Warta

Character dan Nation Building Kembali Mengemuka

Ahad, 28 Oktober 2007 | 00:01 WIB

Jakarta, NU Online
Masyarakat Indonesia kini kembali mengingat pentingnya character and nation building atau pembangunan watak dan pembangunan bangsa, setelah bangsa ini diremehkan bahkan diperbudak bangsa lain termasuk oleh negara gurem seperti Singapura dan Malaysia.

Padahal dengan sangat sistematis presiden pertama Republik Indonesia Soekarno (Bung Karno) tidak kenal lelah melakukan pembentukan karakter Bangsa, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang dihormati bahkan memimpin dunia, bahkan mengetarkan dua super power Amerika dan Uni Soviet.

<>

Demikian disampikan Drs Rahadi T Wirutama, kepala divisi Center for the Study of Development and Democracy (CESDA) Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial kepada NU Online di Jakarta, Sabtu (27/10).

Sayang langkah sistematis Bung Karno itu disambut oleh negara super power dengan memperalat para politisi dan aktivis angkatan 1966. Mereka dengan gigih mendeligitimasi berbagai program pemerintah dengan dalih bahwa indoktrinasi untuk melakukan character building itu dianggap sebagai pencekokan dan pembodohan rakyat.

National building kemudian dianggap sebagai penanaman fanatisme lokal yang buta. Padahal, menurut mahaiswa angkatan 1980-an itu, semuanya hanyalah propaganda asing yang dilakukan oleh para aktivis mahasiswa dan politisi sayap kanan. Demikian juga revolusi untuk melawan imperialis hanya dianggap sebagai bualan untuk melupakan kemiskinan dalam negeri.

Soal situasi ekonomi yang terjadi waktu itu, menurut Rahadi, juga merupakan manipulasi yang keterlaluan. Memang zaman Bung Karno menginginkan negeri ini mau maju dengan kekuatan sendiri, modal sendiri, tenaga sendiri dan pengelolaan sendiri. Walaupun saat itu barat menawarkan dana, tetapi ditolak karena bangsa ini baru mempersiapkan infrastruktur pembanguna  ekonomi.

“Coba siapa yang merintis industri penerbangan Nurttanio, bikin bendungan jatiluhur karang kates dan sebagainya, termasuk merintis badan tenaga nuklir. Semuanya telah dipersiapkan zaman Bung Karno dalam rangka Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Ini merupakan sebuah pembangunan semesta jangka panjang,” katanya.

Tetapi Orde Baru membalik kenyataan dengan dengan cara berhutang dan mendatangkan tenaga ahli asing. Akibatnya seluruh kekayaan Indonesia jatuh ketangan mereka. Hutang ribuan triliun itu justru membuat negara semakin miskin.

Dari sisi militer, Indonesia pernah menjadi negara yang sistem pertahannannya paling kuat di Asia. Dengan kapasitas ekonomi ekonomi yang mandiri, serta karakter yang kuat serta persenjataan yang memadai dan kepemimpinan yang unggul, Indonesia menjadi negara yang disegani yang jasanya diingat orang sepanjang masa.

“Tetapi seluruh prestasi itu diganyang oleh angkatan 1966 bahkan dlecehkan oleh media massa maupun buku tentang zaman itu dengan merendahkan aprestasi besar yang dirintis bangsa ini. Yang mereka sajikan hanya kemiskinan dan antrean, padahal semua itu karena ada sabotase ekonomi yang dilakukan kelompok imperialis,” kata Rahadi.

Seandainya proses itu tidak diputus oleh kekuatan imperialis, maka negeri ini tidak akan mengalami keterputusan sejarah dan tidak mengalami disorientasi dan tidak memiliki kepribadian seperti sekarang ini.

Rahadi menilai, kesadaran terlambat para bekas aktivis 66 saat ini tidak ada gunanya, mereka kembali menegaskan perlunya chrachter and nation building, yang pernah dirusak sendiri. Justru organisasi semacam Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah melakukan character Building dan memiliki tradisi yang kuat itu aklan lebih berperan.

Character building dan nation building memang perlu segera dilakukan dimulai dengan pelurusan sejarah yang putus, agar bangsa ini kembali menemukan orientasi dan kembali menemukan jati diri, agar tidak menjadi bangsa paria seperti sekarang ini.

“Kalaupun saat ini banyak sarjana dan intelektual, tetapi kalau tidak memiliki karekter, mereka juga akan menjadi kader yang tidak berguna, karena mentalnya terjajah. Kesadaran terhadap penjajahan dan membersihkan dari mental terjajah itu yang perlu dilakukan sehingga bisa menghargai prestasi dan tradisi bangsa sendiri,” kata Rahadi. (dam)