Oleh Dwi Putri
1.
Aku kembali seperti anak baru lahir. Padahal kemarin aku sudah beranjak dewasa bersamanya. Bung Nanda, tahu kan, Sejak kejadian hilangnya Bung Nanda, aku bertekad untuk menjadi seperti dirinya? Maksudku bukan ingin dielu-elukan banyak orang. Tapi karena kemampuannya mengajak orang sepertiku yang demikian apatis berbalik kembali pada jiwa sosial dan peduli bahwa negeri ini butuh pembela dan pejuang menjaga keutuhan Tanah Air.
Beda kampus yang terpisah jarak 5 km. Aku berusaha memperbaiki hubungan dengan teman-teman Bung Nanda. Responnya memang tidak terlalu buruk. Hanya saja Laksono masih menampakkan kurang sukanya padaku. Malam di saat ia nyaris mematahkan tulang rusukku, setelahnya aku langsung pergi meninggalkan mereka. Mukaku kuyu. Aku benar-benar berdiri sendiri. Rasanya ingin sekali kembali seperti diriku sebelum mengenal Bung Nanda. Aku membaca buku di perpustakaan, sesekali keliling Ibu kota naik TransJakarta, tenang tidak kenal perbedaan pendapat yang berujung perselisihan. Memang tidak banyak teman yang aku punya. Sekalinya ada ya paling orang yang sudah tidak ada teman lagi selain diriku. Hanya orang tertentu yang ingin berteman dengan orang yang tidak tahu cara bergaul sepertiku.
Baca Panggil Aku Bung Saja
Soalan hilangnya Bung Nanda masih menjadi isu hangat di banyak kalangan mahasiswa. Beberapa di antaranya bahkan sibuk rutin datang ke gedung DPR/MPR dan Istana Negara. Sekarang ada dua tuntutannya. Jika kemarin hanya perihal penegakkan HAM korban penyintas tragedi 1965/1966 dan keturunannya, maka sekarang bertambah dengan tuntutan akan hilangnya beberapa mahasiswa. Satu di antara 4 orang yang hilang itu adalah Bung Nanda.
Waktu sudah berjalan sepuluh hari lepas. Belum ada tanda-tanda Bung Nanda kembali. Aduh, takutnya aku jika peristiwa era awal reformasi terjadi kembali. Mendiang ayahku pernah bercerita tentang kemelut di tahun 1998 yang mampu membuatku bergidik ngeri. Ah tapi sudahlah. Aku tidak mau berlarut memikirkan suatu hal yang seharusnya tidak terjadi. Kata Bung Nanda, demonstrasi dilakukan karena ingin memberikan perlakuan adil pada mereka yang merasa disingkirkan. Padahal toh mereka masih bagian dari negeri ini. stop sampai di sana. Tidak lebih, hanya soal keadilan. Aku pikir itu bisa diterima akal. Mengingat akhir-akhir ini mulai banyak hembusan isu-isu politik yang kotor. Lagi-lagi politik. Bencinya aku.
2.
Tampangnya biasa saja. Tidak tampan, tidak pula terlalu mengecewakan bagi perempuan yang terpincut hatinya pada Bung Nanda. Nanda Taruna.
“Kenapa tidak sekalian Nanda Taruna Bumi?” Selorohku sekali waktu. Ia hanya tersenyum.
“Ibu dan ayahku bukan orang berpendidikan. Jadi asal saja memberi nama. Kemungkinan mereka sangat mengidolakan tentara dan berharap anaknya ketika dewasa menjadi bagian militer.”
Aku hanya manggut-manggut.
“Mungkin ya, soalnya aku tidak pernah nanya ke ibu ayahku ha-ha-ha.”
Awal berkenalan dengan Bung Nanda, aku tidak terlalu merasa terkesan dan tidak tahu bahwa aku pada akhirnya sukar untuk berdiri di tengah keramaian tanpa kehadirannya. Tidak perlu waktu seminggu kami menjalin hubungan. Aku merasa nyaman, aku bercerita banyak ini itu padanya. Sesuatu yang selama ini kupendam lama -yang aku pikir cukup aku yang tahu- pun aku beritahu padanya. Tidak heran kan jika aku sebut dia orang gila. Gila tidak hanya karena dia mampu memaksaku keluar dari hal yang selama ini kusimpan baik-baik, tapi juga karena keunikannya. Penampilan gondrong awut-awutan, tangan kiri yang nyaris ditutupi tato. Jika orang kebanyakan ngeri melihat perawakan seperti ini, berbeda halnya pada Bung Nanda. Dia tetap disukai banyak orang.
Pernah suatu ketika aku menginap di tempat tinggalnya karena malam terlanjur larut. Aku dan dia duduk di penataran kontrakan yang kini dijadikan basecampkegiatan teman-teman sesama aktivis. Seperti biasa, rokok dan kopi tidak pernah ketinggalan ikut bersamanya. Dan sepertinya ia benar-benar sudah kecanduan. Tapi aku sudah pernah cerita kan? Jika aku tidak suka keduanya.
“Lalu? Apa kegiatanmu akhir-akhir ini?”
“Pusing. Tugas kuliah kian menumpuk.”
Ia mulai lagi menghisap rokok. Tangan kirinya menggaruk kepala, mungkin kutu sedang berpesta pora menghisap darahnya.
“Jadi? Sampai sekarang masih pusing tugas kuliah?”
“Ya, begitulah.”
“Ya sudah, tinggalkan dan pergi bersantai. Kamu bisa tidur seharian, bisa pergi memancing, bisa berenang di kolam renang kalau ada duit, ha-ha-ha.”
“Kau mau mengajari aku akan hal yang tidak baik. Mana mungkin aku bisa bersenang-senang, sedangkan tugas utamaku malah dibengkalai.”
“Dasar anak muda.”
Aku tergelitik ketika dia menyebut kata “anak muda”.
“Intinya adalah, bukan berarti aku mengajarimu untuk meninggalkan kewajiban. Tapi yang paling terpenting adalah ketika dirimu bisa menikmati sesuatu yang kau anggap kewajiban itu. Kalau tetap kau seperti itu, kemungkinanbesar kau akan gila ha-ha-ha.” Begitu katanya,
“Kau bilang aku gila?”
“Memang kau gila. Tidak pandai menikmati hidup.”
Rokok yang ada di tangan bung Nanda sudah habis. Cepat-cepat ia matikan putungnya dan mengganti dengan rokok yang baru. rokok yang berbungkus warna hijau muda dan bermerek bintang 9 itu adalah kesukaannya. Selain karena murah, dia bilang rokok itu mempunyai lambang yang nyaris sama seperti ormas yang menjadi panutannya.
“Kau juga sama gilanya.”
“Ha-ha-ha kau harus banyak-banyak belajar.”
Ya, harus banyak-banyak belajar. Belajar menjadi orang gila sepertinya. Dia mungkin sudah menjadi sosok yang sudah sampai pada puncak kebutuhan hirarki seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Intinya aku pikir, karakteristik orang yang sudah sampai pada aktualisasi diri itu ada semua di dirinya. Makanya aku panggil dia gila dengan cepat dan ia sama sekali tidak tersinggung. Tentu saja aku memanggil selorohan seperti itu ketika tidak di depan orang lain. Pesannya, jaga wibawa.
3.
Oktober 2013. Masih belum ada tanda-tanda bung Nanda akan pulang. Seharian ini aku memilih banyak diam. Malamnyanumpang tidur di kostan Seftian, Laksono, dan Cecep. Sedangkan Laksono dan Seftian masih sibuk ke sana-sini mencari informasi keberadaan bung Nanda. Mereka sudah mengajakku, tapi aku bilang aku benar-benar sedang ingin sendiri. Aku biarkan mereka pergi. Cecep belum kelihatan dari tadi pagi.
Mataku menatap langit-langit, tanganku kujadikan alas kepala. Dingin sudah tidak bisa kurasai lagi. Yang ada hanyalah dada yang kian bergemuruh, panas, dan berpikir kapan si bung itu kembali dan dilepaskan dari jeratan orang yang tidak bertanggung jawab. Sudah berapa kali Cecep, aku, Seftian, dan Laksono mendatangi polsek hingga polda ibukota. Satupun tidak ada yang menjawab, “Ya, kami tahu keberadaanya.”
Tidak dengan hari ini. Aku tersinggung dengan perkataan Hilmi pagi tadi. Ketika kami masih menggencarkan aksi di depan istana. Masa itu mukaku memang tidak bersemangat seperti biasanya. Hilmi datang dan mengatakan,
”Bung mu itu sudah tidak ada di sini. Baik kau selesaikan dulu masalah awal kita kenapa melaksanakan aksi keadilan HAM ini. daripada berlarut-larut murung seperti kehilangan kekasih saja.” Ia tersenyum sinis sembari menatapku, Seftian, dan Laksono satu persatu.
“Maksudmu apa , Hil?” Tanganku mengepal, beberapa detik aku langsung menerjangnya. Tentu ini menimbulkan kerusuhan baru di hadapan teman-temanku sesama aksi. Seftian langsung menarikku paksa untuk mundur dari hadapan Hilmi. Tapi aku sedemikian kesetanan ingin memukul muka orang yang ada di depanku saat ini.
“Heeerrggggggghhhhh!!! Tunggu kau! Tunggu saatnya!”
Telunjukku menunjuk tepat di batang hidungnya.
“Hei orang baru! kau tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Apa yang ada didekatmu belum tentu akan membelamu. Jadi berpikirlah.” Hilmi juga pergi menjauh dari hadapanku.
Kejadian itu semakin membuatku tambah gelisah. Apa maksudnya orang yang didekatku belum tentu membelaku? Dan mana mungkin orang yang ada didekatku akan berbuat demikian. Dan ya, siapa orang didekatku yang dimaksud oleh Hilmi? Bung Nanda? Seftian? Cecep? Atau Laksono? Ah tidak mungkin. Lagi pula kenapa aku harus percaya dengan Hilmi? Bisa jadi dia ingin melihat kami terpecah. Hilmi juga baru kukenal, aku tidak tahu persis dia seperti apa. Dia pecundang, dia pembohong, dia, dia, dia… Ah entahlah.
Nah sekarang aku tergolek di lantai. Menunggu siang tiba dan bertemu dengan kawan-kawanku yang lain. Masalah tuntutan permohonan maaf jajaran pemerintah pada korban dan keturunan penyintas tragedi 65 aku serahkan sepenuhnya pada mahasiswa aktivis HAM. Tugasku adalah mencari keberadaan bung Nanda. Ah tidak, maksudku keberadaan keempat sahabatku yang hilang.
Pintu depan digedor oleh seseorang. Aku pura-pura memejamkan mata dan menutup telingaku. Tapi pintu terus saja digedor keras.
“Rangga! Wei Rangga! Buka pintunya.”
Dengan langkah gontai aku menghampiri pintu.
Gubrak!!!
“Ada apa ini?” Aku terkejut. Muka mereka berdua lebam.
“Itu map berisi petunjuk keberadaan bung Nanda dan tiga orang yang lainnya. Kau tahu kami dapat dari mana?” Tanpa menunggu jawabanku, Laksono langsung berujar sendiri.
“Ya jawabanmu tepat sekali, ada yang membawa kami berdua tadi. Mereka tutup mata kami, mereka pukuli kami, mereka tanya kami siapa, dan apa hubungan kami dengan bung Nanda. Oh ya, dia sempat menanyakan kamu juga.”
Keningku mengernyit.
“Tanya apa?”
“Entahlah, suaranya terdengar samar-samar. Kudengar sekilas dia mencari tempat tinggalmu.”
“Lalu bagaimana kalian bisa lepas dan diberi map berisi petunjuk keberadaan bung Nanda.” Aku masih bingung dengan keadaan ini.
“Nah itu yang aku sendiri masih bingung, Ngga. Mereka hanya bilang, cari bung Nanda dan yang lainnya secepat mungkin.”
“Itu saja?”
“Iya,” Jawab Seftian singkat.
Laksono duduk di kasur depan tivi biasa kami bersenda gurau jika tidak ada kesibukan. Tangannya mengapit dan mendorong kepalanya ke pangkuannya sendiri. aku segera ke dapur dan mengambil air hangat untuk mereka berdua. Sedangkan Seftian pergi ke kamar mandi.
Malam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Map tadi kupegang erat-erat. Aku lihat Seftian dan Laksono masih sibuk dengan memar di muka mereka. sakit sekali sepertinya. Sesekali mereka juga memegang perut. Mungkin sakit juga.
Kuperhatikan map itu lamat-lamat.
“Benar kau yang menjadi petunjuk?” Gumamku dalam hati.
Hah, gilanya aku berbicara pada map yang jelas-jelas adalah benda mati. Mana mungkin ia akan menjawab pertanyaanku.
“Seftian? Laksono? Kalian baik-baik saja?”
Laksono terdiam dan menatapku beberapa saat.
“Ya, aku baik-baik saja. Hanya perutku nyeri sekali, Ngga.”
“Kau bagaimana Sef?” Aku berbalik bertanya pada Seftian.
“Ya, aku juga baik-baik saja. Tidak usah pikirkan kami. Esok segera persiapkan apa saja yang kau perlukan untuk mencari bung Nanda.”
Aku hanya terdiam.
“bung Nanda tidak mungkin dibawa pergi di luar pulau. Dia masih ada di Jakarta. Percayalah. Sekarang kalian berdua istirahatlah. Aku akan segera menyusul.”
Aku tidak peduli mereka berdua. Aku keluar dan duduk di depan. Sendirian.
4.
Perjalanan masih sangat Panjang untuk menemukan sosok yang selalu ingin dipanggil bung itu. Puitisnya aku, menganggap ia ibarat kekasihku. Kekasih yang tidak bisa dipisahkan dari kekasihnya. Aku merindui berada didekatnya dan berbicara sengit perihal pemikiran kami yang berbeda pandangan dalam melihat apa saja yang terjadi di sekitar kami.
Berapa kali aku berjanji pada diriku agar menemukan bung Nanda secepatnya. Tak kunjung ada hasil. Malah menambah bibit musuh dengan Hilmi. Aku rasa bukan momen yang bagus untuk saling unjuk ketangkasan. Itu tingkah bodoh.
Tuhan mungkin sudah bosan mendengar janji dan tekadku ini. tapi tak apalah. Pagi menjelang siang ini aku akan berjanji lagi. Mungkin esok juga, lusa juga, seminggu kemudian juga, sebulan kemudian, hingga tiba kutemukan sosok bung Nanda.
Perjalanan belum berakhir. Semoga Seftian, Cecep, Laksono, dan teman-temanku yang lainnya masih sudi mendukungku menemukan bung Nanda. Sesudah kutemukan, aku akan kembali berjanji akan menjauh dari segala macam kegiatan mereka. Agar aku tidak bertengkar lagi, agar aku tenang, dan mengubah haluan hidup menjadi lebih baik lagi.
Penulis adalah Student Major of Psychology Nahdlatul Ulama Indonesia University