Cerita Pendek Pensil Kajoe
Angin berkesiur mendorong awan hujan, menyelubungi langit di atas kampung tanah kelahirnku. Kampung halaman yang hanya bisa kulihat dari balik kaca jendela rumahku. Kata Ibu, aku ini anak spesial dan lain daripada anak-anak seumuran denganku.
"Kau adalah permata hati ibu yang paling berharga, Nak. Ibu tak ingin kau terluka jika berada di luar sana," kata Ibu suatu ketika sambil memangku dan menyuapiku.
Kalau memang aku ini spesial, mengapa tubuhku tak sesempurna mereka yang asyik bermain sepeda, berlari-lari kecil sambil mengulurkan benang layang-layang yang meliuk-liuk di atas kepala mereka?
Baca Juga
Obrolan di Teras Mushala
Melihat kegelisahanku, kedua mata Ibu berkaca-kaca. Air matanya mengembang. Perasaan seorang ibu sangatlah peka, meski aku pura-pura tersenyum.
"Jangan bersedih, Le. Kau belum kalah. Ibu tahu kau tentu tersiksa dengan kondisimu sekarang." Ibu selalu menyemangatiku. "Kau ingat perjuangan seekor ulat yang dianggap menjijikan sebelum menjadi kupu-kupu bersayap indah?" Ibu mengelus rambutku dengan tangan lembutnya.
Tangan seorang perempuan yang melahirkanku benar-benar ajaib. Tiap kali tangan itu menyentuh tubuhku, ada getaran halus, menenangkan.
Aku memang bukan anak satu-satunya, tetapi Tuhan sengaja menciptakanku berbeda dari kedua saudaraku. Awalnya aku kerap merutuk melihat ketidaklengkapan tubuhku yang tak bisa ikut berlari-lari mengejar bola, menendang bola, dan menggolkan ke gawang.
Baca Juga
Tragedi Ciliwung
"Kak, lempar sini bolanya. Biar adik yang memasukkan ke gawang." Aku menyeru pada kakak keduaku.
Lama kutimang-timang bola itu, ingin rasanya kujebolkan ke gawang yang terbuat dari sepasang sandal jepit yang dibagi dua, kanan kiri. Namun, harapanku harus pupus seketika itu juga saat sadar, tak ada sepasang kaki yang bisa menopang tubuh, membawaku ke sana kemari sesuka hati.
***
Gemerincing roda pada kursi roda menggilas jalan setapak berpaving di sekitar kompleks perumahan tempat tinggalku. Sore itu, seperti biasa jika cuaca cerah, Ibu selalu mengajakku jalan-jalan sore.
Baca Juga
Percakapan-percakapan yang Tertinggal
"Nak, nikmati saja hidup dan keadaan yang digariskan-Nya. Tuhan tak akan pernah membiarkan hamba-Nya sendiri di muka bumi ini." Suara merdu ibu terdengar di belakangku. Beliau sesekali berhenti mendorong kursi roda yang mengangkut tubuh ringkihku.
"Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama manusia punya semangat untuk terus berusaha meraih mimpi. Sebab, cita-cita bukan milik mereka saja, orang-orang yang secara fisik lengkap."
Kata-kata ibu seolah-olah menjadi pelatuk semangat dalam diriku yang kadang meredup. Secara fisik, aku memang penyandang tunadaksa dan aku bukanlah satu-satunya orang yang tak memiliki anggota tubuh lengkap. Justru aku sangat bersyukur di tengah ketidaksempurnaan, aku dilingkupi orang-orang yang sangat menyayangiku. Ada Ayah, Ibu, dan kedua kakak laki-lakiku. Mereka tak pernah membeda-bedakan kasih sayang.
Jam di dinding kamarku seolah-olah lambat berputar, suara detikannya begitu nyaring mengoyak senyap malam, hening. Kelepak kelelawar-kelelawar mencari makan, sesekali terdengar sayup-sayup suara burung celepuk. Malam memang menjadi waktu paling tepat bagi para makhluk nocturnal untuk beraksi. Tuhan benar-benar Maha Pengatur Kehidupan dengan sangat sempurna, tanpa cela.
Baca Juga
Bersepeda di Kota yang Membeku
Kulihat Ibu tertidur lelap di sampingku. Dari balik kain batik kawung yang menyelimuti tubuh mungilku, kupandangi kursi roda pemberian sahabat Ayah yang bekerja di dinas kesehatan kabupaten, kursi yang menopang tubuhku.
***
"Bu, aku enggak salah kalau punya keinginan menjadi atlet lari, kan?" Selepas sarapan, aku mengutarakan apa yang selama ini mengganjal dalam hati. Ibu dan kedua kakakku tersenyum mendengar aku berkata seperti itu.
"Kau bisa menjadi apa pun yang kau mau. Asal kau punya semangat, Adikku." Kakak pertamaku menggenggam tangan kananku dengan kedua tangannya.
Mas Deni, kakak keduaku berjalan mendekat dan berdiri di belakang sandaran kursi rodaku. "Kau ingat tidak, Dik? Waktu itu Kakak cerita tentang orang-orang berkebutuhan khusus, tetapi mereka mampu mengguncang dunia?"
"Tentu aku ingat, Mas. Aku juga ingin menjadi seperti mereka. Tak minder meski memiliki kekurangan dalam diri," aku menyeru dengan mengepalkan tangan kananku.
Suasana selepas sarapan terasa hangat, inilah yang disebut rumahku surgaku. Sayang, kali ini Ayah tidak bisa berkumpul bersama keluarga sebab beliau sedang menjalankan tugas negara di luar Jawa.
Mas Deni pernah bercerita tentang orang-orang hebat meski memiliki keterbatasan fisik. Kekurangan tersebut justru membuat mereka makin kuat bahkan bisa dibilang mampu mengalahkan keteguhan dan semangat juang orang-orang yang diberi tubuh sempurna. Seperti halnya Stephen Hawkin yang seumur hidup harus duduk dan ke mana pun pergi selalu berada di kursi roda bahkan dia tidak bisa berbicara sewaktu masih muda. Aku masih bersyukur karena mata, mulut, dan kedua tanganku berfungsi sempurna.
"Kau tentu juga masih ingat sewaktu ajang ASIAN Para Games tahun lalu, kan?" tanya Mas Deni.
Aku berusaha mengingat-ingat. "Oh, iya, iya. Aku ingat, Mas. Atlet lari itu yang perempuan, kan? Kalau enggak salah namanya … Suparniyati dan Rica Octavia."
"Ya, betul sekali. Nah, kedua orang itu mampu menunjukkan pada dunia bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk menuju kegemilangan."
Aku menjadi makin mantap untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan cita-cita. Bukan mustahil suatu hari nanti aku juga bisa berada di posisi mereka, turut mengharumkan bangsa tempat aku dilahirkan.
***
Sorak sorai para penonton bergemuruh diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan. Seorang laki-laki yang pernah kulihat di televisi kini berada tepat di depanku. Beliau mengenakan jaket putih bergaris merah, di sebelahnya duduk seorang perempuan dengan dandanan sederhana.
Tak salah lagi, beliau adalah presiden di republik ini dan perempuan di sebelahnya itu Ibu.
Seorang laki-laki akan mengalungkan medali emas ke leherku, terdengar suara azan Subuh menelisik menggetarkan gendang telinga.
"Tuhan, semoga roda pada kursi ini benar-benar bisa meluncur di atas lintasan seperti yang terjadi dalam mimpiku. Tak ada yang mustahil di dalam genggaman tangan-Mu," gumamku lirih.
Duku Puntang-Cikalahang, Cirebon, 20-09-2020
Pensil Kajoe, laki-laki kelahiran Banyumas, 27 Januari ini menyukai dunia tulis menulis sejak masih duduk di bangku SD. Tulisan-tulisannya, baik berupa cerpen maupun puisi telah tersebar di berbagai koran di tanah air. Penyuka soto dan martabak telur ini juga membukukan tulisannya ke dalam 18 antologi tunggal dan lebih kurang 80 antologi bersama. Buku terbarunya berupa antologi cerpen Jas Merah Milik Bapak dan novelet Maut dan Cinta. Laki-laki berkacamata minus ini menjadi kolomnis Bahasa Jawa dialek Banyumasan di Majalah Djaka Lodang, dan Majalah Digital Belik yang keduanya ada di Yogyakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua