Cerpen

Kiai Wasid

Ahad, 16 Maret 2014 | 06:01 WIB

Matanya nanar, seakan ada rembulan menggantung di sana. Usianya sudah lengkap dengan asam garam kehidupan. Warna rambutnya hanya ada dua, hitam dan putih, berpadu seperti yin dan yang, terbungkus serban putih kesayangannya.
<>
Usianya memang senja, tapi jika ia berjalan langkahnya masih gagah tegap meskipun ia tak pernah mengenyam pendidikan militer. Lelaki tua itu duduk bersila sambil menatap sekeliling ruang kosong. Sebuah bangunan gelap yang mungkin usianya jauh lebih renta dari usianya. Secercah cahaya lurus menerobos ruangan itu, tampak asap putih mengepul dari corong mulutnya, sesekali ia hisap kepenatan dalam batinnya. Tampak ada rasa kekhawatiran di matanya, kekhawatiran tentang sebuah musim di mana hanya sedikit orang-orang yang mau mengerti tentang arti kehidupan, tentang Tuhan, tentang keyakinan, perjuangan, hak kemanusiaan di ruang-ruang saksi sejarah yang bisu yang semakin tersudut di pinggir desa-desa yang dijajah lahir dan batinnya.

Sudah satu minggu lamanya Kiai Wasid mendekam dalam jeruji besi sejak ia ditangkap oleh pemerintah Belanda. Kiai Wasid dianggap bersalah karena telah berbuat onar menebang pohon Kepuh besar yang akhir-akhir ini disembah oleh warga penduduk desa Lebak Kepala Banten.

Suatu malam Kiai Wasid beserta murid-muridnya sengaja mendatangi Kepuh dan menebangnya. Kiai Wasid memang sudah lama gerah melihat tingkah laku para rakyat yang mengganggap pohon besar itu sebagai keramat. Sudah sering Kiai Wasid memberi peringatan bahwa apa yang dilakukan oleh penduduk desa ini adalah perbuatan musyrik. Namun tidak digubris. Para penduduk desa menganggap Kepuh dapat menghilangkan bencana dan mengabulkan apa yang mereka pinta asal saja memberikan sasajen kepada pohon.

“Percaya kepada selain Allah Subhanahu wata’ala adalah syirik! Musyrik! Laknatullah!” teriak Kiai Wasid.

Berkali-kali Kiai Wasid memperingatkan penduduk, tapi imbauannya tidak diindahkan sama sekali. Kiai Wasid yang tidak dapat membiarkan kebodohan di depan matanya. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari.

Kiai Wasid memang sangat tegas dalam urusan akidah. Hal ini juga ia ajarkan kepada murid-muridnya di pesantrennya di kampung Beji Cilegon. Dulu waktu Kiai Wasid berguru kepada Syekh Nawawi Al Bantani, Kiai Wasid sering bertanya tentang hakikat tauhid gusti Allah.

“Kanjeng Kiai, sedekat apakah Gusti Allah dengan kita?” Tanya Kiai Wasid kepada Syekh Nawawi.

“Dekat atau tidaknya Gusti Allah itu kita sendiri yang menentukan. Gusti Allah bisa dekat, bisa juga jauh. Ibarat cahaya lilin.” Jawab Kiai Nawawi. Kiai Wasid tertegun.

“Lalu, Siapakah Gusti Allah? Siapakah kita, Kiai?” Kiai Wasid kembali bertanya.

“Gusti Allah adalah cahaya, dan kita semua adalah bayangannya.” Jawab Syekh Nawawi.

Bagi Kiai Wasid, itu adalah jawaban yang sangat berarti dalam hidupnya. Kiai Wasid memang sangat takzim kepada Syekh Nawawi. Sepanjang hidupnya Syekh Nawawi tak henti-hentinya mengajarkan tiga pokok ajaran dalam Islam. Yaitu Ketauhidan, Fikih, dan juga Tasawuf. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ajatan ketauhidan akan keesaan Allah subhanhu wata’ala yang diajarkan Syekh NAwawi membawa Kiai Wasid dan juga teman seperjuangannya seperti Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail melanjutkan syiarkan agama Allah ke seluruh wilayah Banten. Bagi Kiai Wasid, perbuatan yang menyekutukan Allah adalah dosa yang sangat besar. Itulah sebabnya Kiai Wasid sangat benci sekali dengan orang yang lebih percaya pada benda mati seperti Kepuh dibandingkan kepada Allah.

“Allahu Akbar.. Allahu Akbar..” Teriak Kiai Wasid dan para muridnya. Kepuh tumbang. Warga desa lari tunggang-langgang. Beberapa dari mereka melapor kepada tentara Belanda. Tidak lama kemudian Kiai Wasid ditangkap pemerintah Belanda.

Kiai Wasid ditangkap dan dijebloskan ke penjara lantaran ada laporan warga tentang perbuatannya menebang pohon keramat Kepuh. Saat di dalam penjara sebelum Kiai Wasid diadili, seorang asisten Residen bernama Goebels mendatangi tempat Kiai Wasid ditahan.

“Tuan, harus bertanggung jawab penuh atas keonaran yang tuan perbuat.” Ucap sang asisten dari balik jeruji besi.

“Menara langgar bale tuan juga kami dirubuhkan! Itu peraturan yang sudah kami edarkan.” Kiai Wasid terkaget. Kiai Wasid semakin geram.

“Tuan Wasid! Sesuai dengan aturan hukum pemerintah, nanti tuan akan didakwa bersalah karena telah mengganggu ketertiban warga desa!” lanjut Goebels.

“Atas dasar apa bapak sekalian menuntut saya yang hendak menghancurkan kebodohan? Kemusyrikan?” Jawab Kiai Wasid. Goebels cukup kaget mendengar perkataan Kiai Wasid.

“Apakah kiranya saya yang begitu mencintai saudara sedarah saya berdiam diri saat mereka terjebak dalam kebodohan menyembah sebatang pohon yang tak berdaya?” lanjut Kiai Wasid.

“Itu adalah hak manusia, tuan.” Ucap Goebels.

“Menyelematkan saudara kami seiman adalah hak juga! Apakah itu salah tuan?” kata Kiai Wasid.

“Tuan, kamu orang salah karna melanggar ketenangan orang?” Goebels balik membalas.
“Siapa yang merasa tidak tenang tuan? Hah? Tolong tuan panggil! Siapa?”

“Kalau menebang pohon demi menyelamatkan saudara kami dari kemusyrikan itu dianggap salah, apakah merubuhkan rumah ibadah kami bukan kesalahan?” Tanya Kiai Wasid.

“Menara kamu punya rumah ibadah itu mengganggu ketenangan masyarakat! karena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Tuhan tidak tuli, tuan!” kata Goebels.

“Membiarkan saudara kami menyembah pohon itu lebih mengganggu ketenangan kami tuan, ketenangan hati. Ketenangan iman kami!” teriak Kiai Wasid.

“Tuan Wasid, apakah tuan sadar apa yang tuan perbuat ini adalah keonaran? Pemberontakan kepada pemerintah? Goebels bergerak mendekati Kiai Wasid. Kiai Wasid tersenyum kecut.

“Tuan, apakah yang tuan maksud dengan pemerintahan?”

“Apakah yang tuan maksud pemerintahan itu yang membiarkan kelaparan dan wabah penyakit menimpa kami? Apakah saat hujan tidak turun selama dua tahun lamanya pemerintah ini peduli pada penduduk?” lanjut Kiai Wasid. Dua sipir yang beringasan berangsur ke sisi Goebels. Tapi Goebels memberi isyarat untuk meninggalkan mereka berdua. Dua sipir secepatnya keluar.

 “Tuan, desa-desa kami kering kerontang. Tidak ada tanaman yang tumbuh. Air sulit didapat. Apakah tuan tahu? Lalu Apa yang bisa kami tanam? Sedangkan pemerintah tuan terus menarik upeti kepada kami?”

“Upeti yang kami kumpulkan, itu semua untuk kesejahteraan rakyat! Tuan ini harusnya tahu?” balas Goebels.

“Kesejahteraan yang mana? Apakah hidup kelaparan dan penuh sengsara adalah kesejahteraan?” sambar Kiai Wasid.

“Tanah kami kering. Seperti iman kami.” Tiba-tiba hening. Seperti ada bongkahan angkuh yang luluh di hati Goebels.

“Lanjutkan, Tuan Wasid,” ucap Goebels.

“Di pasar-pasar hampir setiap hari kami menemukan bayi yang mati ditinggalkan ibunya. Apakah pemerintah tuan tahu? Tuan, apakah tuan tahu puluhan ribu dari kami mati karena penyakit sampar yang berkepanjangan?

“Desa kami seakan mati ditinggalkan penghuninya. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya dan banyak anak-anak kami mati kelaparan, apakah pemerintah tuan tahu?

“Lalu apakah salah kalau kami meratap, berdoa dan berzikir kepada Gusti kami saat kami tak boleh merapat kepada pemerintahan ini?”

“Tuan, apakah tuan masih ingat kesediahan kami karena sang Krakatau meletus? Ribuan jiwa saudara kami mati. Apakah yang dilakukan pemerintahan tuan? Tidak ada bukan?”

“Pemerintah tuan bukan menolong kami, tapi malah pajak kepada kami diperbesar? Kami harus kerja Pancen dan kerja Rodi di luar kewajaran! Maka, tuan, itulah sebabnya banyak saudara kami menjadi putus asa dan kembali percaya kepada dukun dan benda benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah, Gusti kami.”

“Cukup, Tuan!” potong Goebels.

“Sepertinya penjelasan tuan ini sudahlah cukup. Terima kasih, tuan.” Lanjut Goebels.

“Sipir!” teriak Goebels. Lalu ia berlalu saat kedua sipir datang.

“Renungkanlah tuan! Pakai hati tuan!” Teriak Kiai Wasid. Goebels berlalu. Seperti ada sebongkah rasa dari balik matanya. Mungkin ia merasa ada sesuatu yang menohok hatinya. Namun entahlah. Hati orang siapa yang tahu?”

Hari ini tanggal 18 November 1887, Kiai Wasid dijadwalkan akan diadili. Gerak riuh penduduk desa berdatangan. Mereka berdesakan demi melihat sang Kiai yang sedang diadili. Tampak pula beberapa tentara Belanda berjaga. Teriakan “Allahu Akbar” menggema dari barisan belakang sekelompok orang. Kiai Wasid dibawa masuk oleh dua orang tentara bersenjata. Langkahnya tagap seakan apa pun diterjang. Riuh suara penduduk desa semakin bergemuruh.

Atas kesalahannya, Kiai Wasid akhirnya didenda 750 Gulden. Tuntutan jaksa yang sebelumnya ingin memvonis berat Kiai Wasid menjadi ringan karena mendapat pesan dari asisten Residen. Ia merasa apa yang dijelaskan Kiai Wasid tentang keadaan rakyat Banten cukup membuatnya tersadarkan. Kiai Wasid dibebaskan, namun Belanda terus mengawasi gerak-geriknya. Sejak peradilan Kiai Wasid, Belanda semakin mencekik para penduduk desa. Belanda mengeluarkan surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim, dan azan jangan dilakukan dengan suara keras. Entah apa maksud surat larangan ini, yang jelas Belanda ingin mempersempit ruang gerak umat Isam untuk melakukan aktivitas-aktivitas perkumpulan.

Sejak peristiwa dilepaskannya Kiai Wasid, keadaan justru semakin mencekam. Penduduk desa semakin terombang-ambing atas kebijakan pemerintahan Belanda yang terus menaikkan pajak. Keadaan ini membuat Kiai Wasid bersama-sama dengan para ulama pemangku agama di daerah Banten seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Marzuki, kembali menjalankan misi syiar Islam dan perjuangan melawan penjajah di langgar-langgar, pesantren-pesantrean. Kiai Wasid dan para ulama lainnya terus menanamkan semangat jihad menentang penjajah.

Semangat perjuangan penduduk Banten kembali berkobar, sejak 4 Februari sampai 13 Maret 1888, para ulama dan penduduk desa mengadakan beberapa pertemuan yang intinya merencanakan strategi untuk melawan pemerintahan Belanda. Setelah melakukan beberapa pertemuan maka para ulama dan penduduk desa memutuskan untuk melakukan penyerangan. Hari sebelumnya para penduduk desa mengadakan arak-arakan sambil meneriakan takbir dan kasidahan arak-arakan dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid murid mereka memakai pakaian serba putih dengan ikat kepala dan kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak.

Rombongan para kiai dan warga Banten pada malam hari bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Kiai Wasid dan Haji Tubagus Ismail tempat ini kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan oleh Kiai Wasid dan pengikutnya. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan “Geger Cilegon”. Peristiwa perjuangan tumpah darah rakyat Banten dalam mengusir penjajahan Belanda. Peristiwa yang membuat penjajah Belanda kocar-kacir ketakutan. Dan peristiwa yang membawa ruh Kiai Wasid yang gugur syahid di medan perang menuju ribaan Allah Azza Wa Jalla.

Ciracas 31 Des 2012

Hijrah Ahmad, editor, Alumni Buntet Pesantren Cirebon.