
Dalam proses sejarah kita melihat kecondongan sekularisasi ekstrem dan peremehan agama–jika tidak dapat dikatakan penyingkirannya sama sekali–yang menghasilkan teknologi peradaban tinggi–tapi tanpa “social direction” atau “bimbingan sosial” yang hanya dapat diberikan agama.
Dengan ini jelaslah dalam penilaian kita, kita akan memberikan tempat yang sentral pada permasalahan masyarakat dan kehidupan. Kita tidak berpegang pada semboyan “kata untuk kata, puisi untuk puisi.” Kita tidak mau melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya. Adalah wajar jika seniman mencipta berdasarkan masalah-masalah konkret yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan masyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak “isme” apapun dalam kesenian–artinya “isme” kesenian bagi kita tidak penting sama sekali. Yang penting adalah gaya pribadi seniman yang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan pada masyarakat.
Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang yang keras pendirian “politik adalah panglima.” Pendirian ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah menjadikan seluruh kehidupan kreatif menjadi korup. Pendirian ini telah mengingkari hak tanggung jawab dan kebebasan memilih pertanggungan jawab kaum seniman dan inteligensia (budayawan) dengan memaksa mereka menyerahkan pertanggungan jawab itu pada suatu ideologi, pada suatu sistem pemikiran yang bersifat memaksa.
Orang barangkali akan berkata bahwa bahaya ini sudah tidak ada lagi. Ini salah sangka yang berbahaya dan optimisme yang palsu. Karena, biar pun yang merumuskan ini kaum komunis, pendirian ini sebenarnya bukanlah pada mereka saja kita temui.
Masalah yang dihadapi bangsa kita sekarang, masalah yang lazim disebutkan orang masalah “pembangunan,” sebetulnya adalah masalah “modernisasi.” Dalam hal ini kita bisa belajar dari sejarah, bukan dari sejarah bangsa kita sendiri saja, tapi dari sejarah seluruh dunia. Karena lebih lagi dari kurun-kurun zaman yang lewat, sekarang ini lebih jelas bahwa kita adalah hasil dari pergolakan sejarah dunia.
Dalam proses sejarah ini kita melihat kecondongan sekularisasi yang ekstrem dan peremehan agama–jika tidak dapat dikatakan penyingkirannya sama sekali–yang menghasilkan teknologi peradaban yang tinggi–tapi tanpa “social direction” atau “bimbingan sosial” yang hanya dapat diberikan oleh agama. Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan pemberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.
Sekularisasi ekstrem yang pada suatu saat memberikan nilai religius pada demokrasi, nasionalisme, sosialisme sebagai pengganti agama. Akibatnya adalah, penggeseran tanggung jawab seniman dan budayawan daripada tanggung jawabnya yang sebenarnya. Kami ingin waspada terhadap ini.
Sesungguhnya kami percaya firman Tuhan yang terkandung dalam Al-Qur’an:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
“Mereka bakal ditimpa kehinaan di mana saja ditemukan, kecuali kalau mereka berpegang pada tali Allah dan tali manusia.” (Ali Imran, 112).
***
Artikel ini dimuat pertama kali pada majalah kebudayaan Gelanggang, No. 1, Th 1, Desember 1966. Artikel ini disalin oleh Alhafiz Kurniawan dari Surat Kepercayaan, buku kumpulan esei kritis tentang film, sastra, teater, dan masalah lain Indonesia karya Asrul Sani terbitan Pustaka Jaya, 1997 M.