Cerpen INYONG MAULANA

Jaranan

Ahad, 3 Maret 2013 | 05:01 WIB

Pelepah pisangku patah, cemetinya juga sudah pecah. ‘’Hya..hya..hya…,’’ sesekali kami teriak riang.
<>
Pohon-pohon pisang yang tumbuh di sekitar rumah memudahkan anak-anak mendapat barang semacam itu. Mereka bebas tertawa, gembira, lalu bercanda sembari berjoget memukul udara. ‘’Hya..pltar..pltar!’’ kembali terdengar teriakan diiringi suara cambuk yang kami mainkan.

Masa kecilku yang indah, Lerang Gunung Slamet saat itu masih pertengahan musim penghujan. Tanah terjal serta bebatuan kering kerap meluncur ke bawah dengan sendirinya secara tiba-tiba. Bergulingan lalu menghantam dataran dimana anak-anak seusia kami sedang asyik bermain.

''Awas Rozak! ada batu meluncur ke arahamu,'' seru Subekhi mengingatkanku sewaktu kami asyik bermain. Waktu itu, kami masih duduk di bangku SD kelas empat. Tiap pulang sekolah, kami menyempatkan untuk bermain apa saja sebelum akhirnya bapak ibu kami mencari
kesana-kemari.

''Bekhi ibumu datang tuh, kamu pasti dimarahi nanti,'' kataku memberi tahu kedatangan seorang wanita setengah baya yang ternyata ibunya Subekhi.

Anwar yang sedari tadi hanya terdiam tiba-tiba menyarankan agar Bekhi cepat-cepat sembunyi. Dia pun menyelinap di antara puluhan pohon pisang. Sembari bersungut, Bekhi tampak sekali terganggu dengan kedatangan ibunya.

''Kalian pasti main jaranan lagi ya! Dimana Subekhi sudah jam dua siang kok belum sampai rumah?” tanya Bu Jamilah kepada kami berdua.

Kembali Anwar menjawab spontan, Dia mengatakan kalau Subekhi mendapat tugas khusus dari guru kesenian di sekolah, sehingga tidak bisa pulang bersama mereka. Anwar juga menjelaskan kalau Bekhi merupakan salah satu siswa yang bakal mewakili sekolah pada kejuaraan
seni di tingkat kecamatan.

''Alasan! Pokoknya saya tidak mau kalau kegiatan berjoget sambil makan beling dianggap sebagai seni, apalagi Bekhi yang melakukan, titik!'' katanya sambil beranjak pergi meninggalkan kami.

Aku dan Anwar hanya bisa saling pandang sembari tersenyum kecil. Kami berdua sama-sama heran, sebab sampai sebesar itu ketidaksukaan ibunya Si Bekhi pada yang namanya jaranan. Terlihat Anwar membisu sembari memukul-mukulkan pelepah pisangnya pada sebuah batu.

Sebentar kemudian Bekhi keluar dari pesembunyian. Dia berjingkat sesekali tampak menoleh kesana-kemari. ''Itulah Rozak, ibuku melarang keras permainan jaranan ini,'' katanya mengeluh.

Bahkan, lanjut Bekhi, demi menjauhkannya dari kesenian tradisional jaranan, ibunya berencana memindah sekolah Bekhi ke Jakarta. Kebetulan di sana terdapat saudara misan bapaknya.

''Apa?! Kamu mau dipindah ke Jakarta? lantas mau jadi apa…?!'' teriak Anwar kaget.

''Iya, aku sendiri tidak tahu kenapa sampai seperti itu,'' jawab Bekhi menunduk.

‘’Memang apa sih yang dilihat ibumu dari jaranan?’’

‘’Syirik katanya,’’ jawab Rozak tertunduk.

***
Hari itu, lidahku kembali merasakan nikmatnya secangkir kopi buatan ibuku. Setelah seharian bergelut dengan lumpur sawah. Usai membersihkan mata cangkul, kusandarkan tubuh pada tiang gubuk. Hembusan angin segar mulai merayu, akalku membayangkan masa lalu. Masa dimana anak-anak kampung masih suka bermain jaranan. Dan sekarang, hampir tidak pernah lagi
dijumpai permainan itu. Anak-anak kampung lebih memilih playstation.

Bekhi, nama yang cukup lekat dalam ingatan. Teman sejawat sejak kecil itu hampir 15 tahun lebih tak lagi bertemu. Kabarnya, Bekhi sudah selesai kuliah di salah satu peguruan tinggi ternama di Jakarta. Tidak tahu lagi apa sekarang pekerjaannya, atau apakah masih ingat sewaktu sering bermain jaranan di areal perkebunan, lalu sekonyong-konyong ibunya dating sambil memainkan telunjuk, mengomel.

Pukul empat sore aku bergegas meninggalkan sawah, sebelumnya kututup kembali aliran air dari anak sungai induk. Kebiasaan masyarakat desa semacam ini tidak bisa dirubah, setiap kali mereka hendak meninggalkan area persawahan, kebiasaan yang tak bisa dihilangkan
adalah mengecek kembali saluran air. Maklum sungai kecil sepanjang persawahan merupakan ruh tanaman padi ratusan petani di desa kami. Mereka benar-benar merawatnya termasuk dalam hal pemakaian yang dilakukan secara bergilir.

''Kalau tidak begitu bisa terjadi perang sabit Dik Rozak,'' kata Pak Udi, tetangga sekampung yang
memiliki petak sawah di ujung sebelah timur desa kami. Pak Udi yang ramah, santun, memang menjadi panutan para petani di desa. Dia tergolong petani sukses, dengan kemahirannya bercocok tanam kami banyak belajar dari caranya mengolah lahan pertanian. Selain itu, Pak
Udi juga tak segan membagi pengetahuannya kepada kami. Sehingga masalah sekecil apa pun terutama yang berkaitan dengan pertanian kami bicarakan dengannya. Termasuk masalah irigasi.

''Tumben jam segini baru pulang dik, tadi ada yang mencari kamu tuh. Kebetulan ibumu juga lagi ikut pengajian di kantor desa,'' kata Pak Udi yang sore itu sedang duduk di teras rumahnya sembari menikmati secangkir kopi.

''Iya Pak Udi, aliran airnya kecil jadi mesti menunggu berjam-jam,'' kataku.

''Maklumlah Dik, mendekati musim kemarau seperti ini air mulai sulit didapat jadi harus bersabar memang,'' tambah Pak Udi.

''Kira-kira Bapak kenal siapa yang mencariku barusan.''

''Itu lho ..., Si Subekhi teman masa kecilmu dulu, anaknya Bu Jamilah yang sekarang sekolah di Jakarta,'' jawab Pak Udi.

Sambil mengucapkan terima kasih aku segera menuju ke rumah yang hanya berjarak sepuluh meter dari rumah Pak Udi. Mendengar nama Bekhi disebut kembali bayang-bayang masa lalu melintas. Bergegas aku membersihkan badan kemudian beranjak ke rumah Bekhi. Ternyata Bekhi sedang tidak berada di rumah, Bu Jamilah mengatakan kalau anaknya sedang keluar bersama Anwar . Tidak salah lagi mereka pasti sedang berada di lereng. Aku berguman sambil berlari kecil menuju lereng yang dahulu kerap menjadi tempat kami bermain jaranan.

Dugaanku benar, suara tawa mereka terdengar jelas sewaktu aku hampir sampai ke tempat tersebut. Bahkan, kali ini bukan jaranan yang mereka mainkan melainkan membakar setumpuk kayu yang menimbulkan asap pekat.Sementara tampak dua ekor ayam telanjang kaku di atas
perapian yang mereka buat.

''Wah jaranan sekarang tak lagi makan beling ternyata, tetapi ayam,'' kataku di sambut tawa lebar kedua sahabatkku. Kami pun saling berangkulan. Bekhi tampak jauh berbeda, dia kini terlihat gagah tidak lagi ingusan seperti waktu main jaranan dulu, 15 tahun lalu. Penampilannya pun cukup nyentrik dengan rambut gondrong, celana jeans ketat serta t-shirt hitam. Sedikit cambang tumbuh di bawah dagunya menandakan Bekhi pamuda yang keras keinginan seperti masa
kecilnya dahulu.

''Bekhi bagaimana kabarnya di Jakarta, masih ingat jaranan yang sering kita mainkan tidak?'' tanyaku mengajaknya bernostalgia.

''Yah, jaranan di Jakarta jauh berbeda dengan yang ada di desa kita. Di sana tidak hanya beling yang dimakan, melainkan kayu glondongan, pajak, uang rakyat, bahkan seisi laut dan tambang minyak pun dilahap.''

Kata-kata Bekhi membuat kami berdua bingung. Kami bahkan sangsi apakah ini Bekhi teman kami. Lantas mengapa jawabannya ngelantur tidak karuan. Apakah ini pula bukti ketidaksukaan ibunya bila melihat kami bermain jaranan. Mungkin khawatir nanti melahap kayu gelondongan, blandar atau tiang rumah kami yang terancam habis dimakan. Ataukah Bekhi hanya bercanda?

Tidak, sejak kecil Bekhi jarang bercanda. Bahkan dia kerap menangis bila kami bertiga mengajaknya bercanda, ini pasti mengandung makna. Maklum, Aku dan Anwar hanya lulusan sekolah dasar di desa sehingga sulit memahami perkataan mahasiswa semacam Bekhi. Tak terasa
mata kami berdua tertuju pada dua ekor ayam yang sudah mulai kaku mengering diranggas bara.

''Apakah ini pertanda kita juga akan melakukan hal yang sama, sebab saat ini di depan kita tergolek dua ekor ayam siap disantap. Mungkin besok kita panggang kambing, kemudian kerbau, lalu gajah, lalu seisi laut, dan memakannya dengan kayu-kayu jati di sekeliling kita ini,'' ujar Anwar menduga.

Bekhi tidak merespon, dia justru mencukil sayap ayam yang sudah kelihatan gosong. Sejenak kemudian dioleskan ke mangkuk berisi bumbu kecap yang sudah disiapkan lantas dilahapnya.

''Kalau begitu kita tidak usah lagi main jaranan, anak-anak kecil di desa ini juga dikasih tahu kalau bermain jaranan itu berbahaya karena kusen-kusen rumah penduduk terancam dimakan,'' tutur Rozak menambahi.

''Lho, kenapa anak-anak mesti dilarang, justru itu kebudayaan yang menjadi kebanggaan desa ini. Aku lihat sekarang justru jarang jaranan dimainkan,'' kata Bekhi yang lagi-lagi membuat kami kebingungan.

''Lantas bagaimana dengan pohon-pohon jati di kampung kita, kusen-kusen rumah penduduk, iuran desa tiap pekan yang ditarik Pak Udi. Bukankah itu akan habis dimakan mengingat jaranan sekarang bukan hanya makan beling,'' sergahku sedikit khawatir.

Memang, lanjut Bekhi, mereka justru tak bisa memakan beling. Bahkan bukan pelepah pisang yang dijadikan tunggangan melainkan partai politik, lembaga pemerintah, kantor-kantor dinas, bahkan instansi sosial seperti lembaga swadaya. Cemetinya pun bukan lagi utas tali yang dipilin kemudian menimbulkan bunyi nyaring saat dimainkan. Melainkan jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan ambisi.

''Wah apalagi itu,'' tanya Anwar.

''Sudahlah, beruntung masyarakat di sini tidak banyak yang memahami hal ini. Coba kalau mereka semua tahu tentu ramai-ramai berangkat ke Jakarta menuntut para penguasa karena telah menyalahkagunakan kesenian jaranan yang menjadi kebanggaan kita,'' kata Bekhi.

Meski samar, kami sedikit mengerti maksud pembicaraan Bekhi. Sebuah pelajaran berharga telah dia berikan kepada dua anak desa. Ternyata, sikap kemaruk sudah mewabah kepada para pemimpin di negeri ini. Bahkan, tanpa merasa salah dan dosa jaranan yang kerap kami
mainkan diwaktu senggang ikut terlibat di dalamnya.

''Bekhi kamu tahu tidak, dua minggu lalu Pak Lurah beli mobil, kalau tidak salah mereknya Kijang Inova, itu lho kijang yang agak lancip depannya.''

Perkataan Rozak kembali terdengar sewaktu kami sedang asyik menikmati ayam bakar usai mendengar cerita Bekhi.

''Oh iya, uangnya dari mana?'' timpal Bekhi terlihat cukup bersemangat.

''Dia jual seluruh tanah bengkok, sebagian hasil penjualan kayu jati dari dua bukit yang kini dijadikan persil,'' jawab Rozak dengan mulut penuh daging ayam.

''Bahaya, penyakit itu sudah sampai juga ke desa kita,'' tutur Bekhi tampak kecewa.



INYONG MAULANA, terlahir dengan nama Maulana di Desa Karang Sawah, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah pada 09 Februari 1976, sekarang tinggal di Surabaya. Pernah menjadi Reporter Harian Umum Republika (Kalam JawaTimur) pada 2002-2004 dan sekarang bekerja sebagai Redaktur di HARIAN BANGSA dan Kontributor NU Online Surabaya.