Masyarakat Muslim Indonesia, khususnya para ulama dan guru agama, hendaknya mengerti bahwa kitab-kitab tafsir yang diproduksi pada abad pertengahan tidaklah bersifat dogmatis dan anti pembaruan.
Karenanya, diperlukan kontekstualisasi atau pengembangan-pengambangan wacana dan pemahaman dalam memahami teks-teks Islam yang telah ditafsirkan oleh para ulama zaman dahulu.<>
Pernyataan ini disampaikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam tausiyahnya sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri di Masjid al-Munawwaroh, jl. Warung Silah Ciganjur, Jakarta Selatan (1/10). Sekitar 2000 jamaah yang hadir tampak mendengarkan dengan khusyu’ dan khidmat.
Lebih lanjut Gus Dur mencontohkan tentang panafsiran populer di kalangan santri, seputar surat al-Kautsar yang intinya adalah ancaman kepada manusia yang hanya mementingkan diri untuk memperbanyak harta dan keturunan saja. Para manusia yang membangga-banggakan harta dan keturunannya tidak menyadari bahwa kematian damn pengadilan Tuhan segera menanti mereka di alam kubur.
Menurut Gus Dur, semestinya tafsir surat ini dapat dikembaangkan untuk memberi warning kepada para politisi dan penguasa yang hanya mementingkan perolehan suara dalam pemilu tanpa memperdulikan nasib rakyatnya setelah mereka terpilih.
”Mestinya, para ulama dan guru agama tidak perlu takut untuk menjelaskan situasi politik dan karakter para pemimpin yang hanya mementingkan posisi mereka sendiri. Bukankah semua orang telah mengerti bahwa banyak penguasa yang melanggengkan budaya korupsi di tengah tidak menentunya nasib rakyat,” terang Gus Dur.
Karenanya, lanjut Gus Dur, para ulama mesti terbuka terhadap perkembangan keilmuan dalam Islam. Sehingga, ke depan, umat Islam dapat secara lebih jujur memahami dan menilai keadaan masyarakatnya sesuai kapasitas keilmuan yang mereka miliki.
”Umat Islam harus semakin cerdas dalam menyikapi keadaan mereka. Jangan menutup terhadap perkembangan-perkembangan yang terus terjadi seiring waktu berjalan,” tegasnya. (min)