Aku adalah “Sang Dairy” yang rindu kepada waktu yang tak mungkin dapat kembali lagi. Saat di mana kudengar celoteh riang anak-anak berbaju koko dan bersarung kotak-kotak. Pun dengan “nyanyian” dan “tarian” mereka yang selalu kunikmati setiap saat. Suaranya merdu. Syair-syair yang disenandungkan amat dalam maknanya.
<>
Aku sepertinya benar-benar menjadi perekam kehidupan mereka yang setia, yang mampu mencatat semuanya, mulai tawa, senyum, canda, hingga tangis mereka. Hampir-hampir aku tak pernah melewatkannya, meski barang sedetik. Catatan kehidupan mereka pun telah memenuhi lembaran waktuku, meski kini mereka mencampakkanku begitu saja.
Mungkin Mereka sudah “jijik” melihatku. Katanya, aku kotor dan jorok. Sayangnya, aku tak bisa melawan prasangka mereka. Meski sebenarnya itu bukan ulahku. Melainkan mereka yang bersarung kotak-kotak. Tapi orang lain tak mau tahu itu. Yang jelas, aku terlihat “kotor” dan “jorok”. Penilaian mereka atas diriku seolah menutup asa untuk mengembalikan masa lalu. Masa di mana mereka berkumpul dan menimba ilmu denganku.
Tak kusangka, ternyata waktu berlalu begitu cepatnya. Padahal, belum lama mereka melintas di depan ku. Mereka masih nampak polos, lucu, dan menggemaskan. Tapi kemarin, sangat berbeda. Suaranya tak lagi lucu. Mereka tegas dan keras serta cukup berwibawa. Sampai-sampai aku menaruh segan pada mereka. Bahkan ketika kudengar gertakannya, aku pun takut. Ya, Takut kalau-kalau mereka akan menghilangkanku dari muka bumi. Hingga sejarah kecil mereka akan terkubur bersama lenyapku.
Apalagi, akhir-akhir ini mereka tak lagi menyapaku, pun untuk sekadar memandang. Tak seperti dulu. Mungkin mereka sudah punya dunia yang lain. Peradaban yang dianggapnya lebih modern. Tak sepertiku. Tidur beralaskan tikar atau karpet, makan hanya dengan nasi dan garam, juga dengan cahaya yang timbul dari lampu yang disulut sumbunya. Sementara kini, mereka punya kasur yang sangat empuk. Makanan yang sangat lezat yang datangnya dari negeri barat, serta lampu-lampu yang menyala terang, yang mampu menghabiskan beribu-ribu watt. Terlebih, lampu-lampu mereka tak seperti punyaku yang hanya terbuat dari kaleng bekas dan nyalanya tak cukup menerangi satu ruangan. Sedang lampu mereka sangat terang, bahkan tubuhnya pun dipenuhi dengan lekukan yang menambah nilai keindahannya. Secara estetis, aku kalah jauh. Hingga aku kadang merasa iri, apa karena itu mereka meninggalkanku. Ah, mungkin memang mereka tak mau lagi tuk mengukir sejarah denganku.
Mungkin mereka lupa, tatkala mencorat-coret dan “mencabik-cabik” tubuhku. Mereka goreskan bulpen tuk menulisi tubuhku. Bahkan yang tak membawa, mereka jadikan dahan-dahan yang sudah kering dan runcing sebagai gantinya. Sebenarnya aku merasa sangat sakit. Tubuh ini terasa perih. Tapi sayang, mereka tak bisa mendengarkanku. Mereka tak peduli dan terus menggoreskan impian-impiannya ke tubuhku, bak mengukir diatas kayu jati. Aku meronta, tapi mereka tak mendengar. Aku kesakitan, tapi mereka tak merasa. Kejam sekali.
Tapi waktu itu, aku berusaha tidak marah dan membuat rasa sakit menjadi rasa yang biasa, karena aku merasakan lara itu hampir setiap hari. Bahkan sepertinya tak ada satu hari pun yang terlewatkan tuk menggores tubuhku. Tapi aku rela. Jika memang goresan luka di tubuhku bisa memuaskan mereka. Meski tubuhku harus kotor. Penuh dengan goresan-goresan tinta dan luka bekas cabikan dahan-dahan yang runcing. Dan kuingat, setelah goresan dan luka itu membekas jelas ditubuhku, mereka berlari sambil berteriak dengan gembiranya. Ya, mereka puas karena telah “melukai”ku. Menorehkan luka yang masih terlihat jelas di tubuhku.
Namun, aku beruntung, masih ada orang-orang yang peduli untuk menghapuskan luka dan goresan yang menyayat tubuhku. Meski hanya setahun sekali. Yaitu, ketika Ramadhan tiba. Hingga tubuhku pun bersih. Luka dan goresan itu lenyap dari jasadku. Tapi, meski luka dan goresan itu telah lenyap dari pandangan mata, rasa sakit itu tak kunjung hilang jua.
****
Malam ini, bulan purnama menerangi bumi. Cahayanya begitu memukau hingga membias air yang mengalir di sungai. Kodok pun bercakap dengan kawanannya. Mungkin beradu strategi untuk menangkap nyamuk malam ini. Pun dengan cicak yang tak mau kalah, ia ikut mengintai ke mana arah terbang nyamuk. Demi nyamuk yang lezat, cicak pun menggerayangi tubuhku tanpa merasa bersalah. Ia menjamah seluruh bagian tubuhku. Tak terkecuali.
Aku geli. Aku pun tertawa karena gerayangannya. Tapi sayang, si cicak tak mendengar tawaku. Ia terus saja menjamah tubuhku. Hingga rasa geli itu tiba-tiba berubah menjadi sakit. Perih sekali. Ya, ia menginjak bekas luka goresan anak-anak bersarung kotak-kotak. Sakit sekali. Air mataku pun menetes. Tapi ia seolah tak peduli denganku. Ia terus berlarian di tubuhku. Berkejar-kejaran dengan nyamuk yang beterbangan di sekitarku. Aku mencoba menahan sakit. Tapi lama-lama aku tak tahan. Luka yang sudah kering itu pun menjadi basah kembali.
Hingga malam semakin larut, ia belum puas dengan apa yang telah di dapatnya. Ia masih terus berlarian ditubuhku. Aku mengerang-erang kesakitan. Tapi cicak tak peduli hingga perutnya buncit dan nyamuk-nyamuk memenuhi perutnya yang kecil itu. Setelah itu, ia pun meninggalkanku yang sakit begitu saja.
Rasa sakit itu pun mengingatkanku akan kejadian tempo dulu, ketika anak-anak bersarung kotak-kotak itu memburu cicak ditubuhku. Mereka memukuliku dengan dedaunan dan sapu lidi. Aku sudah melarangnya, tapi mereka sepertinya tidak mendengarnya. Bahkan mereka terus memburunya, dan setelah tertangkap mereka menempelkannya ditubuhku. Kemudian, cicak dan aku pun dikencingi. Aku marah sekali. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Banyak yang melarang mereka melakukan itu kepadaku, tapi sepertinya mereka tak menghiraukan peringatan itu. Aku merasa sangat terhina. Tubuhku yang telah mencatatkan sejarah, akhirnya harus dilumuri air seni yang baunya sangat pesing.
Tak hanya malam itu, di malam-malam selanjutnya, mereka juga sering mengencingi tubuhku. Apalagi ketika hujan datang dan mereka merasa kedinginan. Tanpa merasa berdosa atau bersalah, mereka kucurkan air seninya ke tubuhku dengan entengnya. Padahal sudah kusediakan kamar mandi. Tapi mereka tak selalu menggunakannya meski sebenarnya mereka adalah makhluk-makhluk yang cerdas. Jahat sekali mereka. Dzolim.
Semua itu bagiku tak apa, karena aku masih punya kesabaran yang jauh batasnya. Hanya sebuah luka fisik yang bisa kuobati oleh orang-orang yang masih peduli denganku. Tapi yang tak habis pikir, mengapa mereka begitu saja meninggalkanku setelah mereka menelan semua maduku. Apa mungkin makhluk-makhluk secerdas itu termakan isu-isu jelek tentangku? Atau mungkin mereka sudah tak menghendaki ada yang merawatku. Ah, aku tak tahu kenapa. Tapi yang jelas, aku sangat rindu dengan waktu lampau itu. Waktu di mana mereka mengais madu dariku, melalui kitab-kitab klasik karya ulama-ulama tempo dulu.
Kini semuanya telah berganti kepada buku-buku putih yang lebih mudah dinikmati dan tak perlu repot-repot untuk memahami. Bukan seperti punyaku. Buku-bukuku tak berharokat dan butuh waktu yang lama untuk bisa memahaminya. Tapi tak boleh dilupakan bahwa aku telah melahirkan banyak orang hebat di negeri ini. Meski semuanya tak selalu peduli denganku. Hanya ketika ada hajat lima tahunan mereka menyinggahiku. Ya, inilah catatanku. Catatan dari sebuah gedung pesantren yang kini mulai ditinggalkan oleh para manusia modern[]
SLAMET TUHARIE NG adalah Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada konsentrasi Agama dan Sains (Kajian Komunikasi). Penulis juga merupakan Wakil Sekjend Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP. IPNU) Periode 2012-2015. Beberapa karya penulis yang pernah dipublikasikan antara lain; Anggaran yang masih wajar (Kompas, 2010), Selebrasi Tanpa Refleksi (Kompas, 2010), Bukan Ilmu Laduni (Cerpen, NU Online 2012), Wanita Senja (Cerpen, NU Online, 2013), Jadzab Gus Nasr (Cerpen, NU Online 2013), Putra Mahkota Kiai Fatwa (Cerpen, Harian Satelit Post, 2013), dan lain-lain. selain itu, penulis juga merupakan peraih Juara II Musabaqoh Menulis Makalah Ilmiah Al Qur’an tingkat perguruan tinggi se-Jawa Tengah tahun 2011 yang diadakan oleh LPTQ Provinsi Jawa Tengah, dengan judul makalah; “Upaya Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengembangan Kewirausahaan Berbasis Pertanian Aqua Hidroponik.”
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
3
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
4
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
5
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
6
Menag Penuhi Undangan Arab Saudi untuk Bahas Operasional Haji 2025
Terkini
Lihat Semua