Cerpen Cerpen: Mohammad Mujab

Bibir Seksi

Ahad, 11 November 2012 | 03:39 WIB

Pejalanan pulang melalui jalur darat selesai menunaikan haji. Pilihan kami ini bukan tanpa alasan, guru kami pernah berpesan; kalau pun harus terbang jangan sampai hal itu membuatmu merasa tinggi. 

<>

Ingatlah bahwa di bawah sana banyak kekasih-kekasih Allah yang hidupnya sederhana. Selain itu, perjalanan darat menawarkan kepada kami tentang rihlah sejarah.

Jalur yang kami lewati antara kota suci Mekah dan Tarim melalui kota tua Sana’a, ibu kota Yaman, dan tempat bersejarah lainya seperti daerah Darwan yang terletak di sebelah barat daya Sana’a. Daerah Darwan oleh para pakar sejarah Islam diperkirakan adalah daerah pemukiman Ashabul Jannah yang disebut-sebut Allah dalam dalam kitab suci Nya. Konon, Darwan memiliki kwalitas tanah tersubur yang berada di muka bumi, sehingga tidak sedikit buah-buahan, kurma, anggur, dan berkah bumi lainnya dihasilkan dari daerah tersebut.

Pagi hari kami telah melewati perbatasan. Kala itu, urusan imigrasi di perbatasan rada tersendat, tampaknya ada sedikit masalah dengan paspor kami, sebelum akhirnya uang dapat mempermudah urusan. Dari perbatasan ke Sana’a kami menyewa travel. Biaya yang ditawarkan si sopir cukup mahal, yaitu 15 dinar. Satu dinar pada saat itu senilai sama dengan sekitar 75 ribu rupiah, atau sekitar 30 riyal. Namun setelah jadi tawar-menawar yang cukup ulet, si sopir menurunkan 1 dinar per orang. Aku, Xafi dan Umar, masing-masing membayar  120 riyal.

Travel yang kami tumpangi tak lain adalah mobil SUV tua peninggalan penjajahan Rusia. Mula-mula kami ragu, namun setelah berjalan beberapa saat kemudian kami mulai menikmati. Ternyata mobil Eropa sangat nyaman walaupun segi fisik terlihat usang. Di luar dugaanku, mobil sangat cepat melibas jalanan, terkadang juga harus melintasi gurun untuk menempuh jalan pintas. Masih sekuat mobil-mobil Rally Paris Dakkar yang sering aku lihat di televisi dulu. 

Debu-debu mengepul di sisi kanan-kiri kaca, sesekali mobil melakukan jumping ketika menabrak gundukan-gundukan kecil. Suspensi yang masih baik membuat kami tidak begitu merasakan benturan yang keras di dalam mobil.

Ketika aku mulai berbicara heart to heart, menceritakan tentang masa laluku, Xafi akhirnya mulai terbuka. Ia kali ini tidak lagi menghindar dari pertanyaanku. Sepanjang perjalanan ia bertutur tentang masa lalunya yang penuh dengan kegelapan dan kebimbangan, sebelum akhirnya datang petunjuk Tuhan.

“Aku tidak tahu bagaimana mulanya. Saat itu umurku menginjak 15 tahun, seperti kebanyakan remaja lainnya di negeriku, aku hidup dalam kebebasan dan mulai berani mengekspresikan hayalan liar. Aku tidak tahu siapa ayahku. Aku hanya tinggal bersama ibuku di sebuah apartemen tua. Pada suatu malam aku bermimpi mendengar sebuah nyanyian, namun entah nyanyian apa itu? Semacam bunyian-bunyian akapela, kedengaran seperti paduan suara di gereja-gereja.” 

“Semenjak itu, mimpi yang sama sering hadir dalam tidurku. Semakin sering terjadi aku semakin penasaran. Ada satu lirik yang aku coba ingat, dan lirik itulah yang kemudian aku tanyakan kepada ibuku. Namun ibuku tidak tahu. Aku coba bawa masalahku ini ke sekolah dan aku tanyakan kepada guruku. Tapi apa jawaban yang kudapat? Katanya aku mengalami gangguan jiwa. Aku disarankan menajalani terapi. Aku merasa baik-baik saja. Aku tak merasa menyimpang dari sebelumnya, selain aku mulai malas datang ke gereja, dan bagiku itu wajar, seperti kebanyakan teman sebayaku yang mulai kenal dengan kehidupan luar. Tak sengaja ada seorang guru sejarah yang mendengar masalahku. Ia kemudian menemuiku dan menjelaskan apa yang sebenarnya kualami. 

“Nak, lirik itu adalah bunyi-bunyian dalam Islam,” jelasnya tentang apa yang kudengar dalam mimpi. 

“Ya, aku tahu ada Agama Islam, tapi aku tak tahu kalau ada suara seindah itu dalam Islam. Lalu aku tanyakan kembali, “Sesungguhnya apa yamg kudengar ini, Pak? Lagu, novel, atau apa?” 

Guru sejarah itu tersenyum kecut, “Lupakan saja. Itu hanya nyanyian peperangan, dalam sejarah kelam bangsa kita!”.

Di lain hari aku menemui seorang biarawan, aku rasa dialah yang alim dalam urusan agama. Barangkali ia pernah mendapat pelajaran tentang perbandingan agama, dan pasti dia sedikit banyak tahu tentang Islam, dan tentunya ia tahu lagu apa yang sering kudengar dalam mimpiku. Biarawan itu kaget mendengar pertanyaanku. 

“Baiklah, akan aku beritahu. Mimpimu adalah sadarmu, dan yang kau dengar itu sebenarnya bukan nyanyian, melainkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, seperti Injil dalam agama kita. Ayat yang kau dengar itu menerangkan tentang siapa Tuhan menurut agama mereka? Allah adalah Tuhan, dan yang disebut Tuhan pastilah baik. Hanya saja konsep Tuhan menurut kita beda dengan konsep Tuhan menurut mereka yang cuma satu.” 

Nak, kata guru sejarah, mimpimu itu adalah teguran dari Tuhan agar kau rajin-rajin beribadah!

Setelah mendapat jawaban dari biarawan itu, aku mulai belajar tentang Islam. Sampai akhirnya aku benar-benar yakin. Dua tahun kemudian aku pergi ke Casablanca untuk meresmikan keyakinan baruku. Aku mengucapkan Syahadat di bawah bimbingan seorang Syeikh. Dan Sekarang, ya seperti yang kau lihat sendiri, dan Alhamdulillah aku sudah menenuaikan rukun ke lima ini bareng Kamu” Begitulah kira-kira cerita Xafi yang bisa kutangkap.

“Lega bukan rasanya sudah menenunaikan kewajiban?” tanyaku mengomentari ceritanya.
“Belum.” Xafi kulihat membuang pandangannya ke luar mobil.
“Kenapa?” tanyaku kembali.
“Aku selalu berdoa, agar ibuku mendapat petunjuk!” Xafi lalu diam. Suaranya agak serak ketika menjawab pertanyaanku. Dan aku, tahu, semua orang pasti ingin ibunya bahagia.

Umar yang mengajak pulang naik pesawat rupanya sangat kesal karena aku dan Xafi memilih perjalanan darat. Sepanjang perjalanan ia hanya diam, cemberut. Mungkin karena aku tidak memihak kepadanya. Aku bisa memaklumi. Namun aku sengaja memberinya pelajaran seperti ini. Biar dia tidak mudah menghina orang-orang miskin. 

Mobil berhenti di kota Harad untuk mengisi bahan bakar. Si sopir memberi kami waktu sebentar untuk membeli perbekalan, atau sekadar istirahat sejenak. Karena setelah ini kami akan menempuh perjalanan yang sangat panjang, ratusan mil jauhnya. Melewati gurun sahara, padang pasir yang tak bertuan, dan lembah-lembah yang sangat tandus. Mungkin senja hari kami baru sampai di kota Hamr, itu pun jika tidak terjadi gangguan dalam perjalanan, seperti ban kempes dan lainnya. Kami gunakan jeda tersebut untuk mandi. Betapa segarnya yang kurasa, tubuh tidak lagi terasa gerah. Plikat-plikat keringat telah luruh dibasuh air suci. Umar lalu pergi ke rumah makan untuk membeli perbekalan, barangkali roti dan air minum. Aku dan Xafi melakukan relaksasi sejenak dengan saling memijat bergantian.

Tidak sampai satu jam kami istirahat si sopir mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan. Kota Harad tidak begitu besar, namun kota Harad adalah satu-satunya kota yang paling besar yang kami lewati semenjak dari perbatasan. Dari kota ini  mobil mendapat tambahan satu penumpang. Ia duduk di depan bersama sopir, sedangkan kami tetap pada posisi semula.

Mobil berjalan meninggalkan kota, lalu desa dan lepas meninggalkan pemukiman. Dari balik kaca depan mobil yang tampak hanya genangan air yang menggeliat di atas permukaan tanah. Sebenarnya aku kasihan pada Umar. Aku yang kurus saja merasa gerah, apalagi dia. Tapi bagi saya pribadi, perjalanan ini adalah pengalaman yang sangat berharga. Bagai suku-suku Arab nomaden dalam melakukan surfive kehidupan. Ada banyak sejarah, tetesan keringat dan darah yang perlu aku renungi dari perjuangan islam sepanjang perjalanan ini. Beginikah rasanya mereka dahulu dalam menyebarkan agama? Memangkas potongan-potongan siksa untuk menebarkan pahala. Sungguh, aku merasa tidak ada apa-apa, bahkan debu yang mereka injak pun aku tak sebanding.

Perasaan jenuh gerah dan yang tak enak-enak sudah mulai berdatangan, namun kota Hamr masih jauh di ujung mata. Bosan memang membosankan, tapi di saat seperti inilah saat yang tepat untuk melatih kesabaran. Bau tak sedap keringat bercampur kunyahan daun ghot penumpang dari Harad menambah memperburuk suasana. untung saja dulu aku sudah terlatih dengan semacam ini ketika naik kereta ekonomi jurusan Jakarta. Hanya saja panas dan debunya tak separah di sini.

Di tengah-tengah perjalanan kami berhenti sebentar untuk melaksanak shalat Jamak Ta’khir, dhuhur di waktu ashar. Mobil menepi, dan semua penumpang turun. Kami mengambil air wudlu dari sebotol aqua ukuran 1,5 mili liter yang telah kami persiapkan sebelumnya. Hanya sebentar mobil kebali berjalan. Suasana sudah tak sepanas sebelumnya. Satu jam perjalanan nampak mentari mulai menuruni balik bukit dan mulai menjauhi arah laju mobil.

Di depan jauh sana aku melihat seperti ada sesosok manusia berjalan. Aku perhatikan benar siluet tersebut. Jika benar-benar orang, mungkin dialah satu-satunya pejalan kaki yang kami temui di sepanjang perjalanan. Aku mulai yakin ketika mobil semakin dekat. Nampaknya seorang wanita sebatang kara. Entahlah apa ia tertinggal dari rombongannya, atau penduduk setempat? Tapi sepanjang aku memutar mata, tidak kudapatkan pemukiman di sekeliling jalan yang kami lalui.

Mobil melintasinya perlahan. Dari dalam aku melihat wanita itu berjalan sempoyong tak berdaya. Seketika hatiku terketuk tak tega. Aku meminta sopir untuk berhenti, pedal gas diinjaknya dalam, dan ban menggasut tanah liat memunculkan asap debu.
Aku bergegas turun menghampirinya.

“Assalamualaikumm..”.
“Salamun qaulan min rabbir rahim..”[1] jawab wanita itu atas salam yang kuucapkan.
“Yarhamukillah.. wahai fulanah, apa yang kau perbuat di tempat seperti ini?”
“Wa man yudllil fala haadiya lah!”[2] jawabnya.
“Maksudmu apa?”
 “Wa man yudllil fala haadiya lah!”[3] Jawaban sama yang kudapatkan darinya.

Aku tidak paham. Lalu memanggil Xafi untuk membantu menanyainya. Xafi turun dari mobil dan berdiri di sampingku. Tapi tetap saja wanita itu menjawab dengan kalimat yang sama “Wa man yudllil fala haadiya lah!”[4] Xafi yang cerdas segera tanggap dengan jawaban tersebut. “Mungkin maksudnya: dia sedang tersesat!”

“Emm..baiklah. terus antum hendak kemana?” tanyaku lagi kepada wanita itu.

“wa atimmulhajja wal ‘umrata lillah… fa man lam yajid fashiyamu tsalatsati ayyamin filhajji wa sab’ati idza raja’tum..ala bu’dan li’adin qaumi hud…”[5] jawabnya.

Xafi tampak berpikir memahami jawaban wanita itu, lalu setelah mendapatkan ia coba menjelaskan kepadaku. “Mungkin maksudnya; ia baru saja menunaikan ibadah haji, dan sekarang ia dalam perjalanan pulang ke rumah yang kemungkinan berada di sekitar Syi’eb Hud.”

Aku mulai memahami cara berbicara wanita ini. Dia selalu menggunakan ayat-ayat Al- Qur’an dalam memberikan jawaban. Ini seperti bermain sanepo. Tidak ada jawaban yang diutarakan secara langsung. Untung saja xafi mudah tanggap dengan jawabannya.

“Wahai Fulanah, mengapa kau tak menjawab dengan biasa? Bisakah kau berbicara sepertiku? Maksudku dengan bahasa percakapan.” Aku membujuk agar dia tak lagi menggunakan bahasa Sanepo, dan percakapan kami dapat berlangsung dengan mudah.

“ma yulfadzu min qaulin illa ladaihi raqibun ‘atiid….”[6]

Astaghfirullah.. jawaban yang mematikan, aku menyerah. Sudahlah, aku tidak bisa memaksa orang untuk memahamiku, tapi bagaimana sebaiknya aku sekarang bisa memahaminya.

“Anda berasal dari mana?” lanjutku.
“wa la taqifu ma laisa laka bihi..”
“cukup..cukup” putusku. Aku semakin pusing dengan jawabannya yang tidak membantu.

Baiklah, begini saja. Beri aku jawaban yang mudah, agar aku bisa menolong, atau setidaknya membantumu?! Ee, sudah berapa hari anda tersesat?”

“tsalatsa layalin sawiyya; .” [7]
Hah, tiga hari?! 
“Emm, kelihatannya kau kehabisan makanan?”
“Huwa yuth’imuni wa yasqin: .”[8] jawabnya seolah tak perduli.

Sebenarnya aku sebal dengan percakapan yang kaku ini. Tapi aku tak tega melihatnya. 

Aku coba menggiring percakapan ini ke yang lebih baik, tentunya untuk dia. Bagaimana dia sudah tiga hari tersesat di gurun tanpa tersisa bekal. Akan tetapi bagaiman aku bisa membantunya jika percakapan masih berlangsung seperti ini. 
“Maukah kau kuambilkan makan dan minuman?”
“Tsumma atimmus shiyama ilal laili”[9]

Penolakan yang halus. Tapi aku berusaha membujuknya untuk menerima bantuan dari kami. Baiklah jika dia ingin berpuasa, tapi apakah dia tidak memikirkan kondisi tubuhnya yang sudah tak berdaya seperti itu.

“Tapi sekarang bukan bulan Ramadan!” bujukku.
“wa man tathawwa’a khairan fa innallaha syakirun ‘alim..”[10]
“Hemm.. pintar! Tapi bukankah kita diperbolehkan tidak berpuasa dalam perjalanan!” desakku.

“wa an tashumu khairun lakum in kuntum ta’lamun..”[11]Lagi-lagi hujah yang ia katakan membuatku mati kutu. Mendengar jawaban-jawaban yang tak membantu itu xafi menyuruhku untuk meninggalkan saja. Aku sendiri masih bimbang.

“Baik lah.. mohon maaf jika kami telah menganggu perjalanan anda? Sekali lagi mohon maaf..”

“La tatsriba ‘alaikum alyauma yaghfirullahu lakum….. la tatsriba ‘alaikum alyauma yaghfirullahu lakum….. la tatsriba ‘alaikum alyauma yaghfirullahu lakum..///”[12] 

Begitu aku mendengar dia memaafkanku dengan cara yang sama, hatiku tiba-tiba tersentak. Ini orang bukan sembarangan, pikirku. Jarang sekali orang berbicara demikian. Al-Qur’an dan Al-Qur’an, tidak ada yang lain.

Aku yang sebenarnya sudah mulai putus asa timbul niatan untuk memberinya tumpangan. Tapi aku tidak berhak sepenuhnya atas itu. Jadi aku perlu minta ijin lebih dahulu pada si sopir, dan penumpang lainnya. “Itu terserah kamu? Tapi apa yang lainnya setuju?” kata Xafi. “Mangkanya itu?” jawabku lalu menemui si saik. “Asalkan membayar? Sepuluh orang pun boleh?” katanya. Tapi rupanya temanku yang satunya lagi keberatan. Aku memaklumi karena Umar memang orang yang kaku, kolot, cenderung fundamentalis dalam bermazhab.

“Ini bukan soal mahrom dan tidak. Juga bukan soal halal haram, Mar! Cobalah sedikit lebih toleran..! Ini soal nyawa perempuan itu, Mar?!”
“Tetap saja tidak bisa!” jawab Umar bersikukuh pada pendiriannya.
“Baiklah, kalau tidak boleh, aku dan saleh akan tetap tinggal!” kata Xafi membelaku.

“Oh, jangan.. jangan..!” Umar ketakutan. Karena ia sebenarnya jarang bepergian dan takut bila sendiri. “Ya sudah.. Tapi jangan kau dudukkan wanita itu bersamaku!”“Kebetulan,” kata hatiku.

Xafi nyengir. Umar cemberut membuang mukanya ke kaca sebelah. Aku lalu menghampiri wanita tersebut untuk menawarkan tumpangan.

“Maukah kau ikut bersama kami?” kataku menawari.
“wa ma taf’alu min khairin ya’lamhullah; ..”[13] jawabnya berkali-kali.

Niat yang tidak sia-sia, besitku dalam hati.

Akhirnya dia menerima tawaranku. Aku mengajaknya ke mobil. Aku bukakan pintu. Lalu wanita itu segera masuk. Tanpa sengaja ketika naik kepala wanita itu terbentur ke dinding pintu. “Inna lillahi..” wanita itu terjatuh ke tanah. Jubahnya semakin penuh dengan balutan debu. Ia berusaha bangkit sendiri. Aku semakin tak tega.

“Wa ma ashabakum min mushibatin fa bima kasabat min aidikum;..” ujarnya sambil meraih badan mobil untuk bangkit.
“Ishbirii, Ya ukhti..”[14]
“Fa fahimnaha sulaiman;..”[15] balasnya santun.

Aku mempersilakan ia kembali masuk ke dalam mobil.

“Qul lil mu’minina yaghudldlu min absharihim;..”[16] perintahnya menggunakan perintah Tuhan. Ia sepertinya mau membuka khimar yang menghalangi pandangannya.

“Baiklah, kami akan memejamkan mata. Silakan masuk, Ya Ukhti!”

Saat aku buka mata wanita itu telah berada di dalam mobil. Aku segera masuk menyusulnya. Si sopir menjalankan mobilnya kembali.

“Subhanalladzi sakhkhara lana hadza wama kunna lahu muqrinin, wa inna ila rabbina lamunqalibun;..”[17] ucap wanita itu di awal laju.

Xafi yang berpindah di jok belakang melantunkan Qasidah dari diwan haddad kesukaannya. Suaranya begitu merdu, meliuk-liuk serupa seruling. Tapi entah mengapa wanita itu tidak begitu suka, dan menghentikan dengan membaca ayat “waqshid fi masyika waghdluld mis shautik.. waqra’uu ma tayassara minal qur’an;…”[18]

Xafi berhenti bersenandung, dan si saik memelankan laju mobilnya. Aku menengok ke belakang, kulihat umar semakin cemberut. Aku senang, setidaknya ia mau toleran dengan sesama umat manusia. Hehehe, aku tersimpul di samping wanita itu, di dalam mobil yang melaju yang terasa nyenyap, tidak ada qasidah yang disenandungkan, tidak ada diantara kami yang hafal alqur’an, sedangkan wanita itu sendiri juga diam.

“Apakah anda sudah mempunyai suami?” Tanyaku coba mencairkan suasana.
“Ya ayyuhalladzina amanuu la tas`aluu ‘an asyya`a in tubda lakum tasu`kum:..”[19]

Hehehe.. Aku sudah kehabisan akal untuk mencari cara. Lagi-lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang ia lantunkan bagai senjata mematikan. Dan hal itu juga membuatku semakin yakin akan mukjizat Al-Qur’an dalam mengalahkan lawan bicara.

Kami semua diam seiring mentari tenggelam. Mobil merangkak di atas jalanan padang pasir, bagai siput menuju kota Himr. Kesunyian semakin bertambah ketika langit semakin gelap. Tidak ada suara lain di dalam keheningan senja, kecuali derum mobil yang menabuh dinding penjuru. Diantara kesepian itu, sesekali terdengar si saik dan penikmat daun ghot berbincang-bincang dengan bahasa yang tak kupahami. Bahasa arab dalam intonasi mereka terdengar seperti bahasa madura saja, membuatku geli ingin tertawa, tapi kutahan, aku takut mengganggu ketenangan wanita di sampingku. Setelah yakin memasuki waktu Maghrib aku tawarkan air dan roti. Ia menerimanya. Aku minta kepada umar untuk berbagi madu dengan wanita itu. Barangkali rasa manis dapat membantu mengembalikan staminanya.

Sungguh banyak sekali orang di negeriku yang hafal Al-Qur'an, namun sedikit sekali yang seperti dia. Aku teringat kata Alhabib; Al yamanu ilmu wal amal. Yaman adalah tempat ilmu dan amal. Mungkin karena itu orang di negeriku tidak, atau belum ada yang sepertinya. 

Ketika sampai di pemukiman kami segera mencari kafilah, barangkali ada diantara mereka yang mengenal perempuan yang bersama kami. Kami sadar bahwa dia tidak bisa berlama-lama bersama kami. Dalam budaya dan tradisi arab perempuan yang bukan muhrim tidak mungkin bersama lelaki lain, kecuali dalam keadaan memaksa (dlarurat). Maka aku minta kepada si saik untuk membawa kami ke penginapan yang ada di desa tersebut. Setelah bertanya pada penduduk setempat mobil bergerak pelan menuju ke tengah-tengah pemukiman, tempat satu-satunya penginapan itu berada.

“Ya Fulanah! Adakah kau mempunyai seseorang yang bisa aku hubungi?” Tanyaku dalam bahasanya.

Perempuan yang sampai saat ini belum ku tahu namanya itu hanya mengangguk. “pelit amat kau!” besitku dalam hati. Sungguh padahal di negeriku ada pepatah; barang siapa malu bertanya maka sesat di jalan. Ini orang sudah tersesat, masih pelit bicara. Aduh, pasti orang seperti ini di negeriku akan selamanya tersesat. Bukan karena dia tidak baik, melainkan apalagi di daerah sumatera, konon orang yang paling baik adalah orang yang menyesatkan penanya jalan.

“Siapa?”
“Wa qad Ahsana bii idz akhrajanii min assijni wa ja~a bikum min albadwi min ba’di an nazagha asysyaithanu bainii wa baina ikhwatii”[20]

Dengan jawaban tersebut aku tahu kalau dia terpisah dari saudaranya dalam perjalanan. Tidak mungkin orang yang ketat beragama seperti orang-orang Yaman macam dia keluar dari rumah sendirian, seperti yang sudah menjadi kebiasaan perempuan di negeriku, itu tidak mungkin. Setiap kali perempuan-perempuan Hadramiy itu keluar dari sarangnya, pasti ada satu dua keluarga yang menyertai, entah itu ayah atau saudara lelakinya. Tapi ia tidak menyebutkan siapa saudaranya itu.

“Adakah nama yang bisa aku gunakan untuk memanggil saudaramu, Ya Fulanah?”

Mendengarku mengulang pertanyaan aku berharap kali ini yang keluar dari mulutnya adalah sebuah nama, dan bukan teka-teki ayat yang harus membuatku berpikir terlebih dahulu untuk menangkap jawaban. Ia segera menjawab, tapi suara bising mobil menelan mentah-mentah suaranya yang rendah dan pelan itu. 

“Ma? Qul jahran Ya Fulanah!” bentak Umar tidak sabar.

Wanita itu sedikit terkaget dengan suara keras umar, sembari memagangi jantung lalu mengulangi jawaban. Kali ini dengan suara yang cukup keras untuk kami dengar.

“Wa attakhada Allahu Ibrahima khalila…. Ya Yahya khudzi alkitaba bi quwwah.”[21]

Hemm.. Aku kira dia akan menyebutkan namanya saja, namun ternyata nama saudaranya itu juga ada dalam deretan ayat-ayat kitab suci. Aku memandang Umar, umar mengangguk. “Yahya dan Ibarahim,” lanjutku.

“Mungkin?”
“Coba kau cari di penginapan!” ujarku kepada Umar.
“Ah, tidak. Kau saja yang keluar!” kelitnya.
“Banci!”
“Ma huwa banci?” Tanya Xafi atas bahasa asing kami.
“Banci ‘inda lughatil arab; khuntsa, ya Xafi!” jelasku

Xafi tertawa mendengarnya.

“Amma inda lughat Asbaniyyah: Afimanado” lanjut Xafi memberi dalam bahasa Spanyol.
“Tak pantas kau bernama Umar! Lebih baik jika kau kujuluki Afimanado, benarkan seperti itu?”
“Na’am.. Afimanado. Hahaha” Xafi tertawa terpingkal-pingkal.
“Kenapa tak pantas?” tampik Umar nampak marah ditertawakan.        
“Memang tak pantas. Umar itu nama seorang yang pemberani, bukan cuman keras doank! Kalau Cuma keras, Abu Lahab juga keras, alias kolot!”

Umar melawan, mencoba membantah tuduhanku atas dirinya. Dia coba memintaku untuk diam di dalam mobil. Xafi melerai percekcokan kami. Tapi aku tak hiraukan, lalu keluar menuju penginapan. Si sopir menyusul di belakangku, dan mendahuluiku ketika masuki pintu penginapan.

Perasaanku sangat jengkel terhadap Umar. Aku suka orang yang teguh dalam beragama, keras dalam mempertahankan prinsip, tapi aku tak suka dengan orang yang ‘sok’ seperti Umar. Teramat jauh perangainya bila dibandingkan dengan Umar yang habib, guru kami. Umar ini bisanya cuma meniru kerasnya saja, tidak alim apalagi saleh. Beda dengan guru kami, keteguhannya mendasar, murah senyum dan murah hati dengan umat, kendati berdisiplin keras akan tetapi untuk pribadi dan keluarganya sendiri.

Seorang syeikh yang mempunyai penginapan tersebut keluar menemui kami. Aku masih ingat, saat itu ia menyebut serta marga keluarganya. Ya, nama marga yang tidak asing bagi telinga orang indonesa macam aku, satu-satunya keluarga bermarga Baswedan di desa tersebut, seperti nama seorang tokoh yang cukup terkenal di negeriku.

Syeikh Aqil si tuan penginapan itu meminta maaf pada kami karena kamar di penginapannya sudah penuh.

“Oh, bukan itu maksud kedatangan kami ke sini?” kataku coba meluruskan kesalah-pahaman tersebut.
“Sukurlah jika memang seperti itu!” balasnya dengan logat lahm khas Yamannya.

Aku menjelaskan maksud kedatangan kami. Syeikh Aqil sangat khidmat menyimak bahasaku yang agak payah, sembari membelai-belai jenggotnya yang tak lagi hitam, bahkan sudah tampak uban pada alisnya. 

Beliau lalu mengajak kami ke atas. Aku mengikutinya menaiki tangga, sedangkan si syekh tidak ikut masih tetap di bawah. Sesampai di atap loteng kudapati  tamu-tamu penginapan sedang bersantai-santai menikmati angin malam. Beberapa orang di saftah sebelah kiri tangga duduk melingkar, membuat semacam riungan. Di tengah-tengah mereka tersaji cangkir-cangkir yang kemudian aku ketahui ternyata berisi kopi bun. Syeikh Aqil mempersilakan. “Ya, mereka lah tamu-tamu ku. Coba anda Tanya sendiri..” 

“Baik Syeikh”

Dengan harapan salah satu diantaranya adalah saudara wanita yang bersama kami, aku menghampiri mereka.

“Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam wa rahmah..”
“Afwan, apakah di antara kalian ada yang bernama Ibrahim dan Yahya?” tanyaku dalam bahasa mereka.

Mereka tidak segera menjawab, saling pandang, berbicara sangat cepat dengan bahasa lahm, terdengar seperti cericau burung manyar. Yang terdengar jelas cuma ketika mengulangi nama yang kutanyakan, “Ibrahimm,. Ibrahimm.. wa yahya.. mitsla anbiya..” ulang salah-satunya.

“Ma fi ismina Ibrahim,” jawab yang lain.

Pandanganku terjatuh. Seketika harapanku buyar kala mendapat jawaban yang nihil. Kasihan kalau tak sampai aku menemukan saudara perempuan itu. Kami tak mungkin membawanya dalam perjalanan malam ini. Sialnya lagi kamar penginapan juga sudah penuh.

“Syukran..”

Aku kembali kepada tuan penginapan. Aku berpikir meminta tolong agar memberitahukan kabar ini kepada semua tamu penginapan yang masih ada di dalam kamar. Syeikh Aqil tidak berani. Pantangan baginya mengganggu pelanggan yang sedang beristirahat, karena salah satu pelayanan yang ditawarkan penginapannya adalah kenyamanan pengunjung. Aku coba mendesaknya, merayunya, agar mau memudahkan. Tapi beliau masih bersikukuh. Lebih panjang lagi, beliau menghadirkan hadits; ma yu’min bi yaumil akhir fal yukrim dlaifahu..aku jadi tak berkutik mendengarnya.

Syeikh Aqil menawarkan untuk datang lagi besok, kami tidak bisa, sebab kami akan langsung melanjutkan perjalanan yang masih bermil-mil jauhnya, mengingat waktu sewa, karena bukan mobil pribadi. Aku sudah menyerah, dan bermaksud membawa serta perempuan itu ke Sana’a. Mungkin lewat tengah kami baru akan sampai tempat tujuan, dan waktu yang sangat lama untuk bersama wanita asing. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah mengambilnya, dan aku pula sekarang yang bertanggung jawab atas keselamatan dirinya.

Ketika turun ke lantai dua terdengar suara pintu yang dibuka. Suara tersebut berasal dari lorong ujung. Aku meminta ijin pada Syeikh Aqil untuk menunggu sebentar. Barangkali ada seseorang yang bakal keluar dari kamarnya, dan tentu harapanku orang tersebut adalah Ibrahim atau Yahya.

Suara jejakan kaki di atas lantai semakin mendekati tempatku berhenti. Lorong yang gelap tanpa penerang membuat wujud suara itu belum juga nampak, mungkin berasal dari kamar yang paling ujung. Antara sesaat kemudian lelaki berbadan tegap muncul dari belik kegelapan. Aku memberanikan diri untuk menyapa dan menghentikannya.

Betapa syukur hatiku ketika kuketahui orang tersebut bernama Ibrahim. Lantas saja ku beritahukan apa yang terjadi. Mendengar penjelasanku Ibrahim juga sangat senang. Ia jabat tanganku dan menariknya kedalam dekapannya. Seperti salaman orang pulang haji. Ia merasa bersyukur.

Aku ajak Ibrahim untuk turun ke mobil memastikan apakah perempuan tersebut adalah saudarinya. Hampir tiap langkahnya ia sertai dengan ucapan terima-kasihnya kepadaku. Aku jadi tak enak sendiri dengan sifat berlebihan itu, walau pun sebagai awam aku juga senang.

Di sudut ruang tamu si saik sudah terkapar tak sadarkan diri. Aku mengajak Ibrahim langsung keluar menuju tempat mobil diparkirkan. Xafi dan Umar kulihat sedang isis di atas permadani yang sengaja mereka gelar di belakang mobil. Sedangkan penikmat daun Ghot sudah tak bernyawa di jok depan. Pikirku juga, mungkin Umar memilih di luar karena tidak nyaman dengan wanita asing dalam satu ruangan, dan bagiku itu juga baik.

Ibrahim segera membuka pintu mobil untuk menghampiri saudaranya. Kudengar dari luar mereka berdua menangis. Barangkali adalah tangis kebahagiaan karena mereka telah dipertemukan kembali. Aku ikut terharu. Xafi dan Umar tiba-tiba telah berdiri di sampingku. Ibrahim keluar menemui kami, dan bilang kalau wanita itu benar-benar saudarinya. Aku mempersilakan ia membawanya dari kami.

Kami bertiga lalu masuk ke penginapan guna memenuhi undangannya. Lagian kami juga perlu membangunkan si sopir yang masih tertidur pulas di ruang tamu.

“Kami tunggu di sini saja..” ujarku ke pada Ibrahim.
“Baiklah. Mau kubuatkan kopi?” tawarnya kepada kami.
“tidak..tidak..” serempak kami bertiga menjawab. Karena tahu, kopi yang dimaksud Ibrahim adalah kopi bun. Ia tidak lebih manis dari jamu bagi lidah kami.
“Ya..ya,, aku tahu” sambungnya. “Kalau sahi kalian pasti suka?”

Ibrahim mengajak saudarinya naik ke kamar meninggalkan kami. Aku membangunkan si sopir. Kali ini aku lihat wajah Umar tak setegang sebelumnya. Ia sudah mulai bisa tersenyum kembali. Xafi memilih berbicang-bicang dengan Syeikh Aqil di ruang sebelah untuk menunggu. Antara beberapa saat Ibrahim telah turun kembali menyapa kami. Sesaat kemudian disusul lelaki lain yang nampaknya adalah Yahya, membawakan sahi dan roti untuk jamuan kami. Aku minta umar memanggil xafi untuk ikut bergabung.

“Bagaimana ceritanya, sampai bisa terpisah dengan saudari anda?” tanyaku untuk memulai percakapan.

“Awalnya kami pulang Haji. Dalam perjalanan di gurun terjadi badai. Kami serombongan berpencar untuk mencari tempat berlindung masing-masing. Badai berlangsung cukup lama dan parah menerjang kami. Saking parahnya, apa yang kami lihat seperti dinding tampak di depan muka. Aku sendiri berusaha menyelamatkan apa yang kami bawa, dan Yahya memegang Kendali onta. Ya, itulah kira-kira yang terjadi saat itu. Setelah badai mereda kami telah kehilangan Wudah. Kami terpisah sejak itu. 

Aku berusaha menacarinya tapi tak menemukan. Kami juga sudah menunggunya lama, tapi Wudah tidak segera muncul. Mengingat perbekalan menipis, kami memutuskan untuk singgah di desa terdekat sebelum mencarinya kembali. Rencana besok pagi kami berangkat mencarinya. Sukurlah kalian telah membawanya terlebih dahulu kepada kami.” Jawab ibrahim dalam bahasanya, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah bercakap-cakap seantara dan telah pula menikmati jamuan kami meminta undur diri. Sebenarnya Ibrahim meminta kami duduk lebih lama, namun kami memaksa berangkat, mengingat perjalanan masih cukup jauh. 
“Masya Allah, aku hamper lupa! Apakah saudari anda tidak berbicara selain itu?”
“Apa? Maksud anda, cara adik saya berbicara dengan menggunakan Ayat-ayat Qur’an?”
“Iya.”
“Seingatku, itu sudah lama, sekitar tujuh tahun yang lalu. Sejak itu ia  tidak lagi bicara kecuali dengan ayat-ayat suci.”
“Subahanallah.. Mengapa?”
“Entahlah.. mungkin dia takut kalau hafalannya hilang!” 

Ibrahim mengantarkan kami sampai mobil.

“Terimakasih.. atas jamuannya..”
“Terimakasih juga, telah membawa Wudah kepada kami..”
“Mohon doanya.. semoga selamat di perjalanan..”
“Amin.. Ma’assalamah wassahalah..”

Aku lepaskan jabat tangan Ibrahim kemudian segera menyusul Xafi dan Umar yang terlebih dahulu masuk. Mobil bergerak melanjutkan perjalanan. Ibrahim tampak masih berdiri mematung melepas kepergian kami. Perasaan menjadi lega, selega perasaan mereka.

Sekitar pukul 23: 30, mobil yang kami naiki melintas melewati Raydah. Tidak ada yang bisa kami lihat atas kota itu kecuali warna gelap malam dengan sedikit pernak-pernik lampu. Sayang perjalanan antara Himr dan Raydah kami tempuh pada malam hari. Andai saja lebih awal kami tiba, setidaknya sebelum petang, tentu kami bisa singgah ke daerah Darwan untuk menengok tempat Ashabul Jannah  berada.

Aku dengar Umar telah mendengkur tidur di jok belakang.  Sedangkan Xafi nampaknya sedang asik menyenandungkan kasidah-kasidah dari Diwan Hadad. Aku sendiri masih terngiang-ngiang akan wanita mulia itu. Bagaimana bisa dia berbicara hanya dengan ayat-ayat Al-Qur’an? Apa dia tidak bosan? Aku tak habis pikir. Hehehe..akhlak yang sangat cantik. Walaupun aku tak sempat melihat wajahnya, aku rasa perempuan itu mempunyai bibir yang seksi. 

Sebentar kemudian aku tak sadarkan diri. Dan terbangun kembali ketika mobil telah berhenti di depan sebuah penginapan di kota Sana’a. aku lihat jam menunjukkan pukul 01.50 dini hari.

_________ [1] .Yasin 58[2] .Al A’raf 186[3] .Idem[4] .Idem [5] . Albaqarah 196 – Hud  60[6] .Qaf 18[7] .Maryam 9 [8] .Assyu’ara 79[9] .Albaqarah 187[10] .Idem 158 [11] .Idem 184 [12] .Yusuf  92[13] .Albaqarah 197[14] . “Sabarlah wahai saudara..”[15] .Al Anbiya 79[16] .Annur 30[17] .Azzukhruf 13 / 14[18] . Luqman 10 – Muzammil 20[19] .Almaidah 104[20] . Yusuf 100[21]. Annisa’ 125 – Maryam 12