Cerpen

Aulia

Ahad, 22 Juli 2012 | 03:06 WIB

Oleh Moh Haris Suhud

“Berangkatlah ke pesantren, Nak. Sudah ada ibu kok yang mengurus Bapak. Kamu, belajarlah yang rajin!”

Sore itu juga, Aulia langsung kembali ke pesantren tempat ia menimba ilmu.
<>
Langkahnya terasa berat untuk meninggalkan bapaknya yang sedang terkulai lemas karena sakit. Padahal bapaknya adalah penopang kebutuhan keluarga sepenuhnya. Ibunya sudah tak lagi kerja.

***
Di kampung Ilodan, hampir semua wanita bekerja sebagai "penjual" tubuh. Siang hari, kampung itu tampak sepi. Tapi ketika malam mulai merayap, lelaki hidung belang pencari kenikmatan sesaat, mulai berkeliaran meramaikan jalanan di setiap sudut kampung; mencari pasangan yang hendak dikencaninya.

Setiap tahun, menjelang bulan Ramadhan, kampung itu selalu didatangi sekelompok orang yang ingin membubarkan semua praktik maksiat di tempat itu.

Bagi Pak Sakir, kedatangan mereka selalu mengingatkan ketika ia belum lama tinggal di kampung itu. Pada suatu  malam, sehari sebelum masuk bulan Ramadhan,  sekelompok orang datang. Tanpa tedeng aling-aling, mereka merusak rumah yang ada di sana. Tak tersisa dan tanpa kecuali. Mereka marah membabi-buta.

Pekik dan jerit terdengar di mana-mana. Terutama wanita-wanita dan anak kecil. Pak Sakir dan istrinya yang sedang berbincang di ruang  tamu juga tak luput amuk mereka.

“Bubarkan tempat-tempat maksiat ini!” pekik pemimpin mereka yang berseragam serba hitam.

“Hancurkan!” sambut yang lain sambil memecahkan kaca rumah-rumah.

Mendengar keributan, Pak Sakir langsung keluar.

“Hentikan!” cegahnya, “tenang! Tenang! Kita…,” belum sempat ia menyelesaikan bicaranya, satu pukulan telak mendarat di belakang lehernya. Seketika pandangannya kabur. Ia tersungkur.

Seseorang datang. Langsung menghadiahi pukulan di perutnya.

“Beggg....” Pak Sakir kemudian hanya melihat gelap, tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.

Setelah ia sadar, pukulan kembali menghunjam. Tapi kali ini, bukan di tubuhnya, tapi hatinya. Istrinya yang hamil muda harus dibawa ke rumah sakit. Ia terjatuh ketika akan menolongnya di antara keroyakan orang-orang berseragam hitam tersebut. Tragis, nyawa istrinya tak dapat diselamatkan, tapi untung, bayi yang sedang ia kandung masih bisa ditolong.

Sendirian Pak Sakir merawat bayinya. Baru setelah bayi itu berusia satu tahun, ia menikah lagi dengan Fatimah, seorang pelacur.

***
Pak Sakir adalah orang yang sederhana. Ia bekerja sebagai guru negeri yang ditugaskan mengajar di SD kampung Ilodan. Gajinya hanya cukup menutupi kebutuhan keluarga sebulan.

Ia pindah ke kampung itu sejak 30 tahun lalu bersama istri pertamanya.

Karena terkenal sebagai sarang maksiat, berkali-kali Ilodan akan dibubarkan pemerintah kota setempat, maupun Ormas. Tapi masalahnya tak pernah tuntas. Sekarang dihancurkan besok tumbuh lagi. Begitu seterusnya. Sebab, usaha pembubaran tersebut tak pernah menyentuh akar permasalahan sesungguhnya. Karena sebenaranya, praktik kemaksiatan di kampung itu adalah demi menyambung nyawa. Hampir 99 persen pemuas birahi itu terbentur keadaan.

Hal itu diketahui Pak Sakir 28 tahun lalu, ketika ia ngobrol bersama Fatimah, sebelum menjadi istrinya.

“Kenapa kamu mencari nafkah dengan menjual tubuh, bukankah ada pekerjaan lain yang lebih halal?”

“Mau kerja apa, Mas. Wong ijazah SD saja aku tak punya. Sementara melamar kerja, semuanya butuh ijazah. Memang ada banyak tawaran kerja ke luar negeri. Tapi setelah aku tahu, aku jadi miris sendiri. Banyak berita-berita yang mengabarkan sering terjadi penyiksaan tenaga-tenaga kerja di negeri orang. Dari pada mati, kan  lebih baik memilih yang lebih aman saja."

 “Ah, hidup ini memang keras, Mas,” lanjutnya. “Sebenarnya bukan keinginan kita bekerja seperti ini. Semua perempuan di kampung ini mungkin juga punya pikiran sama. Kita semua pasti mengharapkan punya kerjaan yang halal dan hidup bahagia bersama keluarga.”

“Sejak kapan bekerja seperti ini?” tanya Pak Sakir lagi.

“Yaaa…sudah lama lah pokoknya.”

“Kalau pengen hidup bersama keluarga, kenapa gak cari suami?”

“Emang ada orang yang mau menikahi seorang wanita pelacur? Aku kira nggak ada yang mau, Mas,” katanya sambil menebaskan tangan kanannya melambai.

Setelah pertemuan itu, Pak Sakir menawari Fatimah menjadi istrinya. Meskipun dalam kitab suci yang ia yakini melarang menikahi perempuan ahli zina, tapi ia punyai tafsir sendiri, bahwa menikahi perempuan pelacur adalah jihad kecilnya untuk menghentikan prakik pelacuran.

Menurutnya, berani menikahi pelacur adalah pemecahan masalah yang lebih realistis dan menyentuh akar permasalahan dibandingkan dengan hanya berkoar-koar dan merusaki tempat-tempat maksiat itu. Mereka yang berani mengambil jatah menikahi empat wanita pelacur misalanya, adalah meraka orang-orang yang shaleh, orang-orang yang bisa berpikir panjang. Toh, seorang lelaki boleh menikahi wanita hingga empat, asal bisa adil di antara istrinya itu. Kalau hanya sekadar menyeru penumpasan kemaksiatan tanpa berpikir ke depan, burung beo pun bisa. Kalau sekadar menghancurkan, orang edan pun bisa.


***

Sudah seminggu, Pak Sakir hanya bisa berbaring di ranjang ditemani Fatimah. Dokter mengatakan bahwa penyakitnya hanya bisa sembuh jika dioperasi. Sedangkan uang yang ada semakin menipis, biaya operasi sangat mahal.

“Aku carikan hutangan lagi di tetangga lagi ya, Pak,” usul istrinya yang tak tega melihat keadaan suaminya yang semakin hari semakin melemah.

“Ndak usah, Bu. Aku baik-baik aja, kok. Lagian uang yang ibu pinjam di Bu RT buat tebus obat kemarin belum sempat dibayar, kan?” cegah Pak Sakir dengan suara lirih.

Diam-diam tanpa sepengetahuan suaminya, Fatimah menawarkan dirinya kepada lelaki yang dulu pernah menjadi pelanggannya. Tapi sayang, pamornya sudah kalah dengan pendatang-pendatang baru yang lebih muda.

Ia memutar otak lagi untuk mendapatkan uang untuk biaya operasi suaminya. Dalam pikiran yang kalut, ia sempat punya pikiran menjemput Aulia di pesantren dan membujuknya agar ia mau menjual keperawanannya. Tapi sebaiknya ia pulang dulu, mengatakan niatnya kepada suaminya. Barangkali ia setuju.

***
Di pondok pesantren Al-Islam, Aulia sedang sholat hajat untuk kesembuhan bapaknya. Ditemani oleh sahabatnya, Eva. Mereka mendoakan agar bapak Aulia segera sembuh dari sakit.

Usai berdoa, keduanya beranjak tidur. Tapi di pikiran Aulia muncul wajah bapaknya. Entah kenapa, pikiran-pikiran negatif hadir mendebarkan jantungnya. Tak sadar iya sesenggukan.

“Kenapa kamu menangis?” tanya Eva, terbangun.

“Aku takut, Mbak. Bagaimana jika bapakku…”

“Sssttt…” potong Eva. “Semuanya akan baik-baik saja. Yakinlah, Allah akan mendengar doa hambanya. Kamu ingat kan firman Tuhan: ud’uni astajib lakum. Berdoalah kepadaku, maka aku (Allah) akan mengabulkan doa kalian. Allah pasti mendengar doa anak yang sholihah sepertimu, Aulia. Dan doa anak yang sholehah kepada orang tua itu termasuk doa yang mustajabah, doa yang mudah untuk dikabulkan Allah. Sekarang tidurlah, jangan sampai tangismu membangunkan yang lain.”

“Terima kasih, Mbak.”

Eva adalah sahabat Aulia di pesantren, sahabat yang setia menemaninya dalam suka atau duka. Ia selalu ada untuk Aulia, begitupun sebaliknya. Meskipun usianya lebih tua dari pada Aulia, ia tak pernah merasa bahwa dirinya lebih dewasa atau lebih pintar. Ia sering menanyakan tentang pelajaran yang tak ia pahami pada Aulia. Dalam bidang akademi, Aulia memang santri paling cerdas di antara santri yang lainnya.

Baru saja mereka berdua akan memejamkan mata lagi, ada orang yang mengetuk pintu kamar. Setelah uluk salam, orang itu membuka pintu.

“Ukhti Aulia….. Tantadhiru ummuki fid diwan,” orang itu berbicara dengan bahasa Arab.
Aulia mendengar namanya dipanggil, ia langsung bangun kemudian cepat-cepat menutup kepalanya dengan sehelai kain.

“Na’am, Ustadzah,” jawab Aulia. Ia langsung bergegas, berlari menuju kantor pesantren.
Sampai di kantor, ia langsung mengecup tangan ibunya.

“Ada apa, Ibu, kok datang ke pesantren malam-malam begini?”

“Bapak menyuruhmu pulang, Nak.”

“Bagaimana keadaan Bapak, Bu?” Aulia mulai khawatir ada apa-apa dengan bapaknya.

“Kita bicarakan di rumah saja.”

***
Aulia langsung memeluk bapaknya yang sedang berbaring di atas ranjang. Airmatanya mengalir menangisi bapaknya,  keadaannya lebih parah dari pada saat ia tinggalkan berangkat ke pesantren beberapa waktu silam.

“Sakit bapakmu sudah semakin parah, Nak,” kata ibunya sambil memegang pundak Aulia.

“Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja, Bu.”

“Dokter menyuruh agar bapakmu segera dioperasi. Biaya operasi itu sangat mahal bagi kita. Ibu bingung dari mana harus mendapatkan biaya itu,” dengan mata berkaca-kaca, ia melanjutkan, “Berhari-hari ibu telah mencoba cari uang dengan menceburkan diri lagi ke lembah pelacuran, tapi sudah tak laku. Yang mereka cari sekarang adalah gadis-gadis muda SMA. Mendapatkan gadis semuda itu, sekarang juga tidak sulit. Ibu yang sudah tua ini, tentu kalah jauh dengan mereka.”

Aulia bangun dari duduknya dan mengajak keluar ibunya dari dalam kamar.

“Apakah aku laku dijual, Bu?” kata Aulia.

Mendengar ungkapan Aulia, tentu ibunya sangat terkejut.

“Kamu adalah anak perempuan satu-satunya. Kamu dididik di pesantren agar menjadi anak yang sholehah. Bapakmu selalu mengharapkanmu menjadi perempuan yang beradab, menjadi pemimpin, menjadi contoh, untuk semua perempuan dengan budimu yang luhur. Bukan menjadi pelacur seperti kebanyakan wanita di kampung ini.”

“Untuk bapak, aku rela melakukan semuanya, Bu.”

***
Keringat dingin keluar dari seluruh tubuh Aulia. Malam ini adalah pertama kalinya ia berduaan di dalam kamar dengan seorang lelaki. Pria inilah yang menghargai keperawanan Aulia dengan tawaran paling tinggi di antara penawar lainnya. Ia akan membayar dengan menanggung semua biaya operasi bapaknya ke luar negeri.

Di dalam kamar bercahaya redup, di atas seprai warna putih, Aulia berbaring. Dalam ketakutannya, ia mencoba memberanikan diri melirik lelaki yang akan dihiburnya malam ini. Samar-samar, Aulia melihat lelaki itu sedang melepas dasi dan kemejanya, kemudian ia mencentelkannya di balik pintu. Setelah itu, ia menelan sesuatu ke dalam mulutnya lalu berjalan mendekat dan berbaring di samping Aulia.

Jantung Aulia berdebar hebat, ia memejamkan mata, ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Lelaki itu memiringkan tubuh seraya memandang ke arahnya. Aulia tak berani membuka matanya. Dari dalam tubuhnya semakin deras mengalirkan keringat dingin, mencoba melawan rasa takut. Tapi semuanya, apapun yang akan terjadi, harus ia lakukan.

Tiba-tiba lelaki itu memegang tangan Aulia yang terbujur kaku di atas dadanya. Lelaki itu menggenggam tangan kanan Aulia, menggiring ke bagian tubuhnya.Ia hanya pasrah dengan apa yang dilakukan oleh lelaki itu. Dari kerut kulit yang menyentuh tanganya, lelaki yang ada di sampingnya ini dapat dipastikan sudah tidak muda. Mungkin sudah seumuran bapaknya.

Belum sampai menyentuh apapun, suara keras menggedor-gedor di balik pintu.

“ Dooor….dorrr…..”

“Buka pintu, buka pintu…. dasar pezina laknatullah.”

Setelah pintu terbuka, segerombolan orang berseragam serba hitam langsung memukul lelaki yang masih berbaring di atas ranjang bersama Aulia.

“Begg….Beggg…Begg..” lelaki itu seketika tak bergerak lagi.

Melihat kejadian itu, Aulia menjerit histeris. Dua orang bertubuh kekar menghampirinya dan membungkam mulut dan hidungnya dengan kain beraroma sangat menyengat, membuat kepalanya pusing dan pandangannya kabur, kemudian semuanya menjadi hening.

Ketika ia sadar, ia mendapati dirinya sedang berada di atas mobil yang melaju kencang. Entah kemana ia akan dibawa, ia tak tahu. Ia kaget ketika melihat dirinya tak tertutup oleh sehelai benang pun. Ia menjerit sekeras-kerasnya.

“Bapaaaaaaaaaakkkk…..”

“Aulia….Aulia….” suara Eva membangunkan.

Dengan nafas yang masih memburu, Aulia bangun dari mimpi buruknya.

“Istighfar, Aulia!!!” Eva mencoba menenangkannya. “Mimpi apa kamu?” tanyanya sambil menyuguhkan segelas air putih.

Setelah Aulia menceritakan semua mimpinya pada Eva, ia mengatakan pada sahabatnya, “Kata orang tua, mimpi mendekati subuh akan menjadi kenyataan. Aku takut, Mbak.”

“Jangan percaya dengan mimpi, Aulia. Mimpi hanyalah bunga tidur yang diciptakan menurut imajinasi kita sendiri. Mimpi juga berarti ulah setan untuk mengelabuhi manusia. Kecuali mimpi bertemu Rasulallah, karena setan nggak bisa menyerupakan dirinya dengan wajah Rasul kita. Dari pada bahas mimpi, yuk, kita ke masjid. Sudah adzan subuh tuh,” ajaknya.

Adzan subuh telah selesai berkumandang, Aulia dan Eva berangkat shalat subuh berjamaah di masjid. Setelah menunaikan shalat subuh mereka kembali ke kamar untuk membaca surat Al Mulk dan Waqi’ah bersama-sama santriwati sekamar.

“Ukthi Aulia… tantadhiru ummuki fid diwan,” tiba-tiba ustadzah mecungul dari balik pintu.

Kata-kata itu membuat Aulia kaget. Kata-kata yang sama seperti dalam mimpinya. Ia takut mimpinya akan menjadi kenyataan. Aulia menatap Eva. Eva menatap Aulia. Penuh tanya di wajah mereka berdua.

Aulia bergegas, berlari menuju kantor pesantren. Eva membuntuti di belakangnya.

Sampai di kantor, ia melihat ibu dan bapaknya sedang berbincang-bincang dengan dewan guru di ruang kantor pesantren. Ia langsung menyalami ibunya dahulu kemudian memeluk bapaknya.

“Ini bapakmu sedang kangen sama kamu, Nak. Hari belum terang sudah ngajak berangkat jenguk kamu.” kata ibu Aulia diiringi senyum menyungging di bibirnya.

“Bapak sudah sembuh, kan?” tanya Aulia.

“Alaaaah… Nduk, orang miskin seperti kita ini, sakit yang paling parah paling-paling cuma demam. Tuhan itu maha Adil, Nduk. Dia mengerti kekuatan hambanya. Lihatlah orang yang sakitnya aneh-aneh, kebayakan adalah orang kaya. Karena uang mereka banyak, mereka mampu buat bayar dokter. Kalaupun kita yang terkena sakit aneh-aneh itu, berarti memang sudah waktunya mati,” jawab bapaknya dengan gaya bicara  ceplas-ceplos.

“Hua…hua…hua…,” kantor itu dipenuhi tawa mendengar ucapan Pak Sakir. Begitupun Eva yang mendengar dari luar kantor. Ia tak bisa menyembunyikan wajah bahagianya karena melihat kebahagian Aulia dikunjungi orang tuannya.

“Haduh, Pak Ustadz, dokter sekarang ini kelakuannya semakin bejat. Satu minggu lalu, keluarga kami hampir kena tipu. Dia bilang penyakit saya harus dioperasi. ‘Kalau nggak, tak akan sembuh, katanya’. Karena kami nggak ada uang, akhirnya saya larang istriku untuk memenuhi saran dokter itu. Istri saya ini sampai mau cari hutangan untuk biaya operasi, tapi saya larang. Lha wong, aku merasa baik-baik saja kok mau dioperasi. Ya, mungkin karena waktu itu sedang demam, jadi tubuhku terasa lemas. Gitu aja kata dokter itu saya terkena penyakit entah apa namanya, istilahnya sangat aneh. Farises atau apa gitulah, saya lupa.”

“Aku kemarin juga sempat mau cari uang dengan melacur lagi lho, Pak. “ ibu Aulia menimpali. Kontan, seluruh ruang langsung hening. “Untung nggak ada yang mau dengan tawaranku itu. Ketika aku balik rumah, e…. ternyata… bapak udah duduk santai di depan rumah. Maaf ya, Pak, baru ibu katakan sekarang.”

“Astagfirullahalngandim, Buuu….,” pekik Pak Sakir sambil menebah dadanya.


Malang, 19 Juli 2012


MOH HARIS SUHUD, adalah mahasiswa akhir di Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Brawijaya, Malang. Semua tulisannya dapat di baca di http://morpiss.blogspot.com