Cerpen

Cerita dari Kampus Biru

Ahad, 26 Agustus 2012 | 06:02 WIB

Oleh: Harjuno Prabuningrat

Keluar dari ruang ujian, aku disergap udara berwarna abu-abu. Terik matahari jam setengah satu siang, membuat tanah seakan membara, menciptakan fatamorgana air di kejauhan. Embusan angin menerbangkan debu dan serpihan tanah kering. Aku menyipitkan mata, karena beberapa kali kelilipan.

<>

Dari celah mata, aku bisa melihat hamparan dataran tandus: pohon-pohon meranggas, kering, dan berwarna hitam keriput menjulur ke langit (dahan-dahannya yang hitam runcing mengingatkanku pada kuku-kuku Nenek Lampir), tanah kerontang dan retak-retak, kemudian gedung-gedung terlihat kusam dan catnya mengelupas pudar, barangkali karena terlalu lama terpanggang cuaca panas. Sudah lama hujan tidak turun menginjak tanah ini.

Dengan langkah tetap, aku menyusuri jalan yang hiruk-pikuk oleh suara mahasiswa-mahasiswa. Deru sepeda-motor terdengar di sana sini. Sama sepertiku, mereka baru saja menempuh ujian akhir. Sampai di tempat yang kutuju, aku menghentikan langkah. Mataku tertambat sepasang spanduk yang berdiri pongah di kanan kiri pintu TU Fakultas Keguruan—seolah-olah sebagai patung reco gladak. Di sana tertulis besar-besar: ATURAN BERBUSANA BAGI MAHASISWI. Dikatakan bahwa mahasiswi dilarang memakai jilbab pendek, baju ketat, celana pensil, manset, dan yang lebih menggelikan adalah rambut dilarang terlihat atau menjulur melebihi kain jilbab.

Di spanduk satunya tertulis, mahasiswi harus memakai jilbab yang menutupi dada, memakai rok atau celana longgar, jika memakai pakaian atas-bawah; baju harus turun tigapuluh centimeter dari pinggul. Yang paling menarik adalah gambar perempuan di masing-masing spanduk. Di spanduk sebelah kiri, ada gambar perempuan yang memakai baju ketat bercelana pensil dengan jilbab pendek tengah berpose layaknya model: tangan berkacak pinggang, dada ditonjolkan, dan kepala sedikit ditelengkan. Begitu kontras dengan gambar perempuan di spanduk sebelah kanan, yakni perempuan berjilbab lebar, memakai pakaian longgar, dan berdiri anggun sambil menyandang tas. Uniknya, wajah kedua perempuan itu dihapus, sehingga merupakan sapuan putih berbentuk lonjong.

Tawa mendesis keluar dari celah-celah gigiku. Aku meneruskan langkah memasuki TU fakultas. Aku hendak mengurus namaku yang tidak tercantum dalam daftar peserta ujian akhir. Aku heran. Seingatku, aku selalu berdisiplin. Pun ketika mengumpulkan kartu rencana studi (KRS). Aku mengumpulkan jauh hari sebelum batas akhir pengumpulan. Namun anehnya, namaku tidak tercantum dalam daftar mata-kuliah tertentu.

Dalam hati sebenarnya aku merasa enggan berurusan dengan TU fakultas. Petugas-petugasnya entah mengapa seringkali ketus dan bermuka masam saat melayani mahasiswa.

Hei, bukankah mereka ada untuk melayani mahasiswa?!

Aku teringat saat hendak meminjam LCD dan laptop guna presentasi. Dengan halus aku berkata kepada petugas perempuan yang sedang mengetik, “Bu, saya mau pinjam LCD sama laptop.”

Karena petugas itu diam saja, aku mengulangi kata-kataku. Namun petugas itu tetap diam saja, wajahnya ditekuk sambil terus mengetik. Aku kira petugas itu sudah mendengar, tapi dia mungkin sedang malas, sehingga aku bertanya, “Boleh tidak, Bu?”

Petugas perempuan itu mengangkat wajahnya dan tanpa kuduga, dia malah menggonggong. “Bukan boleh atau tidak! Tapi ada atau tidak! Bodoh!” serunya sambil memelototkan matanya yang belok kepadaku.

Aku amat tersinggung oleh kalimat itu. Tapi aku diam saja.

Dia bangkit dari kursinya, meninggalkan komputernya, lantas dengan gusar dia membuka lemari penyimpanan LCD dan laptop. Aku tidak melihat isi lemari: apakah ada LCD dan laptop atau tidak, tapi aku mendengar petugas itu berseru, “Tidak ada, Mas! Kosong!”

“Ke mana, Bu?” tanyaku, bodoh. Belakangan aku merutuk dalam hati, karena telah menanyakan hal itu.

“Tentu saja dipinjam! Bagaimana, sih!” jawab petugas itu, ketus.

Sepagi ini sudah tidak ada? batinku. Aku melihat jam yang melingkar di tangan kiriku: tujuh kurang sepuluh menit. “Oo begitu.. Terimakasih deh, Bu,” hanya itu yang keluar dari mulutku. Kulihat dia hanya mengangkat sudut bibirnya.

Aku berlalu dari TU dengan kecewa. Hati jahatku menduga bahwa di lemari itu masih ada LCD dan laptop. Masa’ pagi-pagi begini LCD dan laptop sudah tidak ada? Bukankah fakultas menyediakan LCD dan laptop sebanyak lima pasang? Apa benar semuanya sudah habis dipinjam? Jangan-jangan petugas perempuan itu pelit meminjamkan!

Kali lain, aku sangat mendongkol karena kartu hasil studi (KHS) yang kuterima isinya salah, tapi ketika melapor, aku justru dimarahi petugas TU. Total nilai, IP, dan IPK-ku tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kuperoleh dan jumlah SKS yang sudah kuambil. Aku malah disilakan pergi dengan alasan petugas TU itu banyak pekerjaan!

Tiga hari kemudian, aku baru tahu kalau teman-temanku yang beroleh KHS salah, telah mendapat KHS pengganti. Aku heran bukan main. Bagaimana bisa?

“Kamu laporan sama siapa?” tanya temanku.

“Petugas yang botak,” sahutku.

“Sial kamu. Jangan laporan sama dia. Lapor sama petugas yang wajahnya persegi. Kalau si botak itu, menyebalkan orangnya. Dia selalu berkilah banyak pekerjaan.”

Aku pun melapor kepada petugas TU yang berwajah persegi. Akhirnya, aku bisa mendapat KHS pengganti—meski harus melewati proses yang rumit. Fhiuh!

Tidak sekali dua kali aku mendapati perlakuan tidak menyenangkan dari petugas TU, tapi sering (kalau tidak boleh dikatakan hampir selalu). Rupanya, perlakuan serupa juga pernah dan sering dialami teman-teman mahasiswa yang lain. Aku tidak habis pikir, mengapa perlakuan tidak menyenangkan itu terjadi? Bukankah sebagai perguruan tinggi swasta, para pegawai—termasuk petugas TU—mendapat gaji dari isi saku mahasiswa?
***

Sekeluar dari TU, aku melihat tiga mahasiswi merubung spanduk sambil senyam-senyum. Pakaian mereka ketat mengikuti alur lekuk tubuh, menonjolkan timbunan lemak di perut dan pinggang yang berlipat-lipat. Rambut seorang dari mereka, menjulur di belakang melebihi kain jilbab, poninya jebol keluar dari bawah tsunami jilbab mungilnya. Seorang lagi memakai kaos berpipa dua per empat. Yang seorang lagi memakai jilbab yang diikat ke leher. Dadanya yang bulat mencuat tercetak jelas dan penuh sesak, sehingga merupakan suguhan yang menggiurkan mata laki-laki.

Iseng-iseng, aku duduk di kursi dekat spanduk, sekadar untuk mengetahui pendapat mereka tentang aturan baru itu.

“Tuh lihat: perempuan yang berpakaian, tapi telanjang tidak akan masuk surga. Khi… khi… khi…,” si jilbab ikat mengutip kalimat dalam spanduk sambil terkikih-kikih. Matanya menghilang dan membentuk bulan sabit.

“Iya tuh, nanti kamu bisa masuk neraka, lho!” tuding si rambut jebol kepada si pipa dua per empat.

“Hwalah! Enak saja. Lihat bajumu sendiri. Kamu juga bakalan masuk neraka,” tukas si pipa dua per empat, tidak mau kalah.

“A-ha-ha-ha!” Ketiganya tertawa berderai.

“Sudah yuk, ah. Tidak penting.” Si pipa dua per empat beranjak pergi. Kedua temannya membuntuti.

Aku tersenyum sendirian. Aturan yang malang. Hanya jadi bahan olok-olokan. Dengan mengutip hadits, pihak universitas menjejalkan aturan ke mulut mahasiswi, tapi aku melihat sendiri beberapa dosen perempuan memakai jilbab kecil tidak menutup dada. Bahkan ada dosen yang acapkali rambutnya menjulur melebihi kain jilbab. Ada juga dosen yang memakai kerudung, yakni selendang yang diselempangkan ke bahu, sehingga jambul tinggi dan lehernya terlihat jelas. Mengapa mengurusi orang lain, jika diri sendiri belum beres?!

Aku jadi teringat hal yang serupa tapi tidak sama. Beberapa seniorku di organisasi, tidak mau bersalaman dengan lawan jenis, bahkan tidak mau memandang wajah lawan jenis dengan dalih “agama”, yakni bukan muhrim. Tapi bukan main, aku terheran-heran saat memergoki seniorku, laki-laki perempuan, sedang bergandengan tangan erat hendak menyeberang jalan menuju alun-alun. Bukan sekali dua kali. Aku pun pernah melihat tanpa sengaja senior-seniorku tengah asyik-masyuk di bilik sekretariat organisasi yang sedang sepi. Sangka baikku mengatakan, barangkali mereka sedang membahas masalah organisasi. Tapi, apa iya membahas masalah organisasi “harus” sambil dempetan atau rangkulan? Padahal masih lekat di ingatan, saat senior-senior itu mengompori aku dan kawan-kawan seorganisasi untuk mendesak rektor mengeluarkan aturan yang jelas agar area kampus—terutama di pancuran air dan emperan gedung rektorat—tidak digunakan sebagai tempat berpacaran—utamanya saat malam hari. Apakah ini sebuah hipokrisi?

Lain lagi di jurusanku. Sekelompok mahasiswa yang barangkali merasa dirinya orang-orang penting, mewacanakan aturan penggunaan seragam: dari mulai pakaian; bentuk baju, bentuk celana dan rok, warna kain, model rambut laki-laki, jilbab, sepatu, bahkan mungkin kalau perlu merek kaus kaki dan kancing baju! Dan entah bagaimana, para birokrat menyetujui hal tersebut! Maka keluarlah aturan tentang kewajiban berseragam. Aku yang sejak semula tidak setuju, langsung meremas surat edaran yang kuterima dan melemparkannya ke tong sampah. Bagiku, aturan itu sama sekali tidak bermakna! Bukankah pakaian adalah perkara filosofis? Mengapa pula harus dipaksakan seragam? Bukankah keseragaman itu menjemukan, karena membunuh kreativitas? Pihak jurusan berdalih bahwa aturan berseragam itu untuk membentuk karakter guru. Aku tidak bisa menahan ketawaku.

Bagiku, pakaian tidaklah menunjukkan sifat orang yang terbungkus di dalamnya. Yang lebih penting adalah sikap. Perilaku. Lebih-lebih mengenai hati, karena pakaian hanya merupakan pandangan lahiriah saja. Bisa saja secara lahiriah, orang berpakaian rapi, bersih, terlihat sedap dipandang, tapi ternyata dalam hatinya menyimpan bangkai. Siapa tahu?

Aku tahu, sejumlah teman-temanku perempuan yang di kampus terlihat sopan, rapi berjilbab, dan taat memakai seragam, ternyata di luaran begitu liar. Mereka doyan dugem sampai subuh dan “pelesiran” ke daerah puncak bersama kawan-kawannya laki-laki. Aku tahu beberapa temanku perempuan terpaksa menikah karena hamil duluan. Aku juga tahu siapa temanku laki-laki di kelas yang gemar menenggak alkohol. Dengan itu semua, dapatkah aku percaya bahwa seragam bisa membentuk karakter?!

Sejumlah dosen yang mengetahui ada mahasiswa-mahasiswa yang menentang aturan seragam itu, pernah berkoar-koar dengan jumawa, “Kalau kalian tidak setuju dengan aturan jurusan, silakan keluar! Dan pindah ke jurusan lain yang tidak memiliki aturan serupa!”

Enak saja, batinku. Aku heran mengetahui orang-orang yang begitu picik. Tidakkah mereka berpikir bahwa ada cara lain untuk membahas silang pendapat ini? Apakah mereka tidak pernah mau membuka pintu dialog? Barangkali mereka tidak pernah membiarkan otaknya berputar barang sebentar saja.

Sungguh, aku dan kawan-kawan satu pemahaman bukan tidak mau tunduk kepada aturan-aturan yang ada, tapi kami hanya mempertanyakan aturan-aturan yang menurut kami “bodoh” dan tidak masuk akal. Tentu saja kami ingin menjadi guru yang baik—guru yang profesional, tapi kami tidak ingin diikat aturan-aturan yang mengekang kebebasan individu. Bagi kami, tidak ada korelasi antara seragam dengan menjadi guru yang baik.

Apakah lantas kami harus keluar jurusan? Tentu saja tidak! Kami telah berusaha sepenuh hati untuk masuk jurusan ini. Kami telah melewati bermacam-macam tes, begitu pula kami telah mengeluarkan uang “pelicin”—yang memang harus dibayarkan—yang jumlahnya tidak sedikit.

Aku tidak menyesal masuk ke jurusan yang dengan sadar kupilih. Hanya saja, aku kecewa menyadari betapa hipokritnya kebanyakan manusia yang mengelilingiku.

Aku kecewa melihat ada dosen yang meminta mahasiswa membelikan buku-buku baru dengan dalih sebagai “tugas” dan “syarat kelulusan”. Aku geram melihat dosen memaksa mahasiswa membeli diktat berjilid-jilid dengan harga yang tidak murah. Padahal aku yakin, diktat berjilid-jilid itu—yang melulu isinya kutipan bin kutipan—hanya akan ditumpuk di rumah, berdebu, mungkin dikerikiti tikus atau rayap, tanpa pernah disentuh, apalagi dibaca!

Aku kecewa mengetahui aturan perkuliahan yang menyebutkan mahasiswa hanya diperkenankan absen sebanyak dua kali, tapi ada dosen yang absen sampai lebih dari enam kali! Tanpa alasan, tanpa pemberitahuan! Aku tidak habis pikir, mengapa kami mahasiswa diikat aturan-aturan yang mengekang, tapi dosen dibebaskan berbuat sekehendak hati? Apakah ini adil?

Aku tidak habis pikir, mengapa dua-tiga dosen datang terlambat dua-puluh sampai empat-puluh menit tanpa menunjukkan rasa bersalah, apalagi minta maaf! Sedangkan mahasiswa yang terlambat sepuluh menit langsung dihardik, “Silakan keluar dari ruangan ini!” Adakah ini suatu keadilan?

Aku tidak tahu alasan mengapa ada dosen yang menghasut dan memprovokasi mahasiswa agar mendemo dosen tertentu, padahal dosen itu sangat membangun dan berkualitas, sehingga akhirnya dosen yang bersangkutan tidak mengajar lagi di jurusanku!

Aku muak bercampur heran, melihat dua-tiga dosen yang antikritik, tapi amat doyan menelanjangi “kesalahan” mahasiswa yang terkesan dicari-cari dan diadakan, dosen-dosen yang memperlakukan mahasiswa seperti anak SD, yang suka mengatur ini itu, tapi dirinya rajin melanggar aturannya sendiri!

Akan dibawa ke mana mahasiswa-mahasiswa ini!?

Udara semakin pengap. Kemarau panas bau sengak menguap. Angin kering bergulung-gulung. Tenggorokanku terasa kering dan lambungku perih. Perlahan aku menyandang tas. Aku harus segera pulang. 

Banyumas, 10 Juni 2010


HARJUNO PRBUNINGRAT, lahir di Banyumas 24 tahun silam. Cucu Suradi Hadi Purwoko ini aktif mengikuti workshop kepenulisan dan pendidikan. Tulisan-tulisannya dimuat antara lain di Annida dan Radar Banyumas. Silaturahmi lebih lanjut bisa menghubungi e-mail harjunoprabuningrat@yahoo.co.id.