Cerpen

Bu Nyai Arsenal

Ahad, 29 Oktober 2017 | 11:06 WIB

Oleh Abdullah Zuma

Seorang ibu berjilbab dan berbaju kurung tergopoh menuruni tangga tribun stadion Siliwangi. Entah sadar atau tidak, mulutnya bergumam, “anak saya,” “anak saya,” “anak saya”. Dua kata ini hanya bisa terungkap dari seseorang yang memiliki hubungan khusus dengan seseorang yang dimaksudnya. Tidak setiap orang mengungkapkannya untuk setiap orang. 

Suaranya tidak kencang memang, tapi cukup terdengar dari jarak enam kursi di samping ia tergopoh. Soal berapa kali ia menggumamkan dua kata yang tak dipisahkannya itu, mungkin tak sempat menghitungnya. Orang yang mendengarnya pun kemungkinan besar tidak ada yang menghitungnya. 

Ia kemudian memasuki pinggiran lapang melalui gerbang tengah, lurus dari arah tangga tribun yang ia turuni. Langsung ia menghampiri benz official sebelah kiri dari sudut pandang dia. Ia di situ, bersama official yang tengah menyaksikan pertandingan sepak bola putaran final Liga Santri Nusantara (LSN) 2017. Sore itu mereka berjuang keras mendapat tiket semifinal. 

Saat itu salah seorang pemain kesebelasan mereka ditandu ke pinggir lapangan setelah terjadi benturan dengan salah seorang pemain lawan. Letak anak yang ditandu itu persis di pinggir lapangan sebrang benz official yang dihampiri ibu itu. 

Entah apa yang dilakukannya di benz official itu. Mungkin meluapkan kekhawatirannya. Mungkin menanyakan kondisinya, yang tentu saja di situ tidak ada yang mengetahui secara pasti karena memang tak ada yang beranjak dari situ, menghampiri anak yang ditandu, kemudian melaporkan kondisinya kepada ibu itu. Sementara anak itu sedang ditangani dua orang berrompi dengan punggung PMI. 

Anak yang ditandu mungkin kesayangan ibu itu. Sehingga ia begitu khawatir ketika insiden itu terjadi. 

Ketika ditemui selepas pertandingan, ditanya apakah yang terjatuh tadi itu anak kandungnya, ia menjawab, “Saya pengasuh pondok pesantrennya.” 

Hanya pengasuh. Tak ada hubungan darah setetes pun. Namun, reaksi dan pilihan katanya itulah. Ia tidak mengungkapkan “murid saya” atau “santri saya”. 

Anak yang terjatuh itu tidak mengalami cedera yang serius. Namun, si ibu kelihatan tidak berbahagia. Tiada lain, sepertinya lantaran timnya kalah. Tertahan ke semifinal sehingga harus pulang lebih cepat. 

“Ya biasa, pertandingan itu ada yang kalah dan ada yang menang,” ungkapnya. 

Ia menceritakan, padahal suaminya akan hadir ke Bandung nanti malam jika lolos ke babak selanjutnya. Tidak sendirian kiai itu, melainkan dengan berbus-bus santrinya. 

Sang suami, sebenarnya ingin menemani ke Bandung sejak awal putara final, Senin (23/10). Namun, ada tugas lebih besar, berceramah dari satu majelis ke panggung lain, di samping mengurus santri dan NU.

“Pesantren saya punya esktrakulikuler sepak bola,” lanjutnya seraya mengatakan, tim sepak bolanya diurus anak sulungya.

Ia mengaku, bukan kali pertama menemani para santrinya bertanding sepak bola. Ketika di putaran final LSN 2016, ia mengawalnya sejak16 besar. 

“Sering nonton sepak bola?” 

“Tidak terlalu,” jawabnya 

“Tim favorit ibu apa, misalnya di Liga Inggris? 

“Arsenal.” (Abdullah Alawi)
Â