Jakarta, NU Online
Bagi siswa pemeluk agama tertentu yang jumlah pengikutnya minoritas dalam sebuah sekolah, terdapat tiga pola penyediaan guru agama untuk melayani pendidikan agama agar hak mereka untuk pendidikan agama tersebut tetap terpenuhi.
Riset oleh Balitbang Diklat Kementerian Agama oleh Hayadin (2015) menemukan beberapa pola. Pertama, guru agama yang disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Kedua, guru agama disediakan oleh sekolah atau yayasan, dan ketiga, guru agama disediakan oleh lembaga keagamaan.
Pada pola pertama, penyediaan guru agama oleh pemerintah dilaksanakan sesuai jadwal dan aturan rekruimen pegawai negeri sipil (PNS). Selanjutnya, pada pola penyediaan guru agama oleh sekolah, biasanya dilakukan untuk menutupi kekosongan tiadanya guru agama yang diangkat oleh pemerintah. Artinya, dalam kasus pemerintah cq. Kementerian agama atau Pemerintah daerah setempat tidak menempatkan guru di sekolah tertentu, maka sekolah tersebut mengangkat guru honorer dengan persetujuan komite sekolah. Tentu saja ini berlaku bagi sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah.
Bagaimana dengan sekolah swasta di bawah manajemen yayasan? Maka kekosongan guru agama menjadi kewenangan yayasan untuk merekrut dan mengangkat guru agama yang dibutuhkan.
Dalam kasus pemerintah daerah, sekolah atau tidak memiliki kemampuan untuk mengadakan guru agama, maka sekolah bekerja sama dengan lembaga keagamaan setempat untuk menyediakan layanan pendidikan agama kepada siswa di sekolah tersebut. Kasus ini biasanya terjadi pada sekolah dengan siswa pemeluk agama minoritas yang jumlahnya kurang dari 15 orang. (Mukafi Niam)