Cerpen

Perempuan Kiri Gus Rahman

Ahad, 2 Maret 2014 | 09:00 WIB

Oleh: Amal
Antrian pernikahan telah habis. Keempat kakaknya telah menikah, dengan orang-orang dari kalangan pesantren tentunya, seperti keluarganya yang besar dari pesantren dan membesarkan pesantren.
<>
Maka kini gilirannya tiba, untuk mencari perempuan dari kalangan yang satu tradisi dengan tradisi yang dilakoni keluarganya sejak dulu, dengan perempuan yang pandai mengaji kitab kuning, fasih melafalkan tajwid, atau bahkan hafal syair-syair Amrithi* dan Alfiyah ibn Malik**, meski tidak harus ning, putri dari kiai ini atau anu, dari pesantren ini atau itu.

Maka diingatnya perkataan ibunya tempo hari ketika ia berpamitan untuk berangkat bekerja di salah satu sanggar seni di kota sebelah.

“Ingat, dulu kamu pernah janji sama ibu, Le, kamu akan mencari santri untuk kamu nikahi. Ibu tidak menuntut dia anak kiai, yang penting santri”

Begitu kata ibunya sambil menepuk pundak anaknya memberi restu dan doa agar selamat dalam perjalanannya. Usai perkataan itu, segala kalimat berloncatan dalam kepalanya, diksi-diksi berserakan dalam langit-langit perasaannya, kata-kata penyanggahan tak berhenti menjejalinya, dalam diam.

Tapi bukankah kehidupan ini selalu berubah, Bu. Hidup berubah, pengalaman hidup bertambah, dan pilihan hidup yang lalu berganti dengan yang baru, pemikiran usang berganti pula dengan pemikiran yang lebih maju. Waktu terus bergerak, bu, begitu pula pandanganku terhadap segala sesuatu,  bahkan terhadap diriku sendiri.

Ya, lelaki itu telah mengubah ketetapan hatinya, seperti halnya ketetapan Tuhan dan naluri alam bahwa manusia selalu berubah, waktu beranjak, keinginan-keinginan beranak pinak. Ia bukan lagi lelaki dengan pemikiran yang sama persis dengan pemikiran yang ibunya ketahui sepuluh tahun lalu, ia bukan lelaki dengan pilihan hidup yang sama dengan yang disampaikan kepada ibunya sepuluh tahun lalu. Lagipula, apa yang bisa dipercayai dari perkataan seorang bocah berumur belasan tahun soal pernikahan dan rumah tangga?

Usai mengingat perkataan ibunya, lalu ia mengingat-ingat pula sepuluh tahun lalu ketika usianya masih lima belas, dipangku ibunya yang menyimaknya menghafal Juz Amma, di subuh hari ketika bapaknya membaca kitab Tafsir Jalalain*** dan puluhan santrinya menulis arab pegon. Sebagai anak terakhir dan bocah lanang yang teramat disayangi ibunya, ia meracau soal pernikahan, suatu hal yang sesungguhnya masih sangat awam dipahami bagi anak seusianya.

“Nanti kalau sudah besar, aku mau nikah sama mbak santri yang pandai mengaji, seperti ibu. Biar nanti kalau sudah besar, aku jadi seperti Abah, mengajar kang dan mbak santri ngaji kitab kuning, lalu istriku nanti seperti ibu yang mengajari ngaji quran” begitu racaunya kala itu yang membuat ibunya terkekeh-kekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir ia anaknya bisa berbicara seperti itu.

“Aku beneran, Bu!” katanya sebagai bentuk protes lantaran ia merasa ibunya tak menganggap serius apa yang baru dikatakannya. Lalu dikecup keningnya oleh ibunya.

“Iya, Le, ibu bangga kalau nanti kamu menikah sama mbak santri,” lalu segaris senyum bangga menghias bibir bocah kecil itu. Kebanggaan seorang anak yang ingin membahagiakan orang tuanya, bahkan meskipun dengan kata-kata yang ia sendiri sesungguhnya tak betul-betul memahaminya.

Tapi itu sepuluh tahun lalu, bu. Ketika aku masih meyakini bahwa berbaur dengan orang-orang dalam satu kesamaan adalah sebuah kewajiban. Ketika aku masih meyakini bahwa hidup dibangun atas satu kebenaran, tidak ada kebenaran lain, dari orang lain, dari pemikiran yang lain. Kebenaran tunggal diperjuangkan bahkan meski harus dengan menyakiti orang-orang di luar lingkungan kita.

Ya, itu sepuluh tahun lalu ketika lelaki itu belum bertemu dengan perempuan bernama Nawang, perempuan yang ia ketahui betul akan ditolak ibu bapaknya sebagai pilihan untuk dijadikan mantu. Perempuan yang ia ketahui betul adalah pilihan paling berisiko sebagai seorang istri, sebagai seorang menantu dari orang tua yang berpikiran serba sentris. Perempuan yang ia tahu akan sulit diterima kakak-kakaknya yang semuanya lahir dan besar sebagai santri priyayi yang kerap sulit beradaptasi dari orang-orang di luar identitas kepriyayian mereka. Tetapi bahwa cinta hadir tanpa mengenal identitas diri, trah, dan ideologi, siapa yang bisa menafikkannya?

***

Lelaki yang bernama Rahman itu dilahirkan sebagai gus, suatu predikat yang disematkan lantaran ia lahir dari seorang perempuan yang oleh masyarakat sekitarnya disapa sebagai Bu Nyai Sajad, istri dari Kiai Sajad, kiai termasyhur dari Walituban yang dikenal sebagai kota santri lantaran hampir setiap gang-gang sempit di kota itu disesaki oleh pesantren-pesantren kecil dengan santri dari berbagai daerah di pelosok negeri, dari Jawa dan luar Jawa. Di kota yang dipenuhi laki-laki bersarung berpeci dan perempuan-perempuan penenteng kitab kuning itu, ia tumbuh dan besar sebagai anak lanang yang sangat dikagumi lantaran kepiawaiannya dan kecemerlangannya menghafal syair Alfiyah ibn Malik, sebuah kitab nahwu shorof berisi seribu syair yang biasanya baru mampu dihafalkan sepenuhnya oleh santri  yang sudah berusia dewasa. Siapa sangka Rahman yang kala itu masih berusia sepuluh tahun sudah mampu menghafalnya. Maka karena kecemerlangannya itu ia digadang-gadang oleh Kiai Sajad sebagai penerus yang kelak menggantikannya sebagai pengasuh utama di pesantren yang dipimpinnya.

Tetapi keadaan berubah sejak secara mengejutkan Rahman memilih untuk meneruskan pendidikan SMA-nya dengan mendaftarkan diri di sebuah universitas negeri di kota sebelah, dengan jurusan kesenian. Suatu pilihan pendidikan yang tidak pernah terfikirkan oleh Kiai Sajad dan istrinya akan betul-betul diambil oleh anak yang dulu digadang-gadang itu. Tetapi Kiai Sajad tidak seperti kiai-kiai lain di Walituban yang memaksakan kehendak pribadinya kepada anak-anaknya, maka sekalipun Kiai Sajad sudah membujuk Rahman untuk mengambil jurusan agama di perguruan tinggi agama, tetaplah pilihan ada di tangan Rahman. Rahman sendiri bukan tidak manut kepada titah bapak ibunya, tetapi ia kadung percaya bahwa orang tua manapun di dunia akan selalu mendoakan yang terbaik bagi pilihan anak-anaknya, Rahman percaya itu, pun ia percaya bahwa kesenian adalah keinginan paling tulus yang mengalir deras dalam dirinya.

Pilihan yang diambil Rahman membuat Kiai Abdul, kakak dari Kiai Sajad berfikir itu adalah sebuah ancaman bagi pesantrennya. Kiai Abdul benci kesenian, baginya kesenian adalah cara hidup orang-orang kiri, musuh terbesar pesantren sejak tahun 60-an. Kiai Abdul bukan seorang kiai yang aktif di organisasi massa seperti NU seperti beberapa sedulurunya. Atau seperti adik perempuannya yang bergulat aktif di Muslimat, organisasi sayap NU yang bergerak di ranah keperempuanan. Karenanya ia tak paham bahwa konflik yang dulu sempat menderas antara orang-orang kiri dan orang-orang kanan telah berakhir terlampau lama, ia tak faham bahwa banyak kalangan bersarung yang membuka dialog dan rekonsiliasi dengan orang-orang kiri. Kiai Abdul tak faham itu seperti halnya masih begitu banyak orang-orang tak paham itu, karenanya ia menjadi yang paling banter menolak ketika Rahman memilih kesenian sebagai pilihan hidupnya.

Tetapi itu lima tahun lalu, toh pada akhirnya penolakan itu meredam dengan sendirinya, sebab Rahman sendiri sekalipun ia memilih kesenian, darah kepesantrenan masih mengalir deras dalam laku kesehariannya. Ia masih rutin menyenandungkan al Barzanji****  dan tahlil setiap malam jumat, bahkan sesekali turut pula menepuk rebana. Bagi Kiai Sajad dan istrinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari pilihan hidup anaknya. Bu Nyai Sajad pun tak perlu ragu karena ia percaya yang terpenting adalah kelak Rahman akan memenuhi janjinya untuk menikah dengan perempuan dari kalangan santri. Bagi seorang bu nyai seperti Bu Nyai Sajad, pernikahan anaknya adalah sebuah puncak tertinggi dari membesarkan anak-anaknya, dan menikahkan anaknya dengan yang satu trah dengannya serupa menancapkan bendera kebanggaan di atas puncak itu. Bu Nyai Sajad bukan tidak paham bahwa celoteh Rahman sepuluh tahun lalu adalah celoteh bocah lanang semata, tetapi kata janji yang terus ia ulang kepada Rahman sesungguhnya merupakan bentuk kenginan tertingginya yang ia bebankan kepada Rahman.

Sampai pada akhirnya apa yang dibebankan Bu Nyai Sajad kepada Rahman akan runtuh pula lantaran ia harus menghadapi kenyataan bahwa Tuhan menitipkan cinta pada dua orang manusia tanpa memandang gelar diri dan segala jabatan duniawi, bahwa setiap lelaki dan perempuan dewasa berhak memilih siapa saja yang hendak dinikahinya, tanpa melihat rupa dan harta, juga bahwa Rahman, atas takdir Tuhan, justru harus jatuh cinta kepada perempuan yang berasal jauh dari dunia pesantren.

***

“Jad, semua orang di Walituban sudah mendengar desas desus yang kurang mengenakkan tentang si Rahman, anakmu itu, bagaimana bisa dia menjalin hubungan dengan perempuan yang tidak beragama?!” kata Kiai Abdul ketika ia mendatangi rumah Kiai Sajad untuk memprotesnya lantaran desas-desus sudah menyebar, bahwa Rahman menjalin hubungan dengan perempuan dari keluarga yang dianggap berseberangan dengan keluarga besar Sajad, juga seluruh masyarakat Walituban.

“Siapa sebenarnya perempuan itu, berani-beraninya ia memelet salah satu gus dari Walituban!” suaranya agak meninggi, Kiai Sajad agak tersontak. Diambilnya segelas air putih dan diteguknya pelan untuk mengurangi amarahnya.

“Nawang. Namanya Nawang, Pak Dhe” tiba-tiba Rahman masuk ke ruang tamu yang di sana sudah berkumpul pula kedua kakak lelakinya. Mata keempat lelaki di dalam ruangan itu memandang Rahman dengan tatapan kaget.

“Dan dia bersama keluarganya adalah orang yang beragama, Islam,” Suara Rahman kian tegas. Kiai Sajad memandang tatapan anak lelakinya itu, ia tiba-tiba seperti tengah memandang kedua matanya sendiri, kedua mata puluhan tahun yang lalu ketika ia menemui calon mertuanya untuk meminang perempuan yang kini telah menjadi ibu dari kelima anaknya. Mata yang sama ketika ia tegas mengutarakan keinginannya dulu bahkan meski ia dicemooh lantaran ia hanya seorang santri penjual tempe, bukan putra dari kiai besar.

“Beragama katamu? Perempuan seperti ini kau sebut beragama?” Dullah, kakak pertama Rahman melempar selembar foto Nawang yang ia dapati dari dompet Rahman ketika suatu saat Rahman meninggalkan dompetnya di ruang makan. Di foto itu, Nawang dengan rambut panjang tergerainya tengah duduk di sebuah kursi kayu di sebuah tempat, menyunggingkan segaris senyum pada bibirnya.

Kiai Abdul memandang marah gambar itu.

“Perempuan seperti ini kau sebut beragama?! Tidak berjilbab begini kau sebut beragama Islam?!”

“Apakah Islam hanya boleh dianut oleh perempuan-perempuan berjilbab? Bukankah yang seperti Kang Badrun katakan di seminar-seminar, bahwa jilbab hanyalah tradisi orang Arab?” Rahman memandang Badrun, kakak keduanya, meminta persetujuan.

“Betul, tapi jilbab juga sudah menjadi tradisi pesantren, Man, siapa yang menjadi bagian dari pesantren maka mengikuti pula tradisi di dalamnya. Tentu tidak dengan paksaan, tetapi apa salahnya menghargai? Apalagi masyarakat kita masyarakat tradisional, bukan kalangan modernis,” Kata Badrun, pria yang sering diundang ke seminar-seminar lantaran kepiawaiannya dalam mengulas dan membahas khazanah keislaman.

Rahman tersenyum menyetujui, seperti pula ia mendapati suatu hal yang bisa dijadikannya penyanggahan.

“Jadi, sekarang soal pernikahan adalah soal memilih perempuan berjilbab? Kalau itu mau Abah, mau Pak Dhe Abdul, dan Kangmas semua, saya akan paksa Nawang berjilbab. Selesai?”

“Rahman! Sudah berapa kali abah ajari? Tidak ada paksaan dalam persoalan agama, Rahman. Tidak ada!” Kiai Sajad meninggikan suaranya.

Rahman tersenyum kembali.

“Begitu pula pernikahan, pernikahan adalah persoalan agama, Bah. Maka betapapun, Abah tidak bisa paksa saya untuk tidak menikahi Nawang. Tidak juga siapapun”

Kiai Sajad mengatur napasnya, bocah lanangnya kini telah dewasa, sudah pandai bermain argumentasi. Segalanya mendesak dalam kepala kiai itu, satu sisi ia sadar bahwa menyetujui pernikahan Rahman dan Nawang sama saja mengorbankan nama besar dan kekiaiannya, sebab seperti ia pula sadari bahwa masyarakat sekitar, seluruh kiai-kiai kenalannya, dan orang-orang yang mengagumi pengajiannya, akan memandang rendah kenyataan bahwa Kiai Sajad berbesankan keluarga dari kalangan kiri, bukan lantaran Kiai Sajad memandang rendah pula kenyataan itu, tetapi ia seperti tak mampu berhadapan dengan orang-orang di sekitarnya. Tetapi satu sisi ia memahami betul bagaimana perasaan bocah lanangnya itu, ia melihat keteguhan, ia menyetujui hampir semua argumentasi yang Rahman lontarkan. Kiai Sajad bukan tipikal seorang bapak yang memaksakan pernikahan kepada anak-anaknya, juga pada keempat kakak Rahman, semua menikah dengan pilihan mereka sendiri. Hanya saja, baru Rahman, anak yang ndilalah memilih perempuan yang tak memiliki tradisi
seperti tradisi yang ia dan masyarakat Walituban jalani sejak dahulu. Kiai itu tengah dalam pergolakan batin yang tajam, antara memberi kebahagiaan seutuhnya kepada anaknya, ataukah menolak kebahagiaan anaknya demi memuaskan konsensus orang-orang sekitarnya.

***

Perempuan yang kini berusia lebih dari lima puluh tahun itu masih mengenakan mukena putih ketika ia tertidur dalam duduknya, tasbih masih tergeletak tulus dalam telapak tangannya, sajadah bergambar ka’bah pun masih tergelar diam menghangatkan kedua kakinya, ia kelelahan lantaran sujud panjang dan tahajudnya yang khusyuk penuh air mata. Rahman meletakkan kepalanya pada pangku perempuan itu, dilingkarkannya kedua tangannya pada tubuh ibunya. Bu Nyai Sajad tersadar, agak kaget melihat Rahman di pangkunya dengan wajah yang penuh kesedihan. Keduanya saling mengikat diri dalam pandangan mata yang lebih dari cukup menjabarkan segala kata-kata. Dibelainya rambut Rahman. Seperti ia tahu bahwa hanya itu yang Rahman butuhkan. Lelaki dewasa sekalipun masih membutuhkan belaian paling tulus dari seorang ibu.

“Bu. Bukankah cara setiap anak membahagiakan diri adalah cara ia membahagiakan ibunya sendiri?”

Bu Nyai Sajad mengangguk pelan.

“Maafkan saya tidak bisa memenuhi janji saya ketika saya masih bocah, Bu. Tapi saya punya cara lain untuk membuat ibu bahagia, dengan membuat diri saya sendiri bahagia. Sekalipun cara itu salah di hadapan banyak orang. Sekalipun cara saya mencintai ibu, mencintai Abah, mencintai Tuhan dipandang salah bagi banyak orang”

Air mata mengalir pelan dari kedua mata Bu Nyai Sajad, jatuh halus ke kedua pipinya, mendarat tulus pada kening Rahman.

“Saya tidak salah, Bu.”

Bu Nyai Sajad memeluk Rahman erat.

“Tidak, Le, kamu tidak salah. Mencoba membahagiakan ibu dan abahmu bukanlah perbuatan salah. Tetapi maafkan ibu, Le, maafkan ibu. Maaf karena Ibu tidak bisa. Bukan karena ibu tak mau kamu bahagia. Tetapi karena ibu tak mampu menghadapi mereka”

“Tapi aku dilahirkan dari rahim ibu, bukan dari rahim orang-orang yang tak menghendaki perbedaan berbaur dengan mereka. Bukan dari rahim orang-orang yang pandai menghakimi, bukan dari rahim orang-orang yang menunggalkan kebenaran demi kekuasaan mereka sendiri. Bukan, Bu.”

Bu Nyai Sajad memandang sayu pada kedua mata Rahman. Bunyai Sajad menangis, bukan lantaran ia harus menghadapi ini, tetapi lantaran ia merasai apa yang putra kesayangannya rasai, dan lantaran ia menyesal sebab Rahman menyembunyikan ini semuanya begitu lama lantaran takut menyakiti, tetapi kejujuran pun dianggap banyak orang sebagai sebuah cara menyakiti pula. Beban itu menumpuk pada pundak seorang ibu, dan lahir menjadi air mata.

***

“Aku tidak akan ridho keponakanku menikah dengan anaknya Suradi! Apa kau lupa siapa Suradi itu, Jad? Dia dulu anggota PKI!!! Apa kata orang-orang, keluarga pesantren kita yang termasyhur ini berbesankan orang PKI?! Ha?!!”

Bu Nyai Sajad terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara Kiai Abdul dari balik ruang tamu, dia baru tersadar suaminya ternyata sudah tak tidur di sebelahnya, Kiai Sajad harus menemui Kiai Abdul yang tengah malam memaksa menemuinya.

“Bukan begitu, Kang. Semua orang sama saja, kalau toh Suradi dulu orang PKI, ya sudah biarkan, itu kan dulu. Apa Sampeyan lupa Gusti Allah sudah ngendika, semua manusia itu sama derajatnya?”

Kiai Sajad menimpali, ia mengerti bahwa keputusannya untuk memberi restu kepada Rahman akan mendapat penolakan yang luar biasa, terutama justru dari kakaknya sendiri, Kiai Abdul yang dikenal sebagai kiai yang tempremental. Berbeda dengan Kiai Sajad yang memilih untuk membesarkan pesantren yang dibangun kakeknya dulu, Kiai Abdul justru berkecimpung di organisasi yang memiliki visi memurnikan ajaran Islam, ia paling getol berteriak haram terhadap segala sesuatu yang tidak sevisi dengan pemahamannya terhadap agama. Baginya, agama adalah persoalan pembelaan terhadap Tuhan, karenanya ia merasa menjadi wakil dari Tuhan itu sendiri.

“Lhadalah, Jad! Kau ini seorang kiai! Cara pandangmu malah seperti orang kafir! Semua manusia memang sama derajatnya, yang membedakan iman takwa, lha kalau orang PKI? Mereka itu tidak menyembah yang kita sembah! Itulah bedanya kita dengan mereka, Jad! Jangan lantaran Rahman itu anakmu sendiri, lalu kau jadi lembek bersikap terhadap orang kafir!”

Kiai Sajad menghela nafas panjang, mencoba agar tidak terpancing dengan pembicaraan Kiai Abdul. Sekalipun ia berusaha tenang di hadapan kakaknya, hati kiai itu berkecamuk. Segala wirid dilafalkannya dalam hati. Ia tahu Kiai Abdul bakal bersikap demikian atas pilihannya, tetapi ketakutan bahwa kakaknya akan melakukan tindakan gegabah seperti yang sudah-sudah, tetap menghantui pikiran Kiai Sajad.

“Tapi Nawang bukan orang yang tidak beragama, Kang. Suradi dan anak-anaknya itu muslim. Sudah berapa kali aku mengatakan ini? Mereka muslim, Kang.”

“Muslim tapi PKI? Sama saja, Jad! Sama saja! Mereka itu komplotan pembohong! Aku tidak mau mendengar apapun lagi. Sikapku jelas, Jad, kalau kau tetap menikahkan anakmu dengan anak Suradi itu, maka lebih baik Rahman pergi dari Walituban! Atau, aku akan membawa massa untuk menyerangmu. Aku tidak peduli sekalipun kau masih adikku sendiri! Ingat itu, Jad!”

Kiai Sajad tercekat mendengar ancaman Kiai Abdul, apa yang ditakutkannya ternyata akan betul-betul terjadi. Ia tiba-tiba teringat bagaimana Kiai Abdul melempari sebuah gereja di kota sebelah dengan telur busuk, ia ingat bagaimana Kiai Abdul menghancurkan pintu dan kaca jendela balai desa ketika terjadi diskusi tentang pandangan kiri di sana. Ia ingat semua keberingasan Kiai Abdul, dan kini ia sendiri yang berhadapan dengan ancaman itu. Kiai Sajad tak sanggup berpikir, dibiarkannya Kiai Abdul pulang tanpa pamit. Sementara bunyai Sajad terus melafalkan wirid, jantungnya berdegup kencang. Dihampirinya suaminya yang terpaku dengan tangan terkepal di ruang tamu, diusap-usapnya lengan Kiai Sajad agar suaminya itu menenangkan diri, sekalipun dirinya sendiri dalam ketakutan.

Keduanya saling berpandangan, pandangan kebimbangan sepasang suami istri yang menginginkan kebahagiaan bagi anaknya namun terhalang oleh pandangan dunia terhadap mereka. Pandangan yang sepotong, pandangan yang tak utuh. Digenggamnya tangan Kiai Sajad, genggaman seorang ibu yang tahu pilihan apa yang hendak diputuskan untuk kehidupan anaknya, sekalipun harus mengorbankan hati seorang ibu itu sendiri.

***

“Aku kalah, Nawang… Aku kalah. Kita kalah melawan tirani kekuasaan yang dijalankan oleh orang-orang yang membenar-benarkan diri. Kita kalah melawan orang-orang yang homogen yang membenci perbedaan”

Diucapkannya kata-kata itu entah untuk keberapa kalinya. Ditatapnya kedua mata Nawang yang selalu teduh. Perempuan berpaham kiri yang dianggap berbahaya bagi orang-orang seperti Kiai Abdul. Rahman sendiri kadang tak mengerti, perempuan sebaik Nawang, yang halus kata-katanya, lembut tutur bahasanya, dan teduh pandangan matanya, dianggap berbahaya hanya karena pemikiran.

“Bukan, kita tidak kalah, Rahman. Kita hanya baru memulai berjuang. Kau ingat kau sering bercerita tentang Al-Hallaj?” Rahman menatap Nawang dalam-dalam, menyimak kata-kata Nawang dengan seksama.

“Kau bilang bahwa Al-Hallaj dieksekusi lantaran pemikirannya tentang Tuhan dianggap berbahaya. Tetapi lihat, sampai saat ini, ajaran sufinya terus berkembang. Betapa pemikiran tidak bisa dibunuh, Rahman. Begitu pula cinta. Cinta Al-Hallaj kepada Tuhan tak bisa mati bahkan meski ia dibunuh dengan berbagai cara keji sekalipun”

Rahman menghela nafas panjang, kini tatapannya memandang laut lepas di hadapannya. Diingatnya kembali setahun lalu ketika ia harus pergi dari rumahnya sendiri lantaran ancaman Kiai Abdul kepada bapaknya. Rahman tahu, bukan lantaran Kiai Sajad takut terhadap ancaman itu, tetapi Kiai Sajad menghindari hal buruk yang bakal terjadi. Maka Rahman pun memilih untuk meninggalkan keluarga besarnya, dan tinggal di luar kota, bersama Nawang, perempuan kiri yang kini menjadi istri sahnya. Meski begitu, berkali-kali ia hadapi perasaan penyesalan yang luar biasa.

“Apakah aku bersalah, Nawang? Karena memaksakan kebahagiaanku sendiri, aku harus memisahkan anak dari ibunya. Memisahkanku dari ibuku sendiri.”

“Tidak, Rahman. Tidak ada yang bisa memisahkan hati ibu dari hati anaknya. Cinta ibu dari cinta anaknya. Bahkan jarak terjauh sekalipun. Tidak ada yang bisa membunuh pemikiran, tidak ada yang bisa membunuh cinta”

“Iya, Nawang. Pemikiran tak bisa dibunuh, cinta tak bisa dibunuh, dan pilihan hidup harus terus dikayuh, seberat apapun, sekeras apapun. Dan pilihanku untuk hidup bersamamu, akan terus kuperjuangkan. Sekalipun aku harus pergi dan jauh dari ibuku dan orang-orang yang kusayangi. Prinsip ini, Nawang, bukan karena aku keras kepala kan?”

“Tentu tidak Rahman. Aku tahu bahwa kelembutan hati seorang Ibu dan keteguhan hati seorang bapak tak akan ada habisnya, begitu pula pada ibumu, pada abahmu. Doa mereka menghampiri kita setiap langkah. Aku tahu itu”

Rahman tersenyum lega, di laut lepas itu, diedarkannya salam dan doa-doa untuk ibu dan bapaknya. Doa cinta yang tak habis. Sedang jauh di suatu tempat, di sebuah senja bergelarkan sajadah, bunyai Sajad dan Kiai Sajad saling mengalun doa yang tak habis-habis. Untuk bocah lanang mereka. Demi kebahagiaan bocah lanang itu bahkan mereka harus mengorbankan diri mereka sendiri, merelakan diri berjauhan dengan anak kesayangan mereka. Meski dalam ketidakmampuan mereka melawan kehendak Kiai Abdul dan kroni-kroninya, mereka tahu bahwa kebenaran sekalipun dalam keheningan kelak akan mengalahkan keburukan yang dikobar-kobarkan, seperti halnya mereka tahu bahwa perempuan kiri bernama Nawang adalah istri pilihan Rahman yang sesungguhnya, perempuan tepat bagi anaknya.


Semarang, 24 Februari 2014


*Kitab dasar untuk memahami tata bahasa Arab
**Kitab yang berisi 1000 syair tentang tata bahasa Arab
***Tafsir alquran yang ditulis oleh Imam Suyuthi
****Kitab yang berisi syair-syiar tentang kisah hidup Nabi Muhammad

Ilustrasi: http://bucimuchalpujakemi.wordpress.com/2013/09/21/perempuan-dalam-lukisan/