Oleh Yazid Muttaqin
Sejak seminggu yang lalu warga kampung Tegalglagah mendadak geger. Mereka dikejutkan dengan berita kecelakaan dahsyat yang menimpa Lek Darkum. Laki-laki empat puluh lima tahun yang sehari-harinya mengayuh becak sebagai mata pencaharian itu dihantam sebuah truk tronton dari arah belakang. Lek Darkum terpental keras dari becaknya, limbung, lalu menghantam bagian belakang bus yang berhenti mendadak karena ada penyeberang jalan yang maen serobot. Tak berhenti sampai di situ. Begitu kerasnya hantaman tubuh kerempeng Lek Darkum pada bagian belakang bus itu menjadikannya kembali terpental dan menghantam bagian depan truk tronton yang tadi menabraknya.
Seisi kampung merinding mendengar dan membayangkan kecelakaan maut itu. Karuan saja dalam seminggu ini kejadian nahas itu menjadi buah bibir paling hangat yang selalu dibicarakan bukan saja oleh orang kampung Tegalglagah tapi juga masyarakat luas di daerah-daerah lain. Media massa cetak dan elektronik lah yang memiliki andil paling besar dalam penyebaran berita besar itu.
Tetapi sebetulnya, ada satu hal yang paling menjadi sorotan orang-orang dari kejadian itu. Meski tubuhnya beberapa kali dihantam dan menghantam dua kendaraan besar, tapi Lek Darkum selamat tanpa luka sedikit pun. Tak ada darah mengalir dari dalam tubuhnya, tak ada tulang yang patah. Semua baik-baik saja. Bahkan sesaat setelah tubuh Lek Darkum tergolek di aspal ia bisa segera bangkit layaknya orang baru bangun tidur. Lalu segera ia mencari becaknya yang ternyata sudah ada di pinggir jalan, pun nyaris tanpa kerusakan.
Sangat aneh. Inilah yang menjadikan peristiwa miris itu tak henti-hentinya dibicarakan banyak orang. Bahkan keanehan itu seakan dianggap sebagai berita utama dari pada kecelakaan itu sendiri.
Dan umumnya orang ngerumpi pokok berita pun mulai berkembang, meluas, serta bergeser pada hal-hal yang bisa jadi tak ada kaitannya dengan pokok berita yang sesungguhnya. Bahkan rasa simpati dan kasihan pada Lek Darkum yang pada awalnya menghiasi setiap perbincangan mereka, kini seakan bergeser pada rasa curiga. Seperti perbincangan yang terjadi sore tadi di warung kopi Yu Kamilah.
“Enggak mungkin kalo Lek Darkum itu polosan,” kata Kang Busro sambil sedikit melirik ke arah Mas Pi’i yang sedang menyruput kopi panasnya.
“Polosan bagaimana, Kang?” Pakde Dar enggak mudheng.
Usai menyulutkan api ke kreteknya Kang Busro menjelaskan penuh semangat, “Pakde, enggak mungkin Lek Darkum itu polosan, enggak punya simpanan apa-apa. Logikanya orang ditabrak kendaraan besar lalu terpental berulangkali itu pasti mati. Lah ini, boro-boro mati, luka sedikit saja ngga. Ini pasti karena Lek Darkum punya simpanan, punya senjata rahasia yang tak kasat mata.”
“Iya, yah. Benar juga, sih.” Pakde Dar mulai dong dan terpancing menyetujui pemikiran Kang Busro.
“Aku juga berpikir begitu,” Mas Pi’i menimpali.
“Nah, kan.” Kang Busro segera menyahut, merasa ada yang sepemikiran.
“Coba kita lihat,” Mas Pi’i mulai berkata serius. Rokok kretek yang sedari tadi dijepit dengan dua jarinya kini ditaruh di atas pising cangkir kopinya.
“Kalo kita cermati akhir-akhir ini seperti ada yang aneh dengan Lek Darkum.”
“Aneh bagaimana, Mas?” Pakde Dar menyela bersamaan dengan Yu Kamilah yang diam-diam dari tadi nguping pembicaraan para pelanggannya.
“Coba kalian lihat kehidupan Lek Darkum dalam kira-kira dua bulanan ini. Seminggu sebelum kecelakaan maut itu anak Lek Darkum yang kecil kan kena demam berdarah. Ia dirawat di rumah sakit swasta mewah karena saat itu rumah sakit daerah sudah penuh. Lalu sebelumnya lagi becak Lek Darkum kan hilang dicuri orang di pasar. Tiga hari kemudian ia sudah bisa membeli becak baru. Sebelumnya lagi, kalian lihat sendiri kan ia membeli kulkas dan seperangkat kursi tamu yang cukup bagus. Juga hal-hal lain yang rasanya ganjil dilakukan Lek Darkum. Coba kalian pikir dari mana uang untuk semua itu. Berapa sih penghasilan tukang becak setiap harinya. Paling-paling cukup buat makan saja.”
Pakde Dar, Kang Busro, dan Yu Kamilah manggut-manggut, seperti membenarkan fakta yang disampaikan oleh Mas Pi’i. Sejenak semuanya terdiam, hingga tiba-tiba Yu Kamilah berbicara, “Satu lagi, Mas.” Yang lain terperangah. “Apa, Yu?” Kang Busro mengejar. Segera Yu Kamilah melengkapi ucapannya, “Marni, istrinya Lek Darkum, kan dari dulu kena penyakit asma, sangat sering kambuh. Lah sudah kira-kira tiga bulanan ini kok aku belum pernah dengar kabar kalo penyakitnya itu kambuh ya. Apa sudah sembuh ya?”
Ketiga pelanggan Yu Kamilah cuma manggut-manggut. Bersamaan ketiganya menyruput kopinya yang sudah mulai dingin.
“Jadi kalau memang benar begitu,” Kang Busro angkat bicara, “sepertinya apa yang dicurigai masyarakat ada benarnya juga. Orang-orang pada mengira kalau Lek Darkum itu punya jimat atau pesugihan.”
“Kalau sekedar jimat sih enggak masalah, Kang. Tapi kalau yang dipunyai itu pesugihan?” Pakde Dar menimpali.
“Iya, ya.” Mas Pi’I menimpali, “kalau sekedar jimat yang ia punya, paling-paling itu akan memberi kesenengan pada Lek Darkum dan keluarganya. Tapi kalau yang ia punya itu pesugihan kita bisa jadi kena getahnya, kan? Kita bisa jadi korbannya.”
***
Lek Darkum duduk seorang diri di emperan rumahnya yang tak besar. Hanya ditemani segelas kecil teh tubruk pahit kesukaannya. Sesekali ia menyapa orang-orang yang lewat di depannya. Rumahnya tepat di pinggir jalan utama kampung yang teduh dinaungi banyak pohon asem berumur tua.
Tak berapa lama datang Wa Kaji Roup seorang diri. Laki-laki lima puluh tahun itu adalah satu-satunya orang kaya di kampung Tegalglagah. Tidak hanya paling kaya, ia juga satu-satunya orang yang telah berhaji dan paling dituakan oleh masyarakat. Mereka biasa memanggilnya Wa Kaji.
Setelah cukup berbasa-basi Wa Kaji mulai mengutarakan maksud kedatangannya.
“Begini Lek Darkum. Terus terang saya datang ke sini selain kemauan pribadi juga sebagai wakil dari warga kampung.”
Lek Darkum tersenyum. Wa Kaji menangkap sebuah isyarat.
“Sepertinya sampean sudah tahu maksud saya?” Ia mencoba menebak.
“Soal jimat itu kan, Wa?” Lek Darkum ganti menebak.
“Wa Kaji ke sini mau mencari tahu tentang kebenaran berita yang tersebar di masyarakat bahwa saya punya jimat atau pesugihan yang menjadikan saya tidak mati dihantam truk dan bus, yang menjadikan saya bisa beli peralatan rumah tangga mewah, yang menjadikan keluarga saya hidup di atas layaknya seorang tukang becak. Begitu, Wa?” datar Lek Darkum mengatakan.
“Betul, Lek. Saya rasa sampean sudah dengar desas-desus itu. Saya pikir enggak baik kalau orang-orang pada ngrasani sesuatu yang belum jelas jluntrungnya. Makanya saya ke sini untuk minta penjelasan pada sampean apa sebenarnya yang terjadi, biar nanti saya sampaikan kepada warga. Begitu, Lek.”
Lek Darkum terdiam. Nafasnya memberat.
“Wa Kaji,” ia mulai bicara, masih dengan datar, “sebodoh-bodohnya saya, lebih-lebih dalam masalah agama, saya masih punya dan menyembah Tuhan, menyembah Gusti Allah. Na’udzu billah kalau saya punya pesugihan, jangan sampai. Lebih baik saya hidup mlarat, apa adanya, dari pada saya menumpuk harta dengan jalan yang haram.”
Wa Kaji Roup hanya diam sambil manggut-manggut memahami perkataan Lek Darkum. Di pandangnya laki-laki kerempeng itu. “Lah kalau soal jimat, Lek?” Ia menyelidik.
Lek Darkum tersenyum, lalu sedikit terkekeh.
“Wa Kaji lihat pohon asem blimbing itu?” Ia menunjuk pada sebuah pohon asem blimbing yang tumbuh di pojok pelataran depan rumahnya. Mata Wa Kaji Roup mengikuti jari Lek Darkum ke arah pohon asem blimbing itu.
“Kenapa dengan pohon itu, Lek?”
“Itu jimat saya, Wa.” Lek Darkum menjawab singkat, lalu terkekeh.
Wa Kaji Roup terperangah.
“Sampean enggak bercanda, kan? Sampean serius?”
Lagi-lagi Lek Darkum terkekeh.
“Lah ya saya serius, Wa. Pohon itu memang jimat saya.” Lek Darkum meyakinkan Wa Kaji Roup, bibirnya masih mengulas senyum sisa kekehannya.
“Jadi benar apa yang dikatakan warga kalau sampean punya jimat?”
Lek Darkum tak menjawab. Ia memilih diam. Raut mukanya terlihat memberat. Ada yang ia cari dalam memori otaknya. Wa Kaji Roup ikut terdiam.
“Wa Kaji boleh percaya boleh tidak,” Lek Darkum mulai bicara.
“Pohon asem blimbing itu saya tanam sejak lima belas tahun yang lalu. Kala itu saya niati kalau satu saat nanti pohon ini tumbuh menjadi besar dan berbuah maka siapapun boleh mengambil buahnya tanpa harus meminta ijin pada saya atau keluarga saya. Saya tanam pohon itu dengan niatan untuk sedekah pada siapapun. Ternyata setelah pohon itu besar buahnya sangat lebat dan seakan tak ada hentinya. Orang-orang kampung pada mengambil untuk kebutuhan mereka masing-masing. Bahkan istri Wa Kaji juga sering kan mengambilnya kalau Wa Kaji minta dibuatkan sayur asem. Katanya buah asem milik saya ini rasanya seperti agak berbeda dengan buah asem pada umumnya.
Hingga kira-kira lima bulan yang lalu, saat tengah malam dengan hujan yang cukup besar, pintu rumahku diketok seseorang yang tak kukenal. Ia meminta ijin untuk mengambil buah asem blimbing yang di pohon itu. Katanya untuk istrinya yang sedang hamil 2 bulan. Istrinya ngidam pengin banget makan asem blimbing. Ia sudah mencoba memenuhi permintaannya dengan membeli di warung-warung, pasar dan di mana saja ada penjual sayuran. Tapi istrinya selalu menolak. Katanya buah asem yang ia bawa enggak enak, padahal sedikitpun si istri belum mencicipinya. Sampai satu saat ada seorang teman yang menawari buah asem dan si istri langsung mau memakannya. Teman itu memberi tahu bahwa asem itu dari pohon yang ada di pekarangan rumahku.
Malam itu sang istri kembali ngidam pengin makan buah asem blimbing dan harus dari pohon itu. Meski tengah malam dan hujan sangat besar sang suami menyanggupi permintaan istrinya. Ini ia lakukan karena begitu bahagianya sang istri bisa hamil setelah sepuluh tahun lamanya belum hamil sejak mereka menikah.
Sesampai di depan rumahku ia tak mau langsung mengambil buah asem itu. Ia merasa perlu meminta ijin agar buah yang ia ambil dan akan dimakan istrinya benar-benar buah yang halal dan berkah. Maka ia ketok pintu rumahku, meminta ijin, lalu mengambil secukupnya buah asem itu. Kepadanya sempat kupesankan, bila satu saat membutuhkan lagi, kapanpun waktunya silakan ambil saja buah itu tanpa harus meminta ijinku. Semuanya halal, baik dan berkah.
Saat tamu itu hendak pulang ternyata mobilnya mogok dan sama sekali tak bisa jalan. Maka kutawarkan untuk mengantarnya pulang dengan becak. Kuantar ia ke rumahnya yang berjarak lima kilo dari sini.
Ia sangat berterima kasih atas kebaikanku. Bahkan di hadapanku, dengan jelas ia mendoakan agar kehidupanku dan keluargaku diberi kemudahan dan keberkahan oleh Allah sebagaimana aku telah memberikan kemudahan kepadanya.
Pagi harinya saat aku mangkal di pasar seorang penumpang minta di antar pulang ke rumah. Ternyata ia tetangga laki-laki yang semalam meminta buah asem itu. Dari penumpang itu aku tahu bahwa laki-laki itu adalah seorang yang kaya raya namun tidak sombong. Ia sangat rendah hati dan santun kepada siapapun, suka menolong dan membantu para tetangga, selalu shalat berjamaah di masjid dan banyak kebaikan lainnya. Karenanya ia sangat disegani oleh masyarakat di sana. Mendengar kisahnya diam-diam hatiku merasa sangat senang. Kurasa laki-laki itu adalah orang yang dekat dengan Tuhan. Aku berharap doanya semalam benar-benar di dengar dan dikabulkan oleh Tuhan.
Dan cerita yang disampaikan penumpang becakku itu ternyata memang benar. Laki-laki itu benar-benar dermawan. Dia lah yang membayar semua biaya rumah sakit saat anakku kena demam berdarah. Dia juga yang membelikan kulkas, kursi tamu, dan peralatan rumah lain tanpa sepengetahuanku. Dia juga yang membelikan becak baru waktu becakku hilang di pasar.”
Lek Darkum berhenti bicara. Wa Kaji Roup manggut-manggut. Baginya mulai ada titik terang tentang gosip yang sedang hangat beredar di seantero kampung. Tiba-tiba dia menoleh cepat ke arah Lek Darkum.
“Kalo soal kecelakaan maut itu?” Ia bertanya tajam.
“Aku juga enggak tahu, Wa. Aku juga enggak percaya kalau aku ditabrak dan dihantam truk dan bus tapi masih bisa hidup, bahkan badanku benar-benar wutuh tanpa lecet sedikitpun. Jadi jangankan orang-orang kampung, aku saja yang mengalami sendiri sampai sekarang masih enggak ngerti mengapa bisa begitu.”
Keduanya terdiam cukup lama. Tiba-tiba mata Lek Darkum tertuju pada seekor kecoak yang lewat di depannya. Ia bergumam, “Subhanallah.”
Wa Kaji Roup yang mendengar gumaman itu terheran.
“Kenapa, Lek?”
“Kecoak itu, Wa Kaji.” Lek Darkum berseru.
“Apa maksudmu? Ada apa dengan kecoak itu?” Wa Kaji tambah tak mengerti.
Lek Darkum menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kuat.
“Tak tahulah, Wa. Allahu a’lam. Hanya Allah yang tahu sesungguhnya. Tapi kurasa kecoak itu lah yang menjadikanku tetap hidup dalam kecelakaan maut itu.”
Wa Kaji Roup semakin tak mengerti.
“Wa Kaji, di rumah saya ini banyak kecoaknya. Saya sering mendapati kecoak-kecoak itu terbang atau berjalan lalu terjatuh di lantai dengan tubuh terbalik. Kakinya bergerak-gerak seakan berusaha keras untuk membalikkan tubuh agar dapat berjalan kembali. Melihatnya aku selalu kasihan. Maka kuraih tubuh kecoak itu, lalu kubalikkan badannya dan kutaruh dengan posisi yang benar hingga ia bisa berjalan lagi. Saat aku melakukan hal itu hatiku selalu berbisik, ya Allah, sebagaimana aku bangkitkan kembali mahluk-Mu ini karena kasih sayangku agar ia bisa tetap hidup, maka bangkitkan pula aku saat aku terpuruk agar aku bisa tetap hidup dengan kasih sayang-Mu. Perilaku demikian sudah aku lakoni bertahun-tahun sampai saat ini.”
Sejenak Lek Darkum terdiam.
“Itu Wa Kaji. Itu jimat saya kalau sampean dan warga kampung Tegalglagah ini percaya. Itu jimat saya yang menjadikan kehidupan keluarga saya serasa aneh seperti dikatakan oleh mereka. Bahkan bukan dalam dua tiga bulan terakhir saja keanehan itu aku alami. Tapi sudah tahunan. Aku memang enggak punya uang banyak. Sampean tahu lah berapa penghasilan tukang becak. Tapi aku sangat bersyukur setiap kebutuhan keluargaku selalu dapat terpenuhi. Saat keluargaku butuh sesuatu ndilalah kok ya ada saja rejeki untuk memenuhinya.”
“Mengapa kau lakukan semua itu, Lek? Siapa yang mengajarimu tentang jimat itu?” Wa Kaji Roup menyelidik.
“Bapakku, Wa. Dialah yang mengajariku untuk berusaha menjadi orang yang banyak memberi manfaat bagi orang lain, dalam bentuk apapun, sekecil apapun. Dia yang mengajariku untuk selalu berbagi kasih sayang dengan sesama makhluk. Katanya, bila kita menyayangi makhluk yang ada di bumi ini, maka penghuni langit akan menyayangi kita. Ia juga mengajariku, bila aku tak mampu melakukan tirakat dengan berpuasa dan shalat malam sebagaimana lazim dilakukan orang-orang alim, maka cukuplah aku bertirakat dengan membiarkan seekor lalat menikmati makanan dan minumanku, memberi kehangatan bagi anak kucing yang kedinginan, mengikhlaskan gabah yang sedang kita jemur dimakan oleh ayam, atau dengan penuh rasa sayang membalikkan tubuh kecoak yang terbalik tak mampu kembali berbalik untuk berjalan.”
Sekali lagi Wa Kaji Roup hanya terdiam sambil kepalanya manggut-manggut. Matanya lurus memandang ke arah pohon asem blimbing, jimat Lek Darkum itu.
Tegal, 8 Ramadhan 1431 H/2010 M
Pada tahun 2014 cerpen ini terpilih menjadi salah satu dari dua belas cerpen pilihan Taman Budaya Jawa Tengah.
Penulis adalah santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Solo, kini bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kemenag Kota Tegal.