Imam Syafi’i adalah sosok mahaguru yang sangat hebat karena dapat memberikan alternatif hukum tanpa mesti berkontradiksi. Namun tidak satu pun dari pendapat-pendapatnya diperoleh secara serampangan.
“Seluruh pendapat ini tidak ngawur. Tugas kita adalah mencari penyebab dari perbedaan-perbedaan pendapat tersebut,” kata KH Abdurrahman Wahid dalam pengajian Ramadhan di Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, Jum’at (5/9) tadi pagi.<>
Bahkan para aimmatul madzahib (imam madzhab), demikian Gus Dur, rata-rata memiliki banyak pendapat yang berbeda-beda.
Dalam pengajian kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi'i itu Gus Dur menyampaikan, banyak sekali kalangan umat Islam yang mengabaikan hasil-hasil ijtihad para imam madzhab, dan dengan sangat arogan berusaha menyebarkan pendapat-pendapat mereka dengan mengaku secara langsung bersandar pada Al-Qur’an dan hadits.
”Kelompok-kelompok ini adalah sekumpulan orang-orang bodoh yang tidak mengerti betapa syariat Islam bukanlah peraturan yang dibuat dengan semena-mena. Mereka salah karena menganggap para ulama tidak mengambil langsung dari dasar pokok Islam. Sehingga mengira bahwa para ulama dan kiai hanya taklid buta saja, ” ungkap Gus Dur.
Karenanya, para ulama Ahlussunnah juga harus memiliki cara untuk membendung arus negatif budaya ikutan kelompok ini. ”Jika warga Nahdliyyin ingin tetap mempertahankan faham Ahlussunnah Waljamaah sebagai faham mayoritas umat di Nusantara, maka para ulama NU harus memiliki kreatifitas untuk membela ajaran-ajaran para imam madzhab,” tandasnya.
Menurut Gus Dur, dahulu imam Syafi’i digelari sebagai Nasiirus Sunnah (pembela Sunnah) namun sekarang para pengikutnya di Indonesia malah dianggap sebagai ahli bid’ah. Karenanya menjadi tantangan bersama untuk memberikan penjelasan bahwa para ulama Ahlussunnah Waljamaah adalah benar-benar ulama yang mengerti dasar-dasar agama. Sehingga Ahlussunnah selalu memiliki banyak pilihan dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan hukum.
”Dengan berbagai perbedaan pendapat itu, para ulama mestinya dapat mencarikan solusi yang lebih berarti untuk menyelesaikan problem-problem umat. Selain itu kita mesti mengakui bahwa perbedaan adalah rahmat,” pungkasnya. (min)