Jakarta, NU Online
Tak kurang dari 500 kesultanan tumbuh di Nusantara yang berkontribusi besar dalam pengembangan Islam di Nusantara. Sayangnya, belum banyak dari kesultanan tersebut yang ditulis secara lengkap sejarah keberadaannya.
Puslitbang Lektur dan Khazanah Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama berupaya merekonstruksikannya dalam bentuk karya historiografik kesultanan Nusantara dengan melakukan penelitian sejak 2011. Hingga tahun 2015, sudah berhasil ditulis sebanyak 22 kesultanan.
Penelitian memokuskan obyeknya pada perkembangan Islam yang terjadi pada saat kedaulatan atau kesultanan tersebut berlangsung. Dengan mempergunakan pendekatan sejarah sosial, penulisan bertujuan mengungkap, mendeskripsikan, dan merekonstruksikan apa dan bagaimana sesungguhnya perkembangan Islam terjadi di tengah era penguasaan kesultanan tertentu.
Pada tahun 2015, Puslitbang LKK meneliti dan menulis 4 (empat) kesultanan Nusantara, yaitu Kesultanan Sumenep Madura, Kesultanan Sintang Kalimantan Barat, Keslutanan Bima Nusa Tenggara Barat, dan Kerajaan Kotawaringin Kalimantan Tengah. Kesultanan lain yang sudah diteliti sebelumnya adalah Kesultanan Balok-Bangka Belitung, Kerajaan Balanipa Mandar-Sulawesi Tengah, Kesultanan Ternate, Maluku, Kesultanan Melayu Jambi, Kesultanan Sambas Kalimantan Barat, Kesultanan Melayu Deli Sumatera Utara, Kesultanan Banggai Palu, Sulawesi Tengah, Kerajaan Islam Paksi Sakala Brak Lampung, Kesultanan Riau Lingga, Kepulauan Riau, Kerajaan Islam Hitu, Ambon, Kesultanan Serdang, Sumatera Utara, Kesultanan Cirebon, Jawa Barat, Kerajaan Indrapura, Sumatera Barat, Kesultanan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan Kasunanan Surakarta, kesultanan Perlak di Aceh, kesultanan Bone di Sulawesi Selatan, kesultanan Pasir di Kalimantan Timur, kesultanan Sumenep Madura, Kesultanan Sintang Kalimantan Barat, Kesultanan Bima Nusa Tenggara Barat, dan Kesutanan Kotawaringin Kalimantan Tengah.
Masing-masing hasil penelitian tersebut ditulis dalam buku Sejarah Kesultanan dengan tiga fungsi dasar. Pertama, fungsi historis-kultural yang merekonstruksi dan memperkaya khazanah peradaban bangsa. Kedua, fungsi pendidikan sebagai bahan ajar (buku pelajaran, sarana pendidikan) pendidikan, baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi, serta bagi komunitas peminat sejarah Islam. Ketiga, fungsi sosio-politik untuk menghargai dan menjunjung martabat bangsa di mata warga dunia di samping menjadi instrumen kultural untuk menghubungkan generasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
Secara substantif, penulisan sejarah kesultanan ini cenderung lebih lengkap dan utuh dibanding dengan (jika ada) tulisan tentangnya. Pendekatan penulisan historiografik dalam program ini cenderung berbeda dengan pendekatan yang dipergunakan dalam (jika ada) penulisan obyek serupa, karena mempergunakan pendekatan sejarah sosial yang mencoba melihat fakta sejarah secara keseluruhan, tidak berorientasi pada tokoh istana yang cenderung menitikberatkan pada narasi peristiwa sekitar istana (raja, kekuasaan, dan implikasi politiknya).
Dalam salah satu rekomendasi penelitian, ke depan perlu pengembangan produk penulisan sejarah kesultanan ini pada tingkat lebih luas, melalui penerjemahan ke dalam bahasa Asing (Inggeris dan Arab), dan kodifikasi dalam (menjadi) bentuk “ Ensiklopedi Kesultanan Nusantara”. Kodifikasi dilakukan dengan “menyatukan” seluruh buku tulisan sejarah kesultanan yang sudah dilakukan, kemudian disatukan dalam sebuah entitas karya besar dalam format ensiklopedik atau atlas sejarah. (Mukafi Niam)