Agar selanjutnya aku bisa menceritakan ini kepadamu, aku ingin mengajakmu untuk pura-pura hidup pada tahun 2200. Bahwa cerita ini tidak pernah terekam dalam bentuk tulisan, ia hanya merambat dari ingatan ke ingatan, menjalar dari generasi ke generasi. Keluar dari mulut ke mulut lain, masuk dari telinga ke telinga lain.
<>
Singkatnya, cerita ini akan hilang dari ingatan beberapa detik seusai diceritakan ke orang lain. Konon, dulu pernah ada seorang penulis yang ingin mengabadikannya melalui tulisan, tapi sehari selepas berniat ingin menulis, dia mati tanpa diketahui penyebabnya. Sejak saat itu, tak ada penulis manapun yang berani menuliskan cerita ini. Sehingga mereka menetapkan cerita ini ke dalam cerita mistis karena kematian misterius itu.
Aku sebenarnya menyayangkan kalau cerita ini hanya terekam dalam ingatan, sebab bagaimanapun juga, selalu ada manusia yang mencoba untuk tidak jujur, akan ada yang senantiasa diamdiam menyelipkan kata dusta hanya untuk memperindah cerita, atau bisa jadi diubah alurnya demi kesenangan pribadi, lalu ditambah-kurangi sesuai dengan standar kelayakan menurut versinya masing-masing. Otomatis, cerita ini akan diterima tidak secara utuh, dengan begitu, integritasnya perlahan akan mengalami kelunturan sejalan dengan perubahan masa. Apalagi, cerita ini sudah melalui ingatan banyak orang, dan itu akan menjadikan cerita ini semakin bercabang, dengan pengertian lain akan menjadikan cerita ini kian tidak terjaga dari ke-autentikannya
Maka demi keseimbangan alam, aku memberanikan diri untuk menulisnya tanpa peduli resiko yang akan kuterima, tidak peduli kalau pada akhirnya aku mati lantaran sudah lancang menulis cerita ini, melihat fakta yang sudah tidak beres bahwa cerita ini semakin hari tambah tidak menemu ruh. Sudah hampir setahun ini aku mengumpulkan keberanian untuk menulisnya, sambil selalu bersikap acuh terhadap nasehat dari penulis lain yang sudah sepakat untuk tidak berani menulisnya hanya karena takut kalau-kalau ditengah proses menulis cerita ini akan menemu ajal seperti penulis terdahulu.
Aku berpikir sederhana saja, bahwa aku menulisnya atas dasar kegelisahan akademik, dan ingin memelihara cerita ini dalam bentuk aslinya, semata agar tidak disalah gunakan sebagai cerita mitos yang hanya pantas dijadikan dongeng untuk me-nina-bobokkan seorang bayi. Sebab aku melihat di dalam cerita ini ada potensi yang memadai untuk dikisahkan kepada orang yang hidup seribu tahun sepeninggalanku kelak. Maka demi mencapai cita-cita itu, aku rela mempertaruhkan nyawaku.
Karena cerita ini sudah cukup lama dan dikonsumsi oleh banyak orang, nama tokoh di dalam cerita itu pun mempunyai banyak versi, dari sekian data yang kuhimpun setelah melalui riset selama sekitar lima tahun itu, nama yang paling mendekati kebenaran adalah Osaima. Versi lain mengatakan kalau namanya adalah Usman, ada lagi yang meyakini namanya Arrumy. Tapi aku memilih Osaima sebagai nama di dalam tokoh cerita ini demi kemaslahatan bersama, sebab nama itulah yang mendapat pengakuan dari ahli sejarah. Dulu ada semacam muktamar untuk membahas khusus soal cerita ini, dan nama Osaima itulah yang disepakati sebagai tokoh, kemudian setelah diadakan sayembara dalam rangka menulis cerita ini, tidak ada yang berani, mereka seakan mengalami sock berat, malah kini, untuk mendengarkan ceritanya saja, sebagian dari mereka musti mempertimbangkan lebih dulu.
Salah satu yang diyakini sebagai wong Sepuh yang ikut hadir dalam muktamar tersebut menyarankan kalau benar-benar ingin menulis cerita ini harus menjalani tirakat, sebab menurutnya, energi yang terkandung di dalam cerita ini punya kekuatan maha sunyi yang sewaktu-waktu bisa membuat penulisnya menjadi, kalau tidak mati ya gila, masih bisa ditolerir kalau hanya hilang ingatan. Begitu tutur wong sepuh itu.
Maka demi menolak sesuatu yang tidak diinginkan, aku rela menjalani laku tirakat berupa poso mutih (buka hanya makan nasi putih) selama 21 hari, dan membaca mantra yang sudah disusun oleh wong sepuh tersebut, juga melek wengi (berjaga di malam hari) selama tiga hari berturut-turut tanpa tidur sampai pada hari terakhir menjelang 21 hari berakhirnya tirakat. Sebenarnya tanpa tirakat aku sudah bertekad untuk menulisnya, tapi patuh kepada wong sepuh dengan cara menjalani ritual itu adalah alasan paling moderat untuk menghormati kepada yang lebih tua.
Sekali lagi kutegaskan bahwa niatku hanya ingin meluruskan cerita yang sudah terlanjur bercabang, mengembalikan keutuhan cerita ke dalam bentuk aslinya. Meski kalau pada akhirnya aku mati, itu memang sudah waktunya untuk mati, kalau pun tidak, toh kelak aku akan mati dengan cara yang berbeda.
Selanjutnya, aku agak kesulitan mencari sumber untuk mencari informasi dari cerita ini, selain arsipnya cuma berupa ingatan-ingatan dan tidak dalam bentuk tulisan, orang yang kuwawancarai terkait cerita ini ingatannya sudah rapuh. Saat kuadakan pelacakan, aku hanya menemu tiga orang yang kinerja ingatannya terkait cerita ini cukup memadai, dengan demikian aku punya kiat untuk mengadakan investigasi spiritual melalui laku tirakat demi melengkapi data, sesuai petuah Wong Sepuh itu.
Jangan lupa ketika membaca ini kau masih harus pura-pura kalau kau hidup pada tahun 2200, semata agar cerita ini sampai kepadamu.
Ceritanya begini:
Perjumpaan pertamaku dengannya adalah ketika gerimis siang itu. Saat gerimis pelahan beranjak jadi hujan, deras sekali, mendung saling bergesekan, langit gelap berkalikali mengirim petir ke bagian entah mana. Dari jendela warung yang setengah terbuka, kusaksikan seorang perempuan menyebrang jalan menuju arah warung dengan setengah lari, melintasi air yang menggenang setinggi mata kaki. Aku dan perempuan itu, bernaung di dalam warung yang sebetulnya tutup.
Sekitar lima menit kemudian, aku baru melihat baju yang dia kenakan sudah kuyup, aku baru tahu kalau dia ternyata murid sekolah Bahasa Inggris yang letaknya 200 meter dari tempat di mana aku mukim selama di Pare Kediri. Sekolah unggulan, aku tahu dari seragamnya. Namanya Oxford. Tentu, siapapun yang sekolah di situ bisa dipastikan dia kelas elite dalam per-ekonomiannya.
Selang beberapa saat, tubuhnya menggigil, wajahnya membiru. Bibirnya gemetaran. Melihat keadaan yang demikian, tanpa identifikasi lebih dulu, kulepas kaos dan kemejaku untuk membantu mencegah dingin yang menusuk kulitnya. Tak ada percakapan di antara aku dan perempuan itu, tak ada kata-kata, hanya ada suara hujan yang jauh mengalun.
Selalu ada alasan mengapa aku gagal untuk sekadar menyapanya, sepertinya bahasaku dan bahasa perempuan itu sudah diwakili oleh gemuruh hujan yang sudah tak berperasaan. Aku dan perempuan itu, cuma punya satu kesempatan untuk saling pandang, dan pandangan berikutnya hanya kudapat melalui bayangan-bayangan.
Dua minggu seusai itu, ada seseorang yang mengaku diutus olehnya mengembalikan pakaianku, ia mengucapkan terimakasih lantaran aku sudah membawa perempuan itu ke Puskesmas. Sambil menundukkan wajah, kujadikan senyumku sebagai pengganti dari jawaban. Sebelum pergi, ia kembali bilang.
''Dapat salam dari Mudrikah, perempuan yang kau tolong itu.'' Aku diam, terpana menghayati suara yang tinggal gema. Nama itu masih terngiang bahkan ketika orang itu sudah bertolak.
''Perempuan itu bernama Mudrikah'', aku membisik.
Kau boleh musykil melihatku tergetar ketika kali pertama mendengar nama Mudrikah, ada desiran lain saat telingaku menangkap suara Mudrikah yang keluar dari mulut orang itu. Kau boleh tak paham ketika semenjak mula mendengar nama Mudrikah. Benih itu tertanam jauh di dasar lubukku. Setiap detik benih itu tumbuh dalam kesendiriannya, tanpa aku menyiramnya, tanpa aku merawatnya: berkembang-biak sebagai cinta seutuhnya. Cinta itu, secara intens menempa diri dalam kemurnian.
***
Semua orang akan sepakat begitu sudah cinta terhadap sesuatu, maka ia akan sepenuhnya merelakan diri untuk dikendalikan oleh yang dicintai, sepertinya itu sudah menjadi bagian dari sistem cinta. Bisa disimpulkan bahwa jika ada orang yang mencintai tapi hatinya masih tidak rela dikemudikan oleh yang dicintai, maka cintanya adalah artifisial, cintanya perlu ditinjau ulang. Kau akan mengerti kalau cinta sesungguhnya tidak hipokrit manakala kau sudah sanggup merasa sempurna menjadi hamba sahaya.
Begitu pada mulanya, mereka semua menganggapku telah kehilangan akalnya, setelah mereka melihatku melakukan sesuatu yang menurut mereka tidak bisa dinalar. Sebenarnya aku menganggap itu adalah hal yang wajar, bahwa melalui cinta, apapun bisa dijangkau. Mereka yang tidak pernah merasakan cinta selalu bersikap pandir, mencela setiap jengkal yang dilakukan pecinta. Kau tahu, semenjak aku mengenal Mudrikah, airmata menjadi watakku. Kian hari kehidupanku mengalami dekadensi kegembiraan. Sebab tanpa airmata, kegembiraan cinta akan sulit menemu definisi. Kalau kau tak juga paham, aku hanya ingin kau diam.
Kalau Tuhan memberikan instruksi untuk mentafakkuri makhlukNya dan melarang mentafakkuri dzat-Nya, maka letak kesalahanku di mana jika semenjak mengenalnya aku tak menemu sublimitas selain Tuhan berkontemplasi ke dalam tubuh Mudrikah? Kalau Tuhan saja mencintai keindahan, apakah keliru jika kemudian aku mencintai Mudrikah? Kalau Tuhan bertajali ke dalam semesta, bukankah Mudrikah adalah percikan dari manifestasi semesta? Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari bibirku yang berguncang, alangkah khilaf jika kau nekat menjawabnya, sebab tanpa merasakan cinta lebih dulu, kau tak bisa peka terhadap airmata.
''Tapi kau sendiri tahu, Mudrikah adalah putri semata wayang seorang kyai. Aku harap kau bergegas untuk sadar, Osaima''. Sahabatku mencoba menasehati. ''Andai aku jadi Bapaknya, ia akan kujodohkan dengan lelaki yang setara dengannya, baik dari sisi pendidikan maupun intelektualnya, paling tidak, suaminya adalah lelaki yang secara nasab sebanding dengannya. Aku bisa meyakinkan kalau bapaknya mencari mantu yang bisa meneruskan perjuangan di dalam pesantren''.
''Kau sendiri yang mustinya sadar bahwa Kanjeng Nabi berkata kepadaku kalau pecinta itu buta dan tuli. Jadi kau tidak perlu bersikeras menasehatiku. Pecinta lebih tuli ketimbang batu, suara apapun tidak akan didengar, apalagi diperhatikan. Kau perlu tahu bahwa kau memandang cinta masih secara entitas. Akan sulit kujelaskan kepadamu jika kau belum bisa membersihkan cinta dari benda-benda.''
Kabar bahwa aku mencintai Mudrikah sampai juga di telinganya, entah dari mana datangnya. Kau tahu bahwa aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya, aku takut salah memilih kata untuk menyampaikannya. Kata-kata bisa jadi menjadi penghalang bagi ungkapan yang sesungguhnya, sebab itulah kubiarkan airmata menjadi juru bicara untuk mengabarkan bahwa cinta itu hakekatnya ada.
Hingga suatu ketika, aku bertekad menulis surat untuknya dengan kecemasan yang meleleh dari pelupuk: Mudrikah, aku punya cita-cita, aku ingin anak-anakku kelak adalah mereka yang mencari surga di telapak kakimu, sebab, kau tahu, aku menyaksikan senyum anak-anakku mengembang di bibirmu.
Aku berjanji atas nama tanah Pare bahwa surat itu adalah surat pertama dan terakhir yang kutulis untukmu, Mudrikah. Tuhan memberikan amanat kepadaku untuk mencintaimu, terserah Tuhan menghendakimu sebagaimana aku atau tidak, itu bukan urusanku. Aku hanya tahu matahari yang diterbitkan Tuhan setiap pagi adalah dalam rangka takzim atasmu. Tak penting kau ketahui kalau diam-diam semenjak gerimis siang itu, aku lebih suka suntuk mengunjungi tempat di mana kau dan aku jumpa, barangkali masih ada nafasmu yang tertinggal di situ atau, tanah yang sempat kau injak itu selalu terasa lebih harum ketimbang tanah di kota lain.
Ya, di warung itu. Pernah ada rahasia yang menjadi perbincangan penghuni langit. Sebuah rahasia dari jenis altruisme. Rahasia tentang kau dan aku, Mudrikah.
Surat balasan Mudrikah itu sampai kepadaku sewaktu ada pasar malam yang ramai, ketika justru kesepian sedang melingkar di sekujur tubuhku, melalui seorang yang sama, yang dulu pernah menyampaikan rasa terimakasihnya kepadaku. Seminggu sudah surat balasan itu tak kubaca, ia masih terlipat dalam kemurniannya. Surat itu justru sering kubaringkan di atas dadaku, agar Mudrikah tahu bagaimana fasihnya namanya berdetak di jantungku, agar mudrikah tahu bagaimana tartilnya namanya berdenyut di nadiku.
Hingga suatu malam yang jernih, ketika awan tersibak dari kebiruan langit, ketika pancaran bulan memercik menjangkau penghuni malam. Aku baca surat dari Mudrikah dengan mata yang sudah kehilangan airmata:
''Osaima, suratmu sudah kubaca entah sudah berapa kali. Kau harus tahu, aku jauh lebih dulu merasakan ketimbang yang selama ini kau dambakan. Aku bersaksi bahwa gerimis siang itu menjadi awal dari airmataku. Aku tak perlu bukti akan sesuatu yang wajib kuyakini, sebab setiap angin yang hembus ke arahku sudah berulangkali menyampaikan kabarmu. Ada dua hal yang bagimu berarti untuk kau tahu. Pertama, aku penuh mencintaimu dalam ketidak-sanggupanku menerima takdir kalau sebelum lahir, aku sudah dijodohkan. Kedua, aku anak satu-satunya, orang tuaku mengharapkan suami yang bisa meneruskan pesantren. Hampir tidak ada kemungkinan, semoga kau selalu sanggup tabah menerima ketetapan bahwa pandangan pertama kita sejujurnya adalah untuk yang terakhir kalinya.''
Semenjak kuterima surat balasan itu, aku menyangka kalau dunia seisinya ternyata tak paham dengan cinta yang sesungguhnya. Mengapa kesucian kalah dengan kekuasaan? Tuhan, untuk kali ini saja, izinkan aku bertanya kepada-Mu: lebih esensi mana tunduk pada orang tua yang otoriter atau, menumbuhkan kesejahteraan cinta? Aku tahu itu takdir-Mu, tapi tidak bisakah takdir dijebol dengan doa? Bukankah Kau sendiri berjanji akan mengabulkan doa setiap manusia? Aku tidak berontak kepada-Mu, Tuhan. Aku hanya masih belum bisa maklum menerima predestinasi yang terlalu manuver ini. Mustinya ketimbang kekuasaan, cinta lebih utama, sebab kekuasaan hanyalah keadaan sementara dan itu keangkuhan.
Satu-satu sahabatku meninggalkan setelah aku dianggap kehilangan akalnya. Aku tersenyum memandang mereka. Cinta adalah pasrah secara kemenyeluruhan. Artinya, jika masih menggunakan akal untuk memahami cinta, maka cintanya hanyalah spekulasi. Sementara, definisi pasrah itu menggugurkan ego. Dalam kesendirian itu, aku berkata kepada diriku yang lain: Mudrikah adalah sebentuk jasad, dan cinta itu kekal justru ketika ia berperan tidak sebagai makhluk yang kasat.
*****
''Demikianlah, Nak. Sampai akhirnya meninggal, aku tak butuh pernikahan. Ketika kini ada di alam yang lain denganmu, aku masih tak bisa membedakan antara kehidupan dan kematian. Sebab ketika masih hidup pun sebenarnya aku sudah mati lebih dulu. Kelak, jika cintaku pada Mudrikah dimintai pertanggung-jawaban, aku akan tegas menyatakan, bukankah Tuhan sendiri yang mengumumkan kalau Tuhan mencintai keindahan?''
Penuturan Osaima itu menjadikanku menanggung beban yang teramat dalam, bahwa ketika sudah meninggal pun, ia masih sanggup membangkitkan seluruh ingatan tentang kisahnya, cintanya tanpa pamrih. Padahal, menurutnya, peristiwa itu terjadi tahun 2012, 188 tahun yang silam.
Beberapa saat setelah Osaima menceritakan kisahnya kepadaku melalui jalur alam bawah sadar, kudengar kabar bahwa wong sepuh yang memanduku menjalani laku tirakat untuk bisa bertemu dengan Osaima itu meninggal. Mungkin beberapa hari lagi aku akan menyusulnya, atau kau yang sempat membaca cerita ini perlu berdoa agar diberi usia panjang, atau kalau tidak, aku tidak bisa menjamin pada urutan ke berapa kau akan mengikuti nasibnya wong sepuh itu.
2013
USMAN ARRUMY, santri Al-fadlu Kaliwungu Kendal
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
3
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
4
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
5
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
6
Menag Penuhi Undangan Arab Saudi untuk Bahas Operasional Haji 2025
Terkini
Lihat Semua