Oleh Abdullah Alawi
Sisa-sisa langit jingga magrib masih menghias langit barat. Di ufuk timur, bulan mulai muncul. Berkemas untuk purnama, setelah menyerap sinar matahari sebanyak-banyaknya tadi siang. Dia telah siap merangkak menjelajah malam bersama arak-arakan awan. Cahayanya masih belia membikin malam jadi temaram. Namun cukup memastikan bahwa dia benar-benar akan datang. Bintang-bintang hanya terlihat lamat-lamat. Cahayanya disambut suara jangkrik, katak, caricangkas dan binatang malam lain yang berpadu dengan hembus angin menyapa dedaunan nangka, lamtoro, mangga dan hanjuang yang sedang bersedakap.
Begitulah awal ini malam di kampungku. Tenang dan sederhana. Tapi menjelang isya, lamat-lamat terdengar pengumuman lewat pengeras suara dari masjid al-Mubarokah. Suara pak DKM yang sudah akrab di telinga ahli masjid. Dia memanggil ahli masjid, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau orang tua yang tidak berhalangan segera berkumpul di masjid. Ahli masjid sudah tak heran lagi karena tadi siang juga sudah diumumkan. Ini malam Nsfu Sya’ban. Separo bulan Rewah.
Jamaah laki-laki yang tidak pulang sehabis magrib, menunggu bersama anak-anak yang libur ngaji. Mereka duduk di sisi kanan-kiri masjid. Menyender ke dinding. Sementara ajengan duduk di muka mihab bersama DKM. Dia menghadapi rekal tempat menyangga al-Quran. Hanya beberapa orang pemuda hadir. Mereka kelelahan. Sore tadi, mereka berhasil menekuk kampung tetangga pada kompetisi sepak bola tingkat desa dengan kemenangan tipis 2-1.
Tak lama kemudian ibu-ibu dengan mengenakan mukena datang. Mereka seolah rombongan besan yang ditunggu harap-harap cemas dalam acara perkawinan. Mereka menggelar sajadah masing-masing, berjajar tiga baris di bagian belakang masjid. Masjid yang berukuran 15 m x 25 m sudah dipenuhi sekira delapan puluh orang.Kami duduk dalam satu ruangan tanpa hijab.
Hampir setiap jamaah yang baru datang membawa benda-benda yang berisi air. Mulai dari keler, bekas cangkang minuman air mineral dengan berbagai merk, cangkang air minum (yang konon mengandung isotenik-isotenik) berbagai merek, muk, gelas, ceret dan teko. Selain itu, ada pula baskom, rantang, tenong yang biasanya berisi makanan. Semua dalam keadaan tebuka. Dan, dikumpulkan di tengah-tengah masjid, di antara dua tiang.
“Hadirin, kaum muslimin-muslimat,” begitu suara ajengan memulai, “malam ini tanggal 15 bulan Sya’ban. Biasa disebut nisfu Sya’ban. Artinya setengah bulan Rewah. Menurut, sebagian ketengan, malam ini adalah “tutup buku” amal kita selama setahun. Sebagaimana biasanya, kita mengadakan shalat nisfu sya’ban, membaca suraah Yaa sin tiga kali. Memang, ada sebagian orang yang menganggap kegiatan ini terlarang, tak berguna, bahkan haram karena qaul yang menganjurkan nisfu sya’ban itu dhaif dan lemah. Tapi tak apa-apa. Masing-masing punya pendapat. Kegiatan ini laiknya sepatu, kalau mau dipakai, silakan dipakai. Kalau pun tidak mau, juga tak ap-apa. Permasalahannya, hal ini sudah mejadi tradisi yang turun-temurun dari ajengan-ajengan yang shalih sebelum kita. Lagi pula mengubah kebiasaan akan menimbulkan kebencian sesama. Baiklah kita shalat nisfu sya’ban terlebih dahulu, kemudian membaca Yasin berjamaah,” itulah keterangan ajengan yang selalu diputar tiap setahun sekali.
Sehabis shalat nisfu syaban, semuanya kembali pada posisi semula. Pembacaan surat Yaasin tiga kali pun dimulai. Di antara pembacaan itu diselipi satu permohonan yang diucapkan bersama-sama dengan komando ajengan. Permohonan pertama, memohon supaya Gusti Allah memberi umur panjang, supaya banyak ibadah. Kedua, memohon rezeki yang banyak dan berkah, untuk bekal beribadah. Ketiga, kalau meninggal supaya husnul khatimah, membawa iman dn islam.
Selepas permohonan dan pembacaan itu, kami langsung mendirikan isya. Sehabis shalat isya, masing-masing mengambil air yang telah dihinggapi doa dan surat yasin. Wadah-wadah yang berisi makanan pun dibuka. Rangginang dan renggining adalah makanan yang tak pernah absen dalam setiap acara. Dia seolah pribumi dari segala kue. Selain itu, ada pula yang membawa papais, buras, dan nasi uduk yang dibungkus dengan lauk ikan mujair dan telur goreng yang diiris.
Kami pun makan bersama-sama, diselipi obrolan yang akrab dan intens. Tentang apa saja. Mulai dari kemenangan sepak bola hinga calon presiden dan kabar hoaks. Bahkan ada yang sambil merokok. Masjid benar-benar tempat hablum minallah wahablum minan naas.
Bulan, ratu di seantero malam itu, begitu angkuh dengan sinarnya yang purnama menerangi kami pulang dengan perasaan dan kesan masing-masing.