Cerpen M LATIF HENDRANINGRAT

Mbah Jogo

Ahad, 16 Februari 2014 | 09:00 WIB

Sejak aku injakkan kaki untuk yang pertama kalinya di pesantren ini, sosok Mbah Jogo masih menjadi misteri bagiku. Namun aku tak tahu apanya yang membuatku penasaran? Mbah Jogo yang merupakan salah satu sesepuh di pesantrenku memang lain dari kyai kebanyakan, paling tidak menurutku.
<>
Sekilas tidak ada yang luar biasa darinya, keseharian beliau ngaji wetonan , mengimami shalat Subuh dan menerima tamu. Bukankah itu hal yang biasa dilakukan para kyai? Mungkin kapasitas beliau selaku pengasuh  Jam’iyah Mujahadah yang setiap malam Jum’at Pon dimana ribuan orang membanjiri halaman pondok untuk ngalap berkah ,hingga beliau menjadi sosok yang kukagumi lalu menjelma menjadi misteri yang menggelanyuti? Bukan, bukan itu. Bukankah beliau  masih keturunan Kanjeng Nabi, jadi wajarkan jika beliau begitu mendapat kemuliaan di tengah masyarakat? Lalu apanya yang menjadikanya lain dari yang lain? Ah sekali lagi pertanyaan yang sampai saat ini belum mampu kupecahkan.

“Kang aku punya cerita baru tentang Mbah Jogo loh!” kata kang Solikin yang seorang abdi ndalem Mbah Jogosuatu ketika di warung kopi. Aku pun yang juga ngopi di warungnya kang Mardi itu langsung ikut nimbrungbersama mereka. Selalu begitu, saat kudengar nama Mbah Jogo jantungku seperti berdegup kecang dan persendianku seakan akan terlepas saja.

“Apa kang?” tanya kang Somad sambil mendekatkan kursi plastiknya ke arah kami, tak lupa kopi hitamnya ia bawa.

Sejenak kang Solikin menghisap rokok kreteknya, seakan sengaja membuat kami tambah penasaran. “Kalian ingat rombongan tamu yang kemarin sore sowan ke ndalem  Mbah Jogo?” tanya kang Solikin. Aku hanya menganggukkan kepala, begitu juga dengan yang lain. “Mereka itu tamu dari Purwodadi yang sengaja datang untuk menghaturkan termakasih kepada Mbah Jogo, mereka juga mengatakan jika tidak karena pertolongan Mbah Jogo, mungkin mereka sudah mati karena ulah para perampok yang mencegatnya di persimpangan jalanRabu sore kemarin.”

“Sebentar sebentar..” protes kang Rohim yang sedari tadi cuma diam, “Bukankah Rabu sore kemarin Mbah Jogo ngaji Hikam bersama kita?” imbuhnya lagi yang juga diamini oleh teman-teman yang hadir di ‘majlis’ itu, termasuk aku. Aku ingat betul, Rabu sore kemarin Mbah Jogo ngaji kitab karangan Sayyid Imam Al-Ghazali Al-Hikam. Bahkan keterangan yang beliau sampaikan masih terngiang di benak dan hatiku. Kala itu Mbah Jogo menerangakan tentang pentingnya sikap tawadhuk.

“Namanya juga waliyullah kang” kata kang Solikin. “Kita pernah dengarkan karamahnya Kyai Khalil Bangkalan, yang waktu itu beliau menolong orang tenggelam di laut? Padahal beliau ada di pondok.” imbuhnya lagi sambil menerawang ke atas.

“Apa itu yang namanya “ajian lipat bumi”ya kang? Tanya kang Somad dengan mata yang berbinar. Selalu begitu dia, santri asal Sumatra ini selalu antusias dan update dengan kisah karamah para wali.

“Setahuku, ajian lipat bumi itu ajian dimana si empunya bisa berpindah tempat dalam waktu sekejap, namun aku tahu sendiri bahwa Mbah Jogo tidak kemana-mana. Lha wong setelah ngaji beliau memberi makan perkutut kesayanganya itu kok.” tandas kang Solikin lagi-lagi.

“Hmm begitu ya kang, lalu apa?” tanya kang Somad yang semakin penasaran. Diminumnya kopi yang sedari tadi dibiarkanya mendingin.

“Bisa jadi ilmu sigar raga atau mungkin rogoh sukmo.” seloroh kang Rohim tiba-tiba dengan gayanya yang khas itu.

Sore itu warung kang Mardi terlihat ramai , mungkin ini karena hari Jum’at  dimana aku dan ribuan santri lainya menikmati libur sejenak. Tawa-tawa kecil para santri menambah ramainya warung ini. Dari obrolan tentang pelajaran, team sepakbola, grup band,rasan-rasan , sampai gejolak politik di negeri ini pun tak luput dari pembahasan mereka.Namun diantara mereka,‘majlis’ kami lah yang paling semarak, tentu saja karena tema kami yang ‘lain dari pada yang lain’.

 Aku yang sedari tadi diam memperhatikan mereka mulai sedikit jenuh, bukan karena sang objek yang tak menarik. Namun lagi-lagi pembahasan mereka tentang karamah, bukan karena aku  tak respect  dengan keistimewaan karamah. Namun apa yang istimewa untuk sekaliber Mbah Jogo? Menurutku bukan karamahnya yang menjadi mesteri bagiku. Lalu apa?

*******

Malam ini ketika sebagian besar santri sudah berkelana di alam mimpinya, aku masih belum bisa memejamkan mata, bahkan untuk mengantuk pun aku masih enggan. Udara malam ini benar-benar dingin seakan menghipnotis makhluk bumi untuk bersembunyi di ‘liangnya’. Kulirik kang Solikin yang sudah mendengkur bak suara musik instrumental. “Tumben, biasanya jam segini dia masih nderes ?” Batinku sambil menggeser tubuhku guna menjauhinya, karena siapapun tahu kalau ‘atraksi’ tidurnya membahayakan. “Besuk siang aku harus nderekne Mbah Jogo menanam ketela, jadi aku harus tidur cukup supaya besuk siap tempur.” Katanya tadi padaku sesaat sebelum memejamkan mata.

Lalu...

Aku teringat keseharian Mbah Jogo. Ya, kehidupan beliaulah yang membuatnya berbeda dari kebanyakan kyai.  Kapasitas beliau sebagai kyai namun masih saja beliau bertani, petanai yang notabene pekerjaan yang hanya ‘boleh’ disandang orang rendahan. Pernah aku melihat dengan mataku sendiri saatbeliau mengusap keringat  wajahnya yang lelah terkena terik matahari siang di hamparan sawahnya.Aku juga pernah lihat  saat tubuh tuanya memainkan cangkul guna menanam polowijo di kebunya, yang bahkan beliau nimbali aku kemudian mengajariku cara mencangkul yang benar. Yang lebih miris lagi, beliau memikul sendiri hasil panenya untuk di jual ke pasar.Terlintas tanda tanya besar yang menghantuiku tentang Mbah Jogo. Untuk apa Mbah Jogo melakukan semua itu? Bukankah beliau wali min auliyaillah,dimana Dia menjamin rizki dari arah yang yang tak disangka-sangka? Selaku kyai bukankah beliau sering mendapati sedekahan olehtamu yang sowan kepadanya? Bukankah selaku ahlul baitbeliau sudah di doakan jutaan umat setiap harinya? Bukankah

beliau juga punya banyak kenalan orang kaya yang pernah ditolongnya, bisa sajakan beliau mintai sedikit kekayaanya? Padahal beliau memiliki karamah, bukankah dengan karamah itu beliau bisa mendatangkan uang, dengan “kantong semar” misalnya?” Lalu untuk apa? Atau jangan-jangan beliau memang tamak terhadap dunia sehingga masih saja memburunya? Ah bukan juga, buktinya tidak ada atribut mewah yang menghiasinya.

*****

“Assalamualaikum mbah..” ucapku yang kini sudah di depan pintu ndalem Mbah Jogo. Ya, pertanyaan-pertanyaan tadi malam membuatku tak bisa tidur. Yang kemudian menghantarkanku nekat sowan pada Mbah Jogo.

“Waalaikum salam, monggo-monggo pinarak!”  terdengar suara dari dalam. Suara yang tak asing bagiku, suara berwibawa yang menggetarkan jiwa. Lalu akupun masuk dan duduk nglesot  di bawah kursi. Mbah Jogo pun menemuiku dan menyalamiku, sempat kulirik Mbah Jogo yang kala itu mengenakan baju putih polos, sarung batik dan peci hitam, sederhana namun kelihatan bersahaja. Aku yang kemudian hanya bisa menundukkan kepala seolah ada seekor burung hinggap di kepalaku. Selalu begitu, setiap kali aku sowan kyai perasaan kikuk, grogi, malu, takut dan bingung jadi satu.

”Ada apa nak, kok tumben sore-sore begini mampir ke gubukku?” kata Mbah Jogo sambil menyunggingkan senyum yang menentramkan siapa saja yang melihatnya.

“Eh anu..” jawabku gugup. “Pertama kedatangan saya kesini untuk silaturrahmi yang semoga dicatat oleh-Nya sebagai ibadah, kedua..” aku pun mulai bingung merangkai kata. Kulirik Mbah Jogo yang mengerutkan dahinya membuatku merasa berdosa. “Emm, yang kedua saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang Mbah Jogo.” Lanjutku sambil masih menundukkan kepala.

“Oalah, mau tanya apa nak? Tidak usah malu-malu gitu toh, biasa saja!” kata Mbah Jogo sambil menyulut rokoknya.

Kemudian aku menanyakan hal yang tadi malam membuatku sulit tidur. Ya, tentang kehidupan beliau itu. Kehidupan yang tak lazim dilakukan para kyai, kehidupan yang menurutku tak pantas dilakukan orang sekaliber Mbah Jogo. Sekali lagi kulirik Mbah Jogo yang hanya diam, sesekali menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskanya ke angkasa. Tiba-tiba suasana menjadi hening, aku semakin takut saja. “Mungkinkah pertanyaanku terlalu lancang?” “Mungkinkah aku kurang sopan, hingga berani menanyakan privasi beliau?” batinku.

“Begini nak..” kata Mbah Jogo dengan nada bijaksana, aku menjadi sedikit lega karena ternyata pertanyaanku tidak membuat beliau tersinggung. “Jika aku tak melalukan semua itu, maka dari mana aku mengerti arti dari sebuah perjuangan?” lanjut Mbah Jogo. “Sampean ingat Rasulullah, mengapa beliau mau menggembala kambing, bukankah Halimah sudah mendapat upah dari ibunda Rasul, sehingga sah-sah saja Rasul menghabiskan waktu kecilnya dengan bermain.” “Sampean ingat peristiwa hijrah Rasul, dimana beliau harus melewati padang sahara di tengah terik sang surya yang sangat panas, juga harus mengatur siasat agar tak diketahui kaum kafir Quraisy. Bukankah selaku hamba yang sangat dicintai-Nya beliau bisa saja meminta kepada Tuhanya untuk menerbangkan dengan buraq seperti kala beliau Isra’ Mi’raj?” “Sampean ingat peristiwa perang Badar, dimana Rasul dan para sahabat berjuang mempertaruhkan nyawa melawan bengisnya kaum kafir Quraisy. Padahal kapasitas beliau selaku Rasul-Nya, bukan hal yang sulit bagi Rasul untuk menggerakkan jutaan Mmlaikat atas izin Tuhanya agar meluluhlantahkan pasukan musuh, dan sementara Rasul bersantai ria di tenda menunggu kabar kemenangan.” “Tidak nak, tidak! Rasulullah sosok yang dijamin masuk surga, dosa tidak punya dan do’anya mustajabah, namun untuk mendapatkan kemuliaan beliau ongkosi dengan perjuangan dan penderitaan.”

Tak terasa air mataku tumpah mengaliri pipi, penjelasan beliau sungguh luar biasa. Aku pun mulai mengerti tentang arti perjuangan. Kenikmatan akan kita rasakan setelah kita lalui dengan perjuangan.


MUHAMMAD LATIF HENDRANINGRAT, dilahirkan di sebuah kota kecil di Jatim, kota 100 goa Pacitan pada tanggal 5 juni 1991, menyelesaikan pendidikan dari Tk hingga perguruan tinggi dikota pacitan. Nyantri di pesantren Tremas asuhan KH. Fuad Habib Dimyathi, kini mengajar di Pesantren Nahdlatussbban Arjowinagun Pacitan.

Ilustrasi: http://www.flphadhramaut.com/2013/05/untuk-cinta-dan-balas-budi.html