Cerpen ABDULLAH ALAWI

Kampret, Antum!

Ahad, 17 November 2013 | 09:00 WIB

Di beranda mesjid itu, Budi dan Yamin duduk sambil memandang taman yang terhalang pagar kawat setinggi orang dewasa. Masjid sudah sepi karena Ashar memang hampir berakhir.
<>
Tak biasanya, di taman, sore itu sepi. Mungkin karena sebelumnya hujan mengguyur kota kecil itu sehingga orang-orang malas keluar. Hanya pohon-pohon cemara dan palem tampak basah, tanah basah, bunga-bunga dan rerumputan basah. Dan jalanan tembok yang membelah taman kelihatan licin. Bangku-bangku tembok kelihatan lengang dan basah.  

Tapi kemudian taman didatangi beberapa anak sekolah yang malas pulang. Tak jelas apa yang mereka lakukan. Mereka duduk-duduk di bangku taman. Di bangku lain, beralaskan koran, duduk seorang pria dengan seorang perempuan. Keduanya duduk berdekatan, bersinggungan tanpa jarak. Mereka masih muda, yang laki kira-kira berumur 25 tahun dan perempuan lebih muda tiga tahun.

Sementara di sebrang taman, sebuah bus melaju tersendat-sendat, kemudian berhenti di depan sebuah halte dimana berjajar para calon penumpang. Kemudian pengemis, pengamen, pedagang asongan berlari berlomba masuk bus, barangkali ada rezeki tersisa yang bisa mereka kais. Kondektur merengut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Angkot ngetem di depan halte, merayu penumpang yang tersisa. Beberapa tukang becak lewat, mengayuh bersimbah keringat. Pengemis melintas terseok-seok meiminta sedekah kepada penghuni halte yang terkantuk-kantuk.

“Coba Antum lihat kedua orang itu!” kata Yamin sambil menunjuk ke satu arah.

“Yang mana?” tanya Budi.

“Tuh… di bangku taman itu.”

Ternyata telunjuk itu mengarah kepada pria dan perempuan yang duduk tanpa jarak itu.

“Oh, iya. Orang yang lagi pacaran itu?”

Yamin mengangguk.

“Antum ingat petuah ustad Abu Yusuf pada halaqah kemarin?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Kata ustad Abu Yusuf, pacaran itu tidak ada dalam Islam. Yang ada itu khitbah dan menikah. Pacaran itu haaa…ram hukumnya,” kata Yamin memberi tekanan pada pada kata haram.

Yamin sudah lama mengikuti halaqah-halaqah yang sering diadakan di masjid itu. Sedangkan Budi baru dua kali. Yaminlah yang mengajaknya. Dan Budi tertarik.

Mendengar kata-kata Yamin, Budi mengangguk-angguk, sambil menunggu kata-kata temannya itu.

“Di halaqah beberapa waktu lalu, ustad Abu Yusuf pernah mengutip hadis Nabi yang artinya kira-kira begini, “Jika kamu melihat kemunkaran, hentikanlah dengan tanganmu. Kalau kamu tak mampu dengan tanganmu, lakukanlah dengan lisanmu. Kalau kamu tak mampu dengan kedua itu, lakukanlah dengan hatimu. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman…”

Budi kembali mengangguk-angguk. Dia mendapat pelajaran baru. Tapi dalam benaknya, berpikir keras kemana arah yang dimaksudkan Yamin dengan apa yang ditunjuknya.

Yamin masih memandang dua orang di taman itu dengan tatapan jengah. Keduanya kelihatan mulai berpegangan tangan. Kepala perempuan itu menyender ke pundak laki-laki. Sesekali mereka kelihatan tertawa lepas. Yamin hanya menggeleng kepala.

“Kalau Antum kira-kira termasuk dalam golongan mana, Bud?”

“Maksud Antum? Ana kurang paham.”

“Pacaran itu kan haram.”

“Ya. Kalau itu, ana paham.”

“Sedangkan Antum mendengar hadis Nabi yang ana bacakan tadi.”

Budi mengangguk-angguk. Tapi kelihatan mukanya masih mengisyaratkan ketidakmengertian.

“Lebih jelasnya begini, pacaran itu tidak ada dalam Islam. Berarti pacaran itu haram. Yang haram itu munkar. Ada hadis Nabi tadi yang kalau kita melihat kemunkaran di hadapan mata kita, kita harus mencegahnya. Pertama, dengan tangan, maksud dengan tangan, ya menghentikan mereka berpacaran. Yang kedua, menghentikan dengan ucapan atau menasihati. Dan yang ketiga, kita inkar dalam hati atau mendoakan supaya mereka mendapat hidayah dari Allah. Tapi itu selemah-lemahnya iman. Antum tergolong orang yang kuat iman atau yang lemah iman?”

Budi mulai mengerti sekarang. Ia tersenyum. Tapi sebentar, karena darahnya menggelegak di dada. Tangannya tia-tiba saja gatal. Dan bibirnya terasa bergerak-gerak hendak berkata.

“Ana orang yang imannya kuat,” kata Budi dengan semangat.

Yamin sumringah. Kepalanya mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang Antum buktikan kata-kata Antum itu! Ana akan mendampingimu.”

Lalu bangkitlah kedua orang itu. Bajunya yang putih berkibar-kibar dihembus angin senja yang lembab. Celananya yang tidak sampai ke mata kaki ikut berkibar. Mereka hendak mencegah kemunkaran di hadapan mereka. Anak jalanan yang pontang-panting mengejar bus yang akan meratapkan suaranya, tukang asongan yang yang berlari, tukang becak bersimbah keringat, pengemis yang tertatih-tatih, kemacetan lalu lintas, dan senja yang berhias pelangi tak jadi perhatian keduanya.

“Mas, Mbak, eh…assalamua’laikum,” kata Budi hampir lupa mengucapkan salam yang sekarang biasa ia ucapkan ketika bertemu dan berpisah dengan siapa pun. mungkin karena dia terlalu fokus untuk membuktikan kadar imannya yang kuat.

“Waalaikumsalam,” kata dua orang itu hampir berbarengan, tapi suara yang perempuan hampir tidak kedengaran. Keduanya kelihatan terperengah karena di hadapan mereka telah berdiri dua orang yang sama sekali tidak dikenal. Tangan mereka yang sedang berpegangan itu terlepas seketika.

“Mas ini muslim kan?”

“Ya.”

“Dan Mbak berjilbab ini muslimah kan?”

“I…iya,” kata perempuan itu tergagap. Dia mungkin heran kerudung yang dipakainya ternyata tidak menjadi bukti bagi kedua orang di hadapannya, bahwa dia muslimah.

“Mas, Mbak,…” kata Budi masih tetap sambil berdiri. Sementara laki-laki dan perempuan itu masih duduk melongo, “pacaran itu tidak ada dalam Islam. Yang ada itu hanyalah khitbah dan menikah. Berarti pacaran itu ha…ram hukumnya. Mas, Mbak tahu kan, sesuatu yang haram itu, kalau dikerjakan mendapat siksa, kalau ditinggalkan mendapatkan pahala. Siksa itu di neraka yang abadi dan pahala di surga yang abadi. Mas dan Mbak ini mau surga atau neraka?” tanya Budi dengan lancar.

Jakun yang menempel di tenggorokan pria itu sekarang kelihatan bergerak-gerak seperti katak yang hendak meloncat. Bibirnya bergetar. Ia seperti  mau berkata, tapi tak sempat karena orang di hadapannya kembali bicara.

“Ya, kalau begini caranya Mas dan Mbak ini hendak menginginkan neraka. Ya, kan?” kata Budi sambil melirik ke Yamin.

Yamin tersenyum tenang sambil mengangguk.

Muka pria di samping perempuan itu sekarang seperti kepiting rebus. Telinganya semerah cabai. Katak di tenggorokannya benar-benar hendak meloncat. Dia berdiri. Perempuan yang masih terduduk itu meraih tangannya, tapi ia menepis tanpa menoleh.

“Kampret, Antum…! Siapa yang pacaran? Ngomong soal neraka dan sorga lagi. Emangnya sorga dan neraka milik Embahmu? Ini isteri gua tahu…! Mau apa lu, Kampret…!”

 

ABDULLAH ALAWI, Sukabumi.