Jakarta, NU Online
Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama pada 2015 terkait dengan isi buku teks pelajaran agama Islam (PAI) menemukan masih munculnya sejumlah kesalahan.
Keputusan Menteri Agama (KMA) 437 menetapkan bahwa buku-buku yang dibeli dan diadakan oleh Departemen Agama harus di-tashih (=dikoreksi, divalidasi, dibenarkan substansinya) terlebih dahulu sebelum diedarkan kepada peserta didik baik yang berada dilingkungan Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Namun hal tersebut tidak bisa berjalan karena buku-buku tersebut bukan dibeli dan diadakan oleh Kementerian Agama. Dengan adanya program BOS pengadaan dan pembelian buku-buku pelajaran agama Islam diadakan dan dibeli langsung oleh Komite Sekolah.
Sejumlah kesalahan tersebut meliputi:
1) ketidaktepatan pengutipan teks ayat Al-Qur’an;
2) ketidaktepatan pengutipan teks hadis;
3) ketidaktepatan pengutipan terjemah ayat Al-Qur’an;
4) ketidaktepatan penerjemahan hadis;
5) inkonsistensi dalam penggunaan transliterasi Arab-Latin;
6) ketidaktepatan penulisan Bahasa Indonesia;
7) ketidaksesuaian antara pengutipan ayat Al- Qur’an atau hadis dengan topik bahasan;
8) ketidaksesuaian antara materi dengan gambar (ilustrasi), dan;
9) ilustrasi yang ditampilkan sering tidak sesuai dengan konteks pembahasan atau usia anak didik; daftar pustaka yang dicantumkan sering tidak dirujuk karena sering menggunakan sumber yang tidak kredibel seperti internet.
Puslitbang LKK berpendapat kesalahan atau kekeliruan penulisan yang terdapat dalam buku pelajaran SD, SMP, dan SMA tersebut, akan mengakibatkan “penyesatan” di samping pemahaman yang keliru bagi peserta didik.
Untuk itu, Puslitbang mengusulkan agar pemerintah perlu menarik penggunaan buku pelajaran Pendidikan Agama yang memuat kesalahan “berat” untuk dilakukan revisi terlebih dahulu agar dapat dipergunakan pada waktu mendatang;
Selanjutnya, diperlukan pengembangan KMA 437 (yang membatasi kewenangan untuk menilai buku-buku yang dibeli dan diadakan oleh Departemen Agama) diperluas wilayah otoritasnya hingga memiliki kewenangan untuk menilai buku-buku yang diadakan oleh Kemendikbud juga. Selain itu, perlu dibuat MoU antara Kementerian Dikbud dalam menangani buku-buku pelajaran agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Terakhir, terkait dengan temuan kontemporer, perlu dilakukan langkah pemberian teguran, atau perintah untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi. Bahkan pada tingkat kesalahan yang “tinggi”, perlu dilakukan penarikan dari pasar. (Mukafi Niam)