Balitbang Kemenag

Tradisi Merti Deso Rekatkan Kerukunan Antarumat Beragama di Magelang

Jumat, 31 Agustus 2018 | 20:30 WIB

Tradisi Merti Deso Rekatkan Kerukunan Antarumat Beragama di Magelang

Tradisi merti deso di Magelang (foto: Antara)

Jakarta, NU Online
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang Diklat Kemenag, menerbitkan jurnal Harmoni Volume 16 tahun 2016 lalu. Jurnal ini memuat beberapa tulisan hasil penelitian salah satunya berjudul Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang.

Tulisan hasil penelitian Zakiyah, peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Semarang mengungkapkan terdapat berbagai tradisi lokal dan tradisi keagamaan yang berkembang di Desa Grabag, Losari dan Ngrancah, Magelang, Jawa Tengah. Tradisi lokal dan tradisi keagamaan tersebut dapat berfungsi sebagai perekat sosial dan peredam perselisihan antarwarga, karena dalam kegiatan tersebut semua masyarakat mempunyai kesempatan untuk saling bertemu dan berinteraksi antara satu dengan lainnya. 

Misalnya, di Dusun Tukbugel, Desa Ngrancah dan Dusun Losari terdapat tradisi merti deso. Tradisi ini merupakan acara ulang tahun desa ataupun dusun yang diikuti seluruh warga kampung. Pada acara tersebut setiap keluarga akan membawa makanan nasi dan lauk pauknya. Di antara keluarga tersebut akan ada yang membawa nasi tumpeng dan ingkung ayam. Hasil wawancara dengan bayan dan warga Tukbugel, serta wawancara dengan warga desa Losari, 31 Juli-1 Agustus 2015 ditemukan, di dusun Tukbugel yang biasa membawa tumpeng dan ingkung adalah bayan dusun dan tokoh masyarakatnya. 

Pada acara tersebut, selain makan bersama semua warga, juga menjadi ajang bertemu dan mengurai masalah masalah yang dihadapi masyarakat pada saat itu. Misalnya, disebutkan oleh seorang tokoh agama Islam Desa Losari bahwa pada waktu perayaan merti deso akan ada sambutan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, biasanya mereka akan bicara tentang pentingnya kebersamaan antarwarga dan peneguhan kembali kerukunan yang sudah terjalin. 

Warga juga mempunyai kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya dan memberikan usulan terkait program desa atau masalah yang dihadapi warga iuran uang banyak sekaligus maka mereka akan keberatan, oleh karenanya untuk meringankan beban warga maka iuran dilakukan secara bertahap melalui jimpitan.

Sementara di Dusun Ponggol I dan II, Desa Grabag terdapat tradisi nyadran yaitu tradisi Jawa yang dapat berfungsi sebagai ruang bersama warga dari berbagai latar belakang agama, sosial dan ekonomi. Di Dusun Ponggol, tradisi nyadran tersebut pernah surut dan tidak dilaksanakan, tetapi mulai tahun 2015, tradisi ini dihidupkan kembali atas inisiatif masyarakat desa dan beberapa tokoh masyarakat. Dalam acara tersebut ada doa yang dibacakan dan makan bersama seluruh warga yang hadir. Tradisi nyadran juga terdapat di Dusun Losari dan dusun Tukbugel desa Ngrancah (wawancara dengan warga dusun Tukbugel dan Losari, 12-18 Juni 2015). 

Tradisi lokal yang juga mengandung ajaran agama adalah tradisi memperingati hari kematian (satu hari, tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari, satu tahun, mendak). Tradisi ini dilaksanakan oleh semua pemeluk agama yang ada di desa Losari. Masing-masing mengadakan doa berdasarkan agama mereka.

Misalnya, ketika umat agama Budha mengadakan gendurenan memperingati hari kematian salah satu anggota keluarga maka akan membaca doa sesuai dengan ajaran agama Budha, sedangkan umat lain yang diundang mendoakan menurut keyakinannya masing-masing atau hanya diam saja. Ketika umat Islam mengadakan gendurenan memperingati hari kematian, maka akan didoakan menurut agama Islam, sedangkan umat agama lain yang hadir sebagai undangan mendoakan menurut keyakinannya masing-masing atau hanya diam saja. 

Begitu pula jika ada umat Katolik atau Kristen yang mengadakan gendurenan memperingati kematian, akan didoakan menurut ajaran Katolik dan Kristen, sedangkan warga yang beragama lain akan mendoakan sesuai dengan keyakinannya (wawancara dengan tokoh agama Buddha, Katholik, Islam, dan warga Losari, 29-31 Juli 2015). Kehadiran warga pada acara tersebut merupakan aksi saling menghormati meskipun mereka beda agama. 

Selain tradisi lokal tersebut, kerukunan antarumat beragama dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, di antaranya adalah budaya saling menghormati antar warga dan interaksi yang telah terbangun sejak lama serta prinsip-prinsip agama dan nilai-nilai Jawa yang masih dipegang oleh masyarakat sehingga dapat menjadi perekat sosial di antara mereka. (Kendi Setiawan)