Balitbang Kemenag

Kepala Balitbang Kemenag Beri Motivasi Peserta KTIS 2016

Sabtu, 19 November 2016 | 03:00 WIB

Depok, NU Online
Di hadapan para santri peserta pengembangan Karya Tulis Ilmiah Santri (KTIS) 2016, Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof Abdurrahman Mas’ud memberikan banyak nasihat dan motivasi. Antara lain agar para santri tidak bercita-cita atau bermimpi menjadi seorang pejabat.

“Jangan ambisius untuk jadi pejabat. Yang penting kita bekerja keras. Kalau nanti jalan takdirnya begitu (jadi pejabat-red) akan datang sendiri,” tegas Mas’ud, Jumat (18/11) malam.

Abdurrahman Mas’ud yang didaulat memberikan sambutan penutup pada acara pengembangan Karya Tulis Ilmiah Santri (KTIS) 2016 merasa senang dan bangga. Pasalnya, pria asal Kudus Jawa Tengah ini kembali merasakan suasana saat nyantri di pesantren.

“Jumat adalah hari terbaik bagi santri. Oleh karenanya saya sangat senang bisa jumpa makhluk yang namanya santri. di dunia ini hanya ada dua makhluk: mu’allim dan muta’allim. Selain itu hanya lalat. Termasuk para pejabat,” selorohnya. 

Mas’ud mengatakan demikian mengutip Imam Syafi’i yang membuat kategori tersebut. “Jadi, yang menyebut demikian Sang Imam yang sangat produktif menulis. Termasuk saking cintanya kepada ilmu beliau mengatakan itu,” paparnya.

Guru Besar IAIN Walisongo Semarang ini mengaku pernah nyantri kendati hanya pada bulan Ramadhan saja. “Saya sekitar tahun 1977 dan 1978 mondok di pesantrennya almaghfurlah Kiai Sahal Mahfudh di Pati. Nah, kalau madrasahnya biasa saja di Kudus. Jadi, saya sama seperti adik-adik sekalian,” ujarnya.

Mas’ud berpesan, agar para santri tetap mengikuti model pendidikan tanpa meninggalkan tradisi. “Saya doakan mudah-mudahan kalian bisa mengikuti jejak saya dalam meraih beasiswa yang paling sulit. Meski sulit, Alhamdulillah saya mendapatkannya sebanyak empat kali,” tuturnya.

Pria asal Kudus ini menambahkan, dirinya telah meraih doktor pada usia 37 tahun dan profesor pada usia 43 tahun. “Ini bukan sombong. Tapi tahadduts bin ni’mah dan untuk memberi semangat kepada adik-adik santri,” tandasnya.

Doktor jebolan UCLA Amerika ini mengaku bisa berkarya saat dirinya sedang “menderita” dalam mencari ilmu. “Saya justru lebih produktif. Sayangnya kini mengalami spoil (kurang produktif) atau malah tidak sama sekali. Ini karena negara terlalu memanjakan saya sebagai pejabat. Akhirnya malah kurang kreatif. Ini bukan korupsi ya, jangan salah paham,” tuturnya.

Suatu ketika, tutur Mas’ud, Rektor UIN Palembang meminta dirinya untuk menguji mahasiswi S3 yang menulis disertasi tentang “Naskah Palembang”. Karena berbarengan dengan tugas sebagai eselon 1 yang harus rapat dengan DPR, maka dengan berat hati ia batalkan acara menguji di Palembang.

“Terlebih dahulu saya telepon Kepala Program Pascasarjana dan mahasiswi tersebut. Namun mereka tetap minta saya menguji dengan mengajukan pertanyaan tertulis,” kenangnya.

Ringkas cerita, setelah ujian Mas’ud memberi nilai A, mahasiswi tersebut butuh tanda tangan sang penguji. “Nah, ketika ia tanpa janjian langsung berangkat ke Jakarta, sementara saya sedang di Kupang. Wah, ini repot sekali. tapi saya tetap berkomitmen membantu dia. Untungnya, dia baliknya sejam setelah saya sampai Jakarta. Saya landing sejam sebelum ia terbang. Jadilah kami bertemu di musholla bandara,” ungkapnya.
 
Di pesantren, kata Mas’ud, yang penting belajar mandiri. Jangan tergantung kepada guru atau kiai. “Di benak santri harus ada kemauan untuk belajar terus menerus (long life education) dan tetap independent learning. Akhirnya tidak tergantung kepada siapapun dan kita jadi santri mandiri. Intinya semangat belajar sendiri. Jangan lupa, antara baca, nulis, dan refleksi harus seimbang,” pesannya.

Mas’ud lalu memberi contoh tokoh pesantren yang sangat produktif Gus Mus, misalnya. Ahmad Thohari seorang santri yang novelnya sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa. “Dari sini, memang Pesantren itu Dunia Mencontoh. Dan ini sangat menguntungkan,” tegasnya.

Pria yang masih mengaku santri ini kembali mengingatkan, membaca dan menulis itu perintah Allah yang sepaket untuk manusia. Bukan al-fatihah, tapi al-Alaq. Karena peran besar pena dalam peradaban manusia yang kemudian layak jadi panduan bagi seluruh manusia.

“Baca dan tulis itu kunci. Apalagi ini abad 21. Jadi, kalau nggak rajin baca dan nulis, tidak akrab dengan komputer dan bahasa asing, rasanya kita buta huruf secara fungsional. Satu lagi, jangan ada alasan bahwa kalian berasal dari pesantren yang kurang maju lalu malas berpikir untuk maju,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Fathoni)