Balitbang Kemenag

Robert Hefner: Indonesia Beri Pelajaran Baik soal Kehidupan Beragama

Rabu, 5 Oktober 2016 | 07:00 WIB

Robert Hefner: Indonesia Beri Pelajaran Baik soal Kehidupan Beragama

Prof Robert W. Hefner

Jakarta, NU Online
Indonesia bukan hanya menerapkan sistem demokrasi, tetapi juga mampu menerapkannya dengan baik terutama dalam kehidupan umat beragama. Dalam hal inilah negara Barat dan negara-negara muslim harus belajar kepada Indonesia karena negara ini jelas-jelas memberikan pelajaran yang baik.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof Robert W. Hefner, Director Institute on Culture, Religion, and World Affairs in the Pardee School of Global Studies Boston University, USA dalam Diskusi Pra-Simposium Internasional Kehidupan Keagamaan (International Symposium on Religious Life), Selasa (4/10) di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta.

Dalam diskusi bertajuk Definisi Agama di Indonesia: Rekognisi, Proteksi, dan Kepastian Hukum ini, penulis buku Geger Tengger ini secara jelas mengatakan bahwa negara Barat terkadang sombong untuk mengambil pelajaran dari negara-negara yang berhasil mengelola kehidupan beragama seperti Indonesia.

“Indonesia adalah negara demokratis yang berhasil menjalankan hak-hak kewarganegaraan dengan baik. Bahkan bisa menjadi contoh dan pelajaran bagi negara-negara Barat yang kadang-kadang cenderung sombong. Seolah-olah mereka tidak perlu belajar dari negara-negara lain. Dalam hal inilah saya kira Indonesia banyak memberi pelajaran yang baik,” jelas Hefner, Indonesianis yang fasih berbahasa Indonesia dan Jawa ini.

Peneliti yang sudah malang melintang selama 30 tahun meneliti tentang Indonesia ini mengungkapkan, memang di seluruh negara demokrasi di dunia belum ada bentuk atau formula khusus dalam pengelolaan kehidupan beragama. Bahkan menurutnya, di Barat justru sikap Islamofobia masih terus menggelayuti sebagian orang dan kelompok. 

Hefner menyarankan bahwa formula dan definisi agama harus tetap mempertimbangkan pluralitas masyarakat di suatu negara. Karena menurut UU di Indonesia, semua warga negara mempunyai hak bersyarikat dan berkumpul sehingga mampu mewujudkan harmoni. Di sinilah, berbagai perbedaan justru mampu menyatukan bangsa Indonesia secara demokratis dan damai.

“Menurut saya, realitas kehidupan beragama terjamin di dalam UUD 1945, tetapi terkait dengan definisi agama, hal ini menjadi persoalan yang sangat sensitif. Jangan sampai definisi agama menjadi hambatan untuk diskusi lebih lanjut. Bahkan isu yang paling mendasar adalah bagaimana melindungi masyarakat dan hak-hak mereka sebagai warga negara agar Indonesia tetap bersatu dan menjalankan demokrasi dengan baik,” papar Hefner.

Dalam diskusi pra simposium ini, Balitbang dan Diklat Kemenag juga menghadirkan mantan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Kepala Balitbang dan Diklat Abdurrahman Mas’ud, dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU yang juga Redaktur Majalah GATRA Asrori S. Karni. 

Kegiatan Simposium sendiri dibuka Rabu (5/10) di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Kegiatan ini menghadirkan berbagai pakar seperti Robert W. Hefner (Boston University, USA), Gamal Farouq Jibril (Al-Azhar University Cairo, Mesir), Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Simposium ini bertajuk Managing Diversity, Fostering Harmony. 

Selain itu juga digelar diskusi yang akan diisi oleh Ahmad Najib Burhani (LIPI), Syafiq Hasyim (ICIP-PBNU), R. Alpha Amirrachman (CDCC-PP Muhammadiyah), Ahmad Suaedy (Abdurrahman Wahid Center UI), Muhammad Adlin Sila (CDRL-MORA), dan Alimatul Qibtiyah (PSW UIN Yogyakarta). (Fathoni)