Oleh Rahmatullah Ading Afandie Terakhir aku bertemu dengan ajengan* belum lama, sekitar dua tahun ke belakang. Aku bertemu lagi ketika naik mobil di sebuah jalan. Aku tersentak kaget ketika melihat ajengan di jalan itu dan langsung meminta sopir untuk berhenti.
<>
Bertahun-tahun tak bertemu, tapi aku tidak pangling pada kakek-kakek yang berjalan itu, bertarumpah, bertongkat waregu.
Ajengan sudah agak jauh terlewat ketika mobil berhenti. Buru-buru aku turun, setengah berlari.
Sebelum dia tahu siapa aku, aku menyalaminya, mencium tangannya, seperti dulu waktu di pesantren. Matanya mendelik berusaha mengenaliku. Tentu dia lupa sebab waktu di pesantren aku masih sangat kanak-kanak dan sekarang sudah jangkung.
“Sebentar, sebentar, ini siapa?” katanya.
Aku menyebutkan nama, tapi tetap sepertinya dia tidak ingat.
“Saya pernah mesantren dulu zaman Jepang di Ajengan...,”
Belum tamat aku menjelaskan, ia langsung berucap,”Laa ilaha ilallah, ini Aden?” Tentu, Den. Masya Allah, maaf Aden, maaf. Mama** lupa, maklum sudah tua. Masya Allah, dulu Aden masih kecil. Sekarang...., sebentar, dimana Aden? Bekerja apa? Sudah berapa putra?”
Aku menceritakan keadaanku. Ketika aku bercerita ajengan selalu berdecak, sambil tak henti masya Allah, alhamdulillah terus.
Setelah aku bercerita, ajengan menceritakan dirinya. Katanya, sekarang ia sudah tidak mempunyai pesantren sebab dibakar Belanda waktu zaman pendudukan. Ibu ajengan (istrinya) sudah setengah pikun serta sakit-sakitan. Nyi Halimah, putri tunggalnya dibawa suaminya. Tidak tahu kemana, kata orang dibawa ke gunung. Malahan ajengan juga pernah ditahan sama menantunya itu.
“Si Udin (menentunya) jadi pemimpin gerombolan***, Aden,” kata ajengan.
Menyesal aku tak bisa lama ngobrol dan tak bisa mengajak dia ke mobil sebab jalan yang kutuju berbeda dengannya.
Terus aku menyerahkan uang seratus rupiah. “Lumayan untuk membeli tembakau,” kataku.
Lama sekali dia berdoa setelah menerima uang itu. katanya, “Pak Aden, mama berdoa semoga dekat dengan rezeki, jauh dari balahi. Semoga menjadi orang yang diridoi Tuhan lahir batin. Mama titip jangan meninggalkan kewajiban agama karena buat apa manusia hidup di dunia kalau hanya meninggalkan perintah-Nya. Cuma amal saleh yang bisa dipakai untuk di alam kelanggengan. Harta benda tak akan bisa dibawa ke alam kubur...”
Aku terenyuh ketika melihat ke belakang. Ajengan masih berdiri tertegun menatap mobilku.
Meski sudah agak jauh, tapi jelas terlihat bibirnya masih komat-kamit berdoa.
Aku ingat ketika masiih di pesantren...
Ajengan tidak pernah sekolah, tak pernah mendapat didikan universitas. Tapi aku yakin, ajengan yang tinggal di kampung itu orang pintar, orang yang otodidak. Caranya dia mengajar, meski dia tidak mendapatkannya dari buku, tapi mudah dimengerti. Meski sering membentak, tapi disegani santri-santrinya. Malahan jadi payung bagi orang-orang kampungnya. Penemuannya asli, bukan dari buku orang lain. Meski begitu, tetap dalam dan mengandung kebenaran. Luas pemikirannya, luhur penemuannya. Singkkatnya, bukan orang mentah. Tidak banyak sekarang juga aku menemukan orang seperti ajengan. Pedoman dia, “Tafakur sejam, lebih berguna daripada shalat berjumpalitan enam puluh hari tanpa tafakur.”
Guyonannya, selintas seperti berlebihan, tapi kalau ditelaah, tidak keluar dari jalur agama. Malah sering mengandung pelajaran.
Tidak beda dengan guyonannya Nabi Muhammad. Pada suatu ketika, ada nenek-nenek menangis tersedu-sedu karena Nabi mengatakan, nenek-nenek tidak akan pernah ada di sorga. Nenek itu menangis karena merasa dia tidak akan pernah merasakan sorga.
Nabi tersenyum, katanya, “Jangan menangis, meski di dunia sudah nenek-nenek, kalau sudah masuk sorga akan muda kembali.”
Barulah nenek itu tidak menangis.
Begitu juga dengan guyonan ajengan.
Kalau mengajar dia sering berkata cawokah (mesum). Belakangan aku menemukan guru besar cawokah, Prof. Mr. Dr Hazairin di Fakultas Hukum. Kalau memberi contoh sengaja memilih contoh-contoh cawokah. “Dengan contoh-contoh semacam itu, mahasiswa tidak mudah lupa.”
Begitu juga dulu ajengan waktu mengajar sama dengan Hazairin. Padahal Hazairin profesor dengan banyak gelar, sementara ajengan sekolah juga katanya cuma sampai kelas dua sekolah desa.
Namanya manusia, ajengan juga memiliki banyak kesalahan. “Ana mah manusia, tempatnya salah dan lupa,” katanya.
Menyesal tadi aku tak melihat kepalanya. Dulu kepalanya selalu gundul. Katanya, “Kepala gundul itu sunah Nabi.”
Semoga di sini aku menceritakan ajengan, yang baik maupun buruk, tidak menyebabkan apa-apa, malah semoga menjadi rahmat untukku, juga untuk pembaca. Amin.
Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen Dongeng Enteng dar Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen otobiografis tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.
*Ajengan= panggilan kiai di Sunda.
**Mama= bapak. Kemungkan berasal dari kata rama.
***Gerombolan=untuk menyebut pengacau keamanan DI/TII waktu itu
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
3
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
4
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
5
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
6
Menag Penuhi Undangan Arab Saudi untuk Bahas Operasional Haji 2025
Terkini
Lihat Semua