Warta

Pendidikan Formal Telah Berkembang Menjadi Bisnis

Selasa, 15 November 2005 | 02:28 WIB

Yogyakarta, NU Online
Pendidikan formal telah berkembang menjadi industri pendidikan yang berorientasi bisnis, sehingga harus dibeli dengan harga yang mahal bagi orang yang membutuhkannya. Akibatnya, pendidikan formal kurang menjalankan fungsi sosial dan budaya, tetapi lebih menitikberatkan fungsi ekonomi.

Hal tersebut dikemukakan peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Susetiawan di Yogyakarta, di Jogjakarta beberapa waktu lalu.

<>

Menurut dia, ketika fungsi ekonomi lebih menonjol, maka persaingan bisnis dalam industri pendidikan semakin marak. Sekolah dan perguruan tinggi yang merasa diunggulkan menurut image masyarakat akan diserbu kelompok masyarakat yang memiliki banyak uang, sedangkan orang yang hanya memiliki sedikit uang atau bahkan tidak punya, hanya bisa menonton dan menggigit jari.

Dicontohkan, persaingan pendidikan formal dengan penawaran program pendek semakin marak, baik jenjang strata satu (S1) maupun strata dua (S2). Pada program S2, misalnya, peserta program bukan lebih banyak pada mereka yang baru saja lulus S1, tetapi paling dominan diikuti para birokrat yang membutuhkan ijazah untuk mendukung peningkatan kepangkatan yang terkait dengan orientasi memperoleh jabatan struktural.

Meskipun pendidikan itu mahal, lanjut Susetiawan, tidak menjadi persoalan bagi para birokrat karena ijazahnya akan dapat diperhitungkan sebagai investasi untuk menduduki posisi tertentu. "Jika faktanya seperti itu, wong cilik yang sebagian besar tinggal di pedesaan semakin terasingkan dari dunia pendidikan formal yang semakin mahal," katanya seperti dikutip Antara.

Berkaitan dengan kenyataan itu, negara seharusnya berpikir ulang tentang semakin mahalnya biaya pencapaian pendidikan formal bagi anak bangsa, ketika privatisasi pendidikan berkembang menjadi fakta bisnis. Jika tidak, industri pendidikan formal bisa semakin jauh dari kepentingan kemanusiaan, bahkan menghasilkan dehumanisasi.

Situasi seperti itu, menurut dia, perlu dijawab dengan pendidikan alternatif yang desainnya bukan pendidikan formal. Upaya itu memerlukan kepedulian semua pihak demi kemanusiaan, yang secara sukarela mendidik mereka yang terasingkan dari pendidikan formal dan mungkin bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih baik dibanding pencapaian pendidikan formal.

Desain pendidikan seperti itu perlu dibangun melalui kepedulian sosial tinggi bagi anak atau pemuda yang potensial, tetapi terasingkan dari pendidikan formal yang semakin berorientasi bisnis. "Desain pendidikan alternatif seperti itu sekaligus menjawab kemerosotan ilmu pengetahuan yang dicapai melalui pendidikan formal," tegasnya. (atr/cih)

 


Terkait