Cerpen

Cerpen: Perempuan Kedua

Ahad, 1 Januari 2023 | 11:00 WIB

Cerpen: Perempuan Kedua

Ilustrasi (Freepik)

Maka Bongkah pun melahirkan bayinya, perempuan. Lalu kampungku terasa berubah, seperti ada yang berbeda. Bisik-bisik terdengar sana sini tentang siapa ayah bayi Bongkah. Mereka hanya bisa menerka, toh Bongkah hanya diam membisu. Sementara kedua orang tuanya menangis tanpa suara.


Perihal perempuan hamil di luar nikah sebenarnya bukan hal baru di kampungku, sudah beberapa kali terjadi. Kata para orang tua, "Jamane jaman edan." Tetapi apa yang dialami oleh Bongkah ini berbeda, sehingga sudah barang tentu menjadi perbincangan di masyarakat. Sudah dua kali ia bunting.


Kejadian pertama, terjadi saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Waktu itu aku menemani ibuku mengantarkan makanan ke kediaman Bi Mar dan Mang Kir, orang tua Bongkah. Mereka sudah sangat lama bekerja pada kakek, sudah dianggap seperti saudara sendiri. Saat itu di rumah hanya ada Bongkah, diserahkanlah makanan tersebut kepadanya.


Malam harinya ibu menceritakan kecurigaannya kepada kakek bahwa Bongkah hamil. Tidak berselang lama, kedua orang tua Bongkah datang. Mereka menangis sesenggukan. "Kang, bantu saya agar yang menghamili Bongkah mau bertanggung jawab," pinta Bi Mar. Sementara Mang Kir hanya terdiam lesu, merasa telah gagal mendidik anaknya. Tangannya mengepal penuh emosi.


"Ingin aku sembelih saja dia, Kang, bikin malu keluarga," ucap Mang Kir.


"Sabar. Bagaimanapun juga dia anakmu," kata kakek.


Ternyata yang menghamili Bongkah adalah anak orang kaya. Awalnya pacar Bongkah keukeuh tetap tidak mau bertanggung jawab. Begitu juga dengan keluarganya. Tetapi setelah Kakek turun tangan langsung dan mengancam akan membawa permasalahan tersebut ke meja hijau, mereka mau bertanggung jawab. Pernikahan terselenggara dengan sederhana. Sebulan kemudian lahirlah bayi berjenis kelamin laki-laki. Akan tetapi, mahligai rumah tangga Bongkah hanya berjalan selama satu tahun.


Detik berganti detik, jam berganti jam, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Masyarakat melupakan apa yang dialami oleh Bongkah. Sampai suatu ketika di waktu sahur, di rumah Mang Kir terjadi keributan. Penyebabnya Bongkah hamil lagi. Keributan tersebut terdengar oleh Lamah, tetangga samping rumah yang terkenal lamis. Maka kabar kehamilan Bongkah menyebar laksana angin dari satu mulut ke mulut lainnya.


Mang Kir dan Bi Mar dibuat kebingungan, pasalnya Bongkah diam seribu bahasa tidak mau memberitahu siapa yang telah menghamilinya.


"Masyarakat pasti akan menghujat kita habis-habisan, Bu. Kepada siapa sekarang kita meminta bantuan? Dulu kita masih punya Kang Kaji yang sudah seperti saudara sendiri. Beliau sudah lama meninggal, sebentar lagi aku akan menyusul."


"Jangan bilang seperti itu, Pak. Kita masih punya Gusti Allah."


Semenjak kejadian itu, kesehatan Mang Kir semakin menurun. Ia terbaring lemah di kamarnya. Dokter menyarankan supaya Mang Kir banyak istirahat dan jangan terlalu banyak pikiran. Akan tetapi nasihat dokter tidak dihiraukannya. Ia selalu nyerocos, "Bongkah, Bongkah. Aku didik kau dengan sepenuh hati. Aku masukkan kau ke pesantren. Tetapi kenapa kamu malah menyiksa Bapak?"


Ditambah lagi dengan kelakuan anak-anak kampungku yang dipimpin oleh Jinan. Aku tak habis pikir dengan kelakuan Jinan dan anak-anak itu. Mereka melempari rumah Mang Kir dengan batu disertai dengan sumpah serapah, dan itu terjadi setiap malam. Mang Kir yang terbaring lemah pun keluar rumah mengejar mereka. Melihat Mang Kir mengejar, bukannya berhenti, Jinan dan kawan-kawannya malah semakin menjadi-jadi. Para tetangga bukannya merasa iba, malah menyuruh Jinan dan kawan-kawannya untuk datang setiap malam.


Ternyata banyak juga warga kampungku yang merasa prihatin atas apa yang menimpa Mang Kir. Banyak orang merasa jengah atas apa yang dilakukan oleh Jinan. 


"Apa yang dilakukan oleh Jinan benar-benar tidak manusiawi," kata mereka.


"Tidak pernah diajarkan tata krama, maka seperti Jinan kelakuannya," sambut yang lainnya.


"Kalau ngomong ke anaknya langsung pasti tidak mempan, mending langsung ke orang tuanya saja," timpal seorang warga.


Pak Sopan atas nama perwakilan warga pun mendatangi rumah Jinan dan kawan-kawannya. Hasilnya, orang tua anak-anak itu ada yang berjanji akan menasehati anak mereka. Tidak sedikit pula yang mengklaim bahwa apa yang dilakukan anak mereka adalah bagian agar tidak terkena azab. Ibu Jinan malah mengatakan, "Namanya juga anak-anak, jadi wajar toh apa yang dilakukan oleh anak saya tidak merugikan."


Beberapa hari setelah Bongkah melahirkan, Mang Kir meninggal dengan penuh senyuman. Aku mendengar kabar meninggalnya Mang Kir dari siaran di masjid. Ingatanku melayang ke belakang, saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta ketika umurku lima tahun. Saat itu Mang Kir dan Bi Mar sudah tinggal di Jakarta. Mereka yang menjemput aku dan ibuku di Terminal Bus Kampung Rambutan. Mereka lalu mengantarkan kami ke Ciledug.


Aku bertekad mengatakan sesuatu kepada Jinan sebagai bentuk pembelaan terhadap Mang Kir. Dulu hubunganku dengan Jinan memang baik-baik saja tidak ada masalah. Tetapi, semenjak ia kalah dalam pertandingan sepak bola dengan kelompokku, hubungan kami jadi tidak baik-baik saja.


Pada pagi harinya aku bertemu dengan Jinan. Tanpa basa basi aku mengatakan, "Kalau aku nanti malam melempari rumahmu dengan batu jangan marah ya. Kakak kamu juga kan hamil di luar nikah. Nggak papa dong rumah kamu dilemparin batu."


Jinan diam saja.


"Kalau mau melakukan sesuatu itu ngaca dulu, dipikir dulu. Kamu terima nggak rumahmu dilempari batu?"

Jinan tetap diam saja.


Sepeninggal Mang Kir, masyarakat masih tetap menduga-duga siapa yang telah menghamili Bongkah. Dugaan mereka tertuju pada Bobon, penjual bensin eceran di pinggir jalan. Sebab semenjak kehamilan Bongkah mencuat, Bobon entah pergi ke mana. Warung bensinnya pun ditinggalkan begitu saja. Keyakinan masyarakat semakin kuat, manakala anak kedua Bongkah mirip dengan Bobon. Namun, hingga lima tahun telah berlalu, Bobon tidak pernah kembali lagi ke kampungku.


Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal, Jawa Tengah, mahasiswa Psikologi UIN Jakarta, kontributor NU Online. Malik menulis sejumlah cerpen dan esai yang tersebar di beberapa media online. Karyanya yang telah dibukukan berjudul 'Catatan Mistis'.