Dalam pidato Peringatan Hari Santri Nasional ke-10 di Jombang Jawa Timur (22/10/25) beberapa hari lalu, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) mengintrodusir prinsip-prinsip dasar santri dalam pergulatan total (sa’yun syamil) yang utuh.
Gus Yahya menguraikan lima prinsip dasar yang dia sebut sebagai Pancasila Santri. Saya kurang setuju dengan penyebutan Pancasila Santri, mungkin lebih tepat disebut Pancakhidmah Santri. Penyebutan Pancasila bisa disalahpahami seolah-olah santri punya Pancasila sendiri di luar Pancasila yang sudah disepakati sebagai dasar negara.
Secara substansi, lima prinsip dasar yang disebutkan Gus Yahya merupakan nilai-nilai yang dijiwai dan dihidupi santri, bukan hanya ketika masih di pondok pesantren, tapi juga setelah tidak lagi tinggal di pondok pesantren. Bila hal ini disepakati dan dirumuskan sebagai platform santri, bisa dijadikan sebagai ikrar yang wajib dalam acara-acara resmi santri dan pondok pesantren, termasuk dalam peringatan Hari Santri di tahun-tahun yang akan datang.
Pada bagian berikut ini, saya akan memberi ulasan singkat pidato Gus Yahya tersebut, bukan semata untuk mencatat, tapi juga bisa dijadikan bahan diskusi, baik untuk mematangkan konsep Pancakhidmah Santri maupun untuk kepentingan yang lebih luas. Sebagai bagian dari pergulatan, Pancakhidmah Santri ini perlu diperbincangkan dan dimatangkan, baik dari sisi konsep maupun formula kalimatnya.
Gus Yahya menawarkan Pancakhidmah Santri yang bisa dirumuskan dalam butir-butir prinsip nilai sebagai berikut:
Pertama, mengabdi kepada ilmu (khidmatu 'ilm). Santri Adalah orang-orang yang senantiasa menjalani hidupkan dengan mengabdi pada ilmu pengetahuan. Pengabdian ini dilakukan, bukan hanya dengan belajar, tapi juga mengajar dan mengamalkan ilmunya sebagai jalan untuk menuju kemuliaan di sisi Allah SWT. Pengabdian kepada ilmu ini menjadi nilai dasar yang diperoleh bukan hanya dengan pergulatan intelektual tapi juga dengan pergulatan ruhani. Relasi santri kiai dalam khidmatul ilmi ini juga bukan relasi intelektual saja, tapi –dan ini yang lebih penting—juga pertalian ruhani.
Kedua, mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs). Santri harus menjaga kebersihan hati dari segala noda yang dapat mencemari amal dan pengabdiannya. Kesucian jiwa adalah fondasi spiritual dalam perjuangan hidup yang dibentuk melalui berbagai latihan batin (riyadhah ruhaniyah). Menjadi santri merupakan jalan untuk membersihkan hati dan jiwa agar senantiasa bisa memantulkan cahaya rabbani.
Ketiga, berjuang di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Jihad dimaknai sebagai perjuangan konkret untuk mewujudkan nilai-nilai luhur Islam dalam kehidupan sehari-hari. Perjuangan tersebut dilakukan dengan sepenuh jiwa semata-mata untuk menggapai ridha Allah SWT. Dalam berjuang di jalan Allah, santri tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tapi harus bertanggung jawab atas kemaslahatan umat dan masyarakat.
Keempat, mengabdi kepada Indonesia (khidmatu Indonesia). Santri harus mengesampingkan kepentingan pribadi atau kelompok demi kemaslahatan bangsa. Kepentingan bangsa dan negara harus diletakkan lebih tinggi dari kepentingan sektoral. Menjaga bangsa dan negara Adalah bagian dari misi santri. Tanpa negara yang kuat dan aman, kita tidak akan bisa nyaman mengabdi kepada Allah SWT. Indonesia adalah medan juang utama santri dalam pergulatan sosial dan kebangsaan. Karena itu, santri tidak boleh teralienasi dari persoalan masyarakat sekitarnya, dan juga masalah kebangsaan.
Kelima, memuliakan terhadap kemanusiaan (ikramul insaniyyah). Prinsip ini adalah yang paling mendasar sebagai bagian dari misi khalifatullan fil ardh. Karena Allah telah memuliakan manusia, maka santri wajib menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Memuliakan manusia berarti memuliakan Sang Pencipta manusia, Allah SWT. Demikian pula sebaliknya, merendahkan dan menghina manusia berarti merendahkan dan menghina Allah SWT.
Dalam pidato Hari Santri di Jombang tersebut, Gus Yahya tidak memberi penjelasan darimana inspirasi tersebut didapatkan. Meski demikian, dapat diduga, pertama, penyebutan kata “panca” hampir bisa dipastikan hal itu diinspirasi dari penyebutan dasar negara Indonesia, Pancasila. Apalagi Gus Yahya juga sudah menyebut “Pancasila Santri” yang saya koreksi sebagai “Pancakhidmah Santri”.
Kedua, bisa dipastikan rumusan tersebut merupakan hasil pemikiran mendalam yang didasarkan pada pengalaman hidupnya yang lahir, tumbuh dan berkembang di lingkungan pondok pesantren. Gus Yahya tentu sangat memahami aspek-aspek eksoterik dan isoteriknya pondok pesantren.
Ketiga, pengalaman tersebut dipadukan dengan wawasan keislaman dan kebangsaan yang dikembangkan NU, serta nilai-nilai universal yang dihasilkan dari pergaulan internasional.
Akhirnya, rumusan Pancakhidmah Santri tersebut layak untuk terus diperbincangkan yang nanti pada satu titik adanya rumusan-rumusan fundamental yang bisa dibaca setiap peringatan Hari Santri. Lebih bagus lagi, kalau rumusan itu nanti bisa diputuskan melalui mekanisme organisasi NU dan ditetapkan sebagai produk organisasi NU.
Rumadi Ahmad, Ketua PBNU