Jakarta, NU Online
UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 mengamanatkan seluruh siswa untuk mendapatkan hak pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Pertanyaannya, bagaimana dengan siswa yang agamanya minoritas di tengah pemeluk agama mayoritas, seperti siswa beragama Katolik di tengah-tengah siswa yang mayoritas Islam?
Sejumlah penelitian menemukan, ada sekolah yang sudah memenuhi hak siswa, tetapi ada juga yang belum memenuhinya. Hayadin, Kordinator Penelitian Layanan Pendidikan Agama sesuai Agama Siswa di Sekolah dari Balitabang Diklat Kementerian Agama mencoba melakukan penelitian di sejumlah sekolah pada 2015. Riset ini menemukan fakta bahwa semua sekolah pada lokus penelitian (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu) dapat menyediakan layanan pendidikan agama sesuai agama yang dianut oleh siswa. Tidak ada paksaan bagi siswa untuk mengikuti pelajaran agama tertentu yang ditetapkan oleh sekolah.
Penelitian ini merupakan studi kasus (multi-kasus) menggunakan pendekatan kualitatif. Obyek yang akan diteliti adalah layanan pendidikan agama sesuai agama siswa di sekolah tanpa diskriminatif. Lokasi penelitian meliputi Kota Denpasar, Kota Manado, Ende NTT, Bogor, Jakarta, Pangkalpinang, Singkawang dan Ambon.
Siswa dididik oleh guru yang seagama, menggunakan buku paket pelajaran yang disiapkan oleh pemerintah dengan fasilitas dan media pembelajaran yang disediakan oleh sekolah secara terbuka dan bebas pakai. Setiap agama juga memiliki kesempatan untuk melaksanakan ibadah dan merayakan hari besar agama di sekolah, serta mengembangkan aktivitas ekstrakurikuler keagamaan.
Di Labschool Jakarta dan SMAN 1 Bogor, populasi peserta didik mayoritas adalah Muslim, tetapi peserta didik yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu tetap mendapatkan layanan dari guru agama yang sesuai dengan agama siswa.
Di SMAN 1 dan SLUA Saraswati Denpasar, meskipun populasi peserta didik mayoritas Hindu, tetapi sekolah tetap menyediakan layanan pendidikan agama untuk siswa Muslim, Katolik, Kristen, Budha, dan Konghucu oleh guru yang seagama dengan siswa. Untuk memenuhinya sekolah, yayasan dan komite sekolah mengangakat guru honorer.
Di SMAN1 Manado, SMK Manado, dan SMPN 1 Ambon, meskipun siswanya mayoritas Kristen, tetapi layanan pendidikan untuk siswa Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu, tetap disediakan dari guru yang seagama dengan siswa.
Di SMA Katolik Santo Josep dan SMAN 2 Ende, meskipun mayoritas siswa, guru, dan tenaga administrasi di sekolah beragama Katolik, tetapi sekolah bekerja sama dengan yayasan menyediakan layanan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa.
Di SMA Ananda Bekasi dan SMK Bakti Pangkalpinang, meskipun populasi peserta didik yang mayoritas adalah beragama Budha dan merupakan yayasan pendidikan yang didirikan oleh tokoh masyarakat Budha, tetapi siswa Muslim, Katolik, Kristen, Hindu, dan Konghucu tetap mendapatkan layanan agama berdasarkan agama masing-masing oleh guru yang seagama dengan siswa.
Namun demikian, peneliti merekomendasikan kasus-kasus di mana ada sekolah yang tidak bersedia memberikan layanan pendidikan agama sesuai agama siswa, dan membatasi kebebasan siswa dalam mengekspresikan iman dan kepercayaannya di lingkungan sekolah harus dikaji lebih lanjut. (Mukafi Niam)