jiwa kesantrian kerap memudar. Santri kini memiliki akses teknologi dan kemudahan hidup, tetapi kadang kehilangan daya tahan spiritual yang dulu tumbuh dari tirakat, ngaji bandongan, dan disiplin ilmu yang penuh adab. Gus Mus, melalui bait-baitnya, ingin menegaskan bahwa pesantren sejati bukan hanya tempat membangun gedung, tetapi tempat membangun manusia.
Dalam konteks Hari Santri Nasional, puisi ini meneguhkan kembali makna “santri” sebagai penjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara akal dan hati, antara kemajuan dan kesadaran. Gus Mus mengajak kita untuk kembali kepada ruh Lirboyo, yang bukan sekadar nama pesantren, tetapi lambang dari tradisi ilmu, keteladanan kiai, dan kesahajaan yang melahirkan keberkahan. Ketika di akhir puisinya ia menulis “Aku rindu kau…!!!”, sesungguhnya itu bukan rindu pada tempat, tetapi rindu pada suasana ruhani yang kini terancam lenyap di tengah gemerlap zaman.
Refleksi Gus Mus seolah menggemakan sabda Nabi ﷺ: “Bukanlah kaya itu banyak harta, tetapi kaya adalah kaya hati.” Dalam bahasa sastra, Gus Mus mengubah hadis itu menjadi kesadaran sosial: pembangunan yang sejati bukan menegakkan gedung-gedung tinggi, melainkan menegakkan jiwa-jiwa yang kuat menanggung amanah Tuhan. Di sinilah nilai argumentatif puisi ini berdiri, sebagai kritik lembut terhadap euforia pembangunan yang sering melupakan keseimbangan antara lahir dan batin, antara kemajuan dan keberkahan.
Puisi “Lirboyo” dalam Konteks Hari Santri
Puisi “Lirboyo” karya KH. A. Mustofa Bisri lahir dari keprihatinan yang dalam terhadap perubahan nilai dalam kehidupan pesantren dan bangsa. Dalam konteks Hari Santri Nasional, puisi ini menjadi cermin yang jujur, bahkan menyakitkan, bagi siapa pun yang masih mengaku santri, baik secara kultural maupun spiritual. Gus Mus menghadirkan Lirboyo bukan sekadar nama pesantren di Kediri, melainkan metafora tentang pusat-pusat ruhani yang kini diuji keteguhannya di tengah arus modernitas dan pembangunan fisik yang serbacepat.
Beberapa waktu terakhir, publik sempat menyoroti kondisi bangunan di sejumlah pesantren, termasuk kekhawatiran akan keamanan konstruksi setelah terjadinya tragedi di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 September 2025. Saat itu, sebuah musala tiga lantai ambruk ketika para santri sedang melaksanakan salat Asar berjamaah, menelan 67 korban jiwa dan melukai lebih dari seratus orang. Menurut laporan BNPB, peristiwa itu disebabkan oleh kegagalan struktur bangunan akibat pondasi yang tidak kuat menahan beban tambahan dari proses pengecoran lantai atas yang tengah berlangsung.
Tragedi tersebut menggugah kesadaran publik akan pentingnya kehati-hatian dalam membangun pesantren, bukan hanya dari aspek fisik, tetapi juga dari aspek nilai dan ruhani.
Kekhawatiran publik itu sempat menyinggung Lirboyo, pesantren besar yang selama ini menjadi simbol keteguhan tradisi keilmuan dan spiritual di Jawa Timur. Namun, bagi Gus Mus, sebagaimana terpantul dalam puisinya, yang perlu dijaga bukan hanya bangunan bata dan semen, melainkan bangunan ruhani: ilmu, adab, dan keteladanan yang menjadi fondasi sejati pesantren. Ia seolah berkata bahwa pesantren yang sejati akan tetap kokoh, bahkan ketika dunia di sekitarnya retak.
Dalam salah satu baitnya, Gus Mus menulis: “.../ Masihkan sari-sari pikiran Al-Ghazaly dikaji sore/ dan setiap saat dicontohkan dalam perilaku Bapak Kiai?/ Ataukah seperti di mana-mana/ penggalan-penggalan kata-kata mutiara/ dianggap lebih bermakna salam kaligrafi dan majalah-majalah?/...”
Baca Juga
Perlawanan Imam Nawawi kepada Pemerintah
Bait ini merupakan sindiran lembut namun tajam. Ia menyoroti pergeseran epistemologis dari substansi ke simbol, dari keteladanan hidup ke sekadar kutipan indah. Pesantren sejati tidak dibangun oleh retorika, tetapi oleh praksis ilmu yang menghidupkan akhlak. Ketika Gus Mus menyinggung “penggalan-penggalan kata mutiara,” beliau sedang mengingatkan kita agar tidak tergoda oleh gemerlap simbol dan slogan modern yang sering kali kosong dari makna.
Dalam kerangka refleksi Hari Santri, puisi ini menyeru kita untuk menata kembali prioritas pembangunan pesantren: bukan hanya mengukuhkan fondasi beton, tetapi memperkuat fondasi batin. Lirboyo, dan pesantren lain di Nusantara, sejatinya bukan menara gading, melainkan taman ruhani tempat manusia belajar tentang kesahajaan, pengorbanan, dan keikhlasan.
Sastrawan dan pemikir Acep Zamzam Noor pernah menegaskan bahwa puisi religius sejati adalah “doa yang berwujud kata” (Noor 1989). Dalam pengertian itu, “Lirboyo” bukan sekadar nostalgia atau kritik sosial, melainkan doa agar dunia pesantren tetap teguh berdiri di tengah zaman yang retak. Gus Mus memanggil nama-nama para kiai sepuh dengan rindu, seakan membangkitkan kembali roh keilmuan dan spiritualitas yang selama ini menjadi tiang penopang peradaban santri.
Jika pembangunan fisik adalah “dinding dan atap,” maka pembangunan ruhani adalah “udara” yang menghidupinya. Puisi Gus Mus menjadi peringatan agar kita tidak membangun pesantren seperti membangun gedung perkantoran: indah dari luar, tetapi kosong di dalam. Ia menegaskan bahwa santri harus tetap menjadi penjaga keseimbangan, bukan hanya penerus tradisi, tetapi juga pembaru nilai yang menghidupkan zaman.
Antara Idealitas dan Kenyataan
Dengan demikian, baik sastra santri maupun sastra pesantren bukan sekadar idealitas konseptual, melainkan kenyataan estetik dan sosial yang telah berdenyut lama dalam tubuh sastra Indonesia modern. Puisi Gus Mus “Lirboyo” menegaskan hal itu: ia memadukan nostalgia, kritik sosial, dan doa spiritual, sekaligus mengingatkan bahwa keteguhan pesantren tidak ditentukan oleh megahnya bangunan fisik, melainkan oleh kokohnya ruh dan nilai yang diwariskan para kiai.
Namun, hingga kini keduanya belum sepenuhnya memperoleh pengakuan epistemik; dalam arti, sastra santri masih jarang diperlakukan sebagai kategori analitis yang setara dalam khazanah kritik sastra Indonesia. Sejarawan dan sastrawan Kuntowijoyo pernah menegaskan bahwa “Islam di Indonesia memerlukan kesadaran kultural, bukan hanya kesadaran formal” (Kuntowijoyo, 2006). Pernyataan ini menegaskan bahwa label formal seperti “santri” atau “pesantren” tidak cukup tanpa pemahaman mendalam terhadap cara berpikir dan berperasaan yang menjadi ruhnya.
Sastra santri karena itu harus ditempatkan sebagai wujud kesadaran kultural Islam Nusantara, bukan sekadar simbol keagamaan, melainkan arus ruhani yang memperkaya keberagaman sastra nasional. Dalam konteks ini, puisi Gus Mus berfungsi bukan hanya sebagai karya estetis, tetapi juga sebagai media pembelajaran nilai, refleksi moral, dan penguat spiritualitas kebangsaan. Ia menegaskan bahwa idealitas pesantren, mulai dari keteladanan para kiai, disiplin santri, hingga penghormatan terhadap ilmu dan tradisi, mesti terus dipelihara di tengah derasnya arus modernisasi dan pembangunan.
Kenyataan seperti sorotan publik terhadap keselamatan bangunan di Lirboyo maupun tragedi Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo menjadi pengingat akan rapuhnya sisi material, tetapi sekaligus memperlihatkan daya tahan spiritual dunia pesantren. Dalam situasi seperti itulah sastra santri mengambil peran kritis: menjaga agar nilai-nilai ruhani tidak runtuh bersama dinding yang retak, serta meneguhkan makna pengabdian, kesahajaan, dan kebersamaan.
Puisi “Lirboyo” adalah panggilan untuk menegakkan integritas ruhani di tengah zaman yang retak. Gus Mus memadukan kritik sosial dengan kerinduan spiritual, menghadirkan refleksi yang melampaui batas-batas institusional pesantren. Ia berbicara kepada seluruh masyarakat yang mencintai nilai keikhlasan dan ilmu yang hidup. Melalui kesadaran kultural inilah, sastra santri membuktikan dirinya sebagai ruang keteguhan, tempat idealitas dan kenyataan berpadu dalam satu napas perjuangan yang terus hidup.
Menjaga Ruh di Tengah Perubahan
Di tengah derasnya arus modernisasi dan digitalisasi, pesantren menghadapi ujian baru: bagaimana menjaga ruh estetik dan spiritual agar tidak larut dalam budaya instan dan serba dangkal. Puisi “Lirboyo, Kaifa Hal” karya KH. A. Mustofa Bisri seolah berbisik dari masa lalu untuk mengingatkan bahwa bangunan pesantren sejati bukanlah bata dan semen, melainkan ruh, adab, dan ketulusan yang menopangnya.
Kita boleh membangun gedung tinggi, memperluas fasilitas, atau menata sistem pendidikan dengan lebih modern. Namun, jika yang retak adalah adab dan rasa hormat kepada ilmu, maka pesantren sejatinya telah kehilangan jantungnya. Dalam konteks inilah, seruan Gus Mus menemukan kembali relevansinya: agar pesantren tidak berubah menjadi pabrik lulusan berlabel agamis, tetapi tetap menjadi taman ruhani tempat manusia menimba hikmah, mengasah akal, dan menumbuhkan kemanusiaan.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Dr. Dimas Indianto S. dalam esainya “Beberapa Logical Fallacy tentang Pesantren” (kemenag.go.id, 2025) menegaskan bahwa banyak orang keliru menilai pesantren dengan ukuran pendidikan Barat yang semata kognitif dan formalistik. Padahal, pesantren membentuk manusia seutuhnya (insan kamil) melalui adab, kesabaran, dan pengabdian. Dimas menulis bahwa hubungan antara santri dan kiai bukanlah relasi administratif, melainkan relasi spiritual yang berkelanjutan, di mana keberkahan ilmu hadir melalui penghormatan dan laku hidup. Ia menegaskan, “Ilmu tinemu kanthi laku: ilmu diperoleh lewat perjalanan hidup dan ketulusan.”
Kutipan itu menjadi gema bagi bait-bait Gus Mus yang menegur santri masa kini: jangan sampai ilmu terlepas dari laku, dan kesalehan berhenti di permukaan. “Lirboyo, Kaifa Hal” dan gagasan Dimas Indianto sama-sama mengingatkan bahwa pendidikan sejati di pesantren adalah pendidikan ruhani yang memanusiakan manusia. Di titik inilah, sastra pesantren dan filsafat pendidikan Islam berpaut erat, keduanya berakar pada cinta kepada ilmu, adab, dan pengabdian.
Maka, di tengah kekhawatiran masyarakat pascatragedi robohnya bangunan di Sidoarjo dan sorotan publik terhadap kualitas konstruksi di Lirboyo, kita diingatkan untuk tidak hanya memperkuat pondasi beton, tetapi juga fondasi batin. Sebab yang sesungguhnya menopang pesantren bukanlah tiang baja, melainkan doa, kesabaran, dan akhlak para santri.
Pada akhirnya, Gus Mus menutup puisinya dengan seruan lirih: “Aku rindu kau, Lirboyo…!” Sebuah rindu yang bukan sekadar nostalgia, tetapi doa agar pesantren tetap teguh: berdiri di atas fondasi ruhani yang tak pernah roboh, selama keikhlasan dan cinta ilmu terus dijaga.
Abdul Wachid B.S., penyair, Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.