Ini Sejumlah Penyebab Tingginya Kasus Cerai Gugat 2010-2014
Senin, 31 Oktober 2016 | 13:01 WIB
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dalam laporan penelitiannya pada 2015 mendata sejumlah alasan yang melatarbelakangi tingginya kasus cerai gugat di tujuh daerah di Indonesia. Tim peneliti menemukan beragam motif cerai gugat sepanjang 2010-2014 di pengadilan.
Mereka meneliti kasus peceraian di Aceh, Padang, Cilegon, Indramayu, Pekalongan, Banyuwangi, dan Ambon.
Hasil penelitian tim Litbang Kemenag RI memperlihatkan bahwa penyebab cerai gugat disebabkan oleh ragam faktor antara lain pergeseran budaya yang semakin terbuka, terutama media sosial seperti yang terjadi di Aceh.
Sementara kondisi lapangan di Padang dan Pekalongan hampir serupa dengan keadaan di Aceh. Mereka menemukan fakta di mana makna dan nilai perkawinan sudah semakin hilang sehingga terjadi pengabaian dan penelantaran serta nirtanggung jawab dari pihak suami.
Hal serupa juga terjadi di Banyuwangi terutama dalam kasus perkawinan yang dijodohkan. Temuan di Indramayu menyebutkan bahwa beban berat selalu ditimpakan pada pihak istri.
Penyebab kasus cerai gugat di pengadilan Ambon lebih banyak karena rendahnya pemahaman agama para keluarga dalam memaknai lembaga perkawinan sehingga kekerasan baik fisik dan nonfisik mendominasi perceraian.
Sementara di Cilegon kasus perceraian banyak disebabkan adanya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat.
Hasil penelitian ini menemukan fakta di lapangan bahwa struktur formal masih belum berfungsi dengan maksimal terutama mencegah perceraian.
Di samping lemahnya struktur formal, struktur nonformal seperti pranata sosial juga ternyata belum berfungsi maksimal. Padahal di tiap daerah yang diteliti, sebenarnya banyak kekuatan pencegah perceraian berupa kearifan-kearfian lokal seperti di Banda Aceh terdapat mediator adat yang disebut tuha peuet atau keuchi’, di Indramayu ada lebe, serta di Ambon ada tiga batu tungku dan saudara kawin.
Faktor lainnya adalah koordinasi dan komunikasi antarinstansi tidak berjalan sehingga mengesankan masalah perkawinan dan perceraian sebagai dua hal berbeda. Padahal tidak bisa membicarakan perceraian secara terpisah dari perkawinan.
Sebagaimana diketahui bahwa Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dalam laporan penelitiannya pada 2015 menyebutkan bahwa besaran kasus gugat cerai yang diajukan perempuan mencapai angka 70% dibandingkan cerai talak sepanjang 2010-2014. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Khatib Tak Baca Shalawat pada Khutbah Kedua, Sahkah?
2
Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
3
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
4
Jalankan Arahan Prabowo, Menag akan Hemat Anggaran dengan Minimalisasi Perjalanan Dinas
5
Wacana AI untuk Anak SD, Praktisi IT dan Siber: Lebih Baik Dimulai saat SMP
6
Menag Nasaruddin Umar: Agama Terlalu Banyak Dipakai sebagai Stempel Politik
Terkini
Lihat Semua