Salah satu penelitian Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) pada 2018 ini adalah riset studi penjajagan sejarah sosial keagamaan di Bali. Guna melengkapi penelitian ini dilakukan wawancara langsung ke Banjar Angansari, Desa Kutuh, Kintamani.
Komunitas Muslim Banjar Angansari berada di perbukitan atau tepatnya lereng Gunung Batur Kintamani. Lokasi ini sekitar 30 kilometer dari kota Bangli. Setelah melewati kawasan Danau Batur, jalan untuk mencapainya melintasi jalan setapak mendaki berliku, berbatu. Sebelah kiri jalan adalah jurang dan sebelah kanannya pepohonan alami dengan akarnya tumbuh di jalan tanpa batas.
Selain itu sepanjang jalan gelap tanpa penerangan lampu yang memadai. Air atau sumber mata air untuk wudhu maupun bersih-bersih mengalir terbatas.
Komunitas Muslim Banjar Angansari mensyahadatkan dirinya sebagai seorang Muslim sejak beberapa dekade silam. Walau hidup dalam keterbatasan, namun menjadi muslim adalah kebanggaan yang membahagiakan.
Muslimnya mereka berawal dari sakitnya seorang kakek sesepuh Banjar Angansari yang kakinya luka terkena kayu di hutan. Ia sudah berobat ke berbagai tempat baik ke tabib, dukun maupun rumah sakit, namun lukanya tidak kunjung sembuh.
Terakhir kakek itu mendatangi Made Trime, seorang pedeta Hindu Bali. Menurut Made Trime luka sang kakek akan sembuh jikalau ia kembali ke ajaran leluhurnya yaitu Muslim. Setelah itu sang kakek pun bersyahadat sebagai Muslim dan lukanya sembuh seketika tanpa diobati.
Syahadatnya sang kakek sebagai Muslim diikuti oleh anak-cucu keturunannya. Berita itu terjadi tahun 1982 dan diketahui oleh Bupati Bangli yang khawatir ada terjadi gejolak warganya pindah keyakinan. Bupati Bangli bersama Kapolsek Bangli mendatangi Banjar Angansari dan memastikan apa yang diinginkan oleh warganya.
Dengan disaksikan oleh Bupati dan Kapolsek Bangli 7 KK Banjar Angansari (kala itu) bersyahadat didampingi oleh Habib Adnan, ketua MUI Provinsi Bali. Setelah itu Kiai Miyadi dari Karangasem dan Pengurus MUI Bali Dwi Triyono meneruskan amanat Habib Adnan secara rutin datang ke Banjar Angansari untuk memberikan pendidikan, pengajaran, dan bimbingan ilmu-ilmu keislaman terutama tata cara shalat.
Muslim Banjar Angansari hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu Bali. Toleransi beragama hormat-menghormati dan saling menghargai di antara mereka, tampak terlihat dalam berbagai kegiatan baik keagamaan maupun sosial keagamaan.
Dalam ajaran Hindu Bali ada ritual Puja Trisandya, yakni puja-pujaan mengawali persembahyangan Hindu Bali pada titik tiga waktu (pukul 06.00, 12.00, dan 18.00). Puja Trisandya ini ada yang beriringan dengan menjelang waktu masuknya shalat bagi kaum Muslim, yakni adzan dzuhur dan maghrib.
Alunan mantra Puja Trisandya melalui pengeras suara dan sebagainya pada siang tengah hari, beberapa menit setelahnya disusul alunan azan dzuhur, berlanjut pada sore hari dengan adzan maghrib. Hal itu di antara mereka adalah sebagai wujud moderasi beragama dalam menyikapi keberagamaan dan keberagaman.
Sementara wujud sosial keagamaan pada Banjar Angansari tampak terlihat dalam tradisi ngejot saling antarmakanan pada setiap hari raya umat Muslim ataupun umat Hindu Bali. Selain itu umat Muslim Banjar Angansari juga ikut serta dalam kegiatan nenteng linggih pembersihan pura. Demikian halnya ketika Hari Raya Idul Adha umat Hindu Bali ikut serta dalam kepanitiaan hewan kurban. (Kendi Setiawan)