Warta

Lesbumi: Kita Perlu Pakai Soft Power

Rabu, 31 Oktober 2007 | 02:42 WIB

Jakarta, NU Online
Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim (Lesbumi) Nahdlatul Ulama memandang penting pemakaian soft power atau kekuatan lunak untuk bersaing dalam kancah global. Kekuatan lunak itu adalah kebudayaan nasional.

“Pemimpin China saja mengaku terlambat untuk melakukan soft power. Kita di Indonesia tidak melakukan apa-apa. Sensor film tak ada, lalu sinetron selalu bertema impor,” kata Sekjen Lesbumi M Dienaldo kepada NU Online di Jakarta, Rabu (31/10).<>

Soft power China itu dipropagandakan secara terang-terangan oleh Presiden Hu Jintao pada pertengahan Oktober lalu. Hu mengatakan, kekuatan lunak itu menjadi andalan China untuk berdiplomasi sekaligus melawan hard power Amerika Serikat yang selalu ditandai dengan kekuatan militer.

M Dienaldo menambahkan, China juga sedang dilakukan kampanye besar-besaran untuk menyiarkan kebudayaan China melalui Institut Konfusius (kongzi xueyuan) di seluruh dunia. Sampai Mei 2007 telah didirikan 155 Konfusius Institut di 53 negara di lima benua. Bahkan direncanakan sampai tahun 2010 akan berdiri 500 Institut Konfusius di seluruh dunia.

Dua bulan lalu di Indonesia juga sudah disetujui berdirinya empat Institut Konfusius di empat kota. Pemerintah China menyediakan dana amat besar untuk semua Konfusius Institut ini.

“Sementara Indonesia belum sempat berfikir mendirikan pusat kebudayaan di luar negeri. Ada pusat kebudayaan kita yang berada di Indonesia sendiri, itu pun bersifat seperti mosium,” kata Dienal.

Menurutnya, pemerintah Indonesia terutama melalui Departemen Pariwisata hanya menjadikan kebudayaan sebagai alat dagang. Kebudayaan tak pernah dihidupkan atau ditumbuhkembangkan. “Budayanya diambil, namun budayawannya tidak dirawat. Pemerintah hanya memanen tanpa menanam. Misalnya, ada tarian ini dan itu yang bagus langsung diambil lalu dijual,” katanya.

Menyinggung soal perebutan aset kebudayaan nasional Indonesia oleh Malaysia yang sempat menggegerkan media massa beberapa waktu lalu, menurut Dinal, pemerintah tidak saja harus reaktif namun perlu menyiapkan strategi jangka panjang agar kasus Malaysia itu tidak terulang lagi.

“Malaysia itu sebenarnya kualitas keseniaannya rendah dan selalu minder jika berhadapan dengan Indonesia. Tapi perlakukan mereka kepada keseniannya cukup bagus. Lalu para senimannya diperlakukan luar biasa. Mereka mendapat penghargaan, program-program kebudayaan dibiayai, bahkan kehidupan para seniman pun disubsidi,” kata Dienal. (nam)


Terkait