Cerpen

Santri Baru Taslim

Ahad, 2 Oktober 2016 | 06:13 WIB

Oleh Mohammad Zen
Ada yang berbeda dari kamar nomor lima daerah kawasan Ibnu Hajar. Terlihat tambahan satu lemari pojok sebelah kanan samping pintu. Memang satu kamar hanya mampu menampung maksimal lima lemari.

Rupanya ada santri baru menghuni di kamar tersebut.

“Gus, penerimaan santri baru kan sudah usai, kok masih ada tambahan santri di kamar saya,” tanya Saleh kepada Gus Taufik selaku ketua pengurus bagian Humas. Saleh sendiri merupakan ketua kamar lima yang memang bertanggung jawab atas semua keadaan kamar.

“Tidak apa-apa, Saleh, tak keberatan kan kau kutempatkan santri itu di kamarmu utuk sementara saja,” ucap Gus Taufik.

“Iya, Gus, tidak apa-apa. Tapi kok mendadak, Gus?”

“Orang tua anak itu memohon-mohon kemarin agar anaknya minta dipondokkan di sini,” jawab Gus Taufik.

“Memang Pak Kiai mengizinkan, Gus?”

“Kalau menurut aturan sih sudah tidak boleh lagi menerima santri bulan ini karena waktu penerimaannya sudah habis, tapi ini sudah perintah langsung dari Pak Kiai semalam kepadaku,” jelas Gus Taufik.

“Oalah gitu, Gus, namanya siapa, Gus, santri baru itu?”

“Muhammad Taslim, dipanggil Taslim. Kenapa Saleh?”

“Tidak apa-apa, Gus, kelihatan... hehehe,” kata Saleh tak sempat menyelesaikan perkataannya. Tapi sepertinya Gus Taufik mengerti.

“Biasa masih santri baru, nanti juga membaur seperti yang lain,” jawab Gus Taufik dengan tersenyum.

Taslim. Ia berasal dari salah satu kota besar di Jawa Timur. Umurnya baru delapan belas tahun. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan keluarga yang bapak dan ibunya bercerai. Sejak umur 10 tahun ia tinggal dengan ibunya yang sehari hari bekerja sebagai buruh pabrik. Keadaan ini membuatnya tumbuh dalam keadaan psikologis yang sedikit rusak. Apalagi sejak ia mulai sekolah di SMA ternama. Banyak kelakuan nakalnya yang semakin menjadi. Terahkir ia  ikut tawuran antarsekolah. Ia sempat dibawa ke kantor polisi dan mendapat hukuman ringan. Kelakuannya semakin membuat ibunya geram dan mulai berpikir untuk memasukkan anaknya itu pondok pesantren. Ini yang menjadi pertimbangan pihak pengelola pondok, terutama Pak Kiai, untuk tetap menerimanya, walaupun jangka penerimaan santri baru telah habis.

“Assalamualaikum, Taslim,” sapa Saleh hendak mengajaknya bicara.

“Siapa kau?” dengan tak menjawab salam, Taslim malah balik bertanya dengan wajah tidak senang.

“Perkenalkan, namaku Saleh, ketua kamar di sini”

Taslim tak menghiraukan sedikit pun pembicaraan Saleh. Dia menganggap Saleh hanya sombong belaka karena menjabat sebagai ketua kamar. Dari awal Taslim sudah tidak setuju kalau dirinya harus ada di pondok. Di pikirannya anak pondok itu kampungan, dekil, norak, dan ketinggalan zaman. Apalagi ditambah realita kehidupan pondok yang serba sederhana, disiplin, dan tentunya harus keluar dari zona nyaman kehidupan luar. Ini semua jelas tidak cocok dengan gaya hidup Taslim. Tapi apa daya karena sudah paksaan dari ibunya, Taslim terpaksa menuruti.

“Ya sudah, selamat datang di kamar ini, semoga kau cepat kerasan,” ucap Saleh kembali. Taslim tetap saja diam. “Kalau ada yang perlu dibantu tidak usah sungkan-sungkan, bilang saja,” sambung Saleh.

Sambil melihat ke arah Saleh, Taslim pun bicara, “aku perlu kau pergi, aku ingin sendiri,” katanya dengan nada serius. Mendengar jawaban Taslim, Saleh hanya tersenyum, kemudian berlalu.

Azan maghrib mulai berkumandang. Semua santri bergegas mengambil air wudhu. Kemudian lanjut ke mesjid sambil membawa Al-Qur’an karena sehabis shalat berjamaah kegiatan di pondok itu adalah setoran ngaji Al-Qur’an sampai waktu isya tiba. Taslim pun dengan tubuh terpaksa mengikuti santri yang lain, dia bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, walaupun sebenarnya tak tahu cara wudhu yang benar karena shalat pun jarang.

Maghrib berjamaah pun usai. Kini berlanjut dengan setoran baca Al-Qur’an. Masing-masing santri biasanya menyetor bacaan  kepada ustad atau pengurus yang ditunjuk langsung kiai. Setor bacaan Al-Qur’an ini memang agenda yang tidak boleh dilupakan sedikit pun karena ditekankan penuh kiai. Hal ini bertujuan agar santri tak lupa dengan budaya baca Al-Qur’an.

“Hai, kau santri yang namanya Taslim?” ucap salah seorang santri.

“Iya, ada perlu apa kau?”

“Kau dipanggil Gus Taufik.”

“Mau apa dia?”

“Bagian setor Al-Qur’an, kamu ke Gus Taufik.”

“Gus Taufik? Siapa dia?”

“Dia pengurus pesantren bagian Humas. Nah kau dapat bagian setor Al-Qu’an kepadanya malam ini,” ucap santri itu dengan lebih jelas lagi.

“Bilng kepada dia, aku lagi ga enak badan, mau ke kamar,” ucap Taslim singkat, kemudian segera beranjak dan berlalu turun dari mesjid menuju kamar.

Dari kejauhan, diam-diam Gus Taufik memperhatikan percakapan santri yang disuruhnya untuk memanggil Taslim. Setelah mendengar penjelasan dari santri yang disuruhnya, Gus Taufik hanya tersenyum kemudian melanjutkan kembali tugasnya. Dilihatnya Taslim dengan muka kebohongan bergegas turun dari mesjid.

“Hei, kau,” suara lantang terdengar memanggil Taslim. Ia sadar panggilan itu tertuju kepadanya, tapi tak menghiraukan panggilan tersebut dan tetap berlanjut jalan.

“Hei kau yang jalan, tak dengar kau orang paggil di sini,” ternyata yang berteriak bernama Bahar. Ia merupakan kepala keamanan pusat pesantren. Mukanya hitam sangar, badan tinggi, tegap dann berisi. Di tangannya, pesantren menjadi disiplin, banyak kasus santri yang ia selesaikan, dari pencurian sampai santri yang berani berhubungan diam-diam dengan santri putri. Ditambah badan tinggi, tubuh kekar, dan suara yang lantang, pantas bila Bahar dipercaya kyai untuk menjadi kepala keamanan pesantern selama tiga tahun.

Taslim pun berhenti melangkahkan kakinya. Ia menoleh ke arah Bahar, memandang dalam-dalam mukanya.

“Kau memanggilku?” tanya Taslim dengan santai.

“Siapa yang mengajari kau menjawab lancang dan mengangkat kepala kepada pengurus?” tanya Bahar serius.

“Harus sebegitu bodoh? Harus menundukkan kepala kepadamu?”

“Sudah tak tahu sopan santun, tak sadar juga kau dengan salahmu? ”  

“Memang apa salahku?”

“Ngapain kau turun dari mesjid sekarang? Bukannya masih waktunya kegiatan sekarang?” tanya Bahar.

Belum sempat Taslim menjawab, ada suara yang memanggil Bahar.

“Bahar, sudah tinggalkan saja anak itu,” ucap Gus Taufik yang tiba-tiba muncul dari belakang. Mendengar ucapan Gus Taufik, Taslim pun secepatnya berlalu.

“Siapa santri itu, Gus?” tanya Bahar kepada Gus Taufik.

“Dia Taslim, santri baru di sini, baru tadi siang di sini.”

“Pantas dia lancang sekali, Gus.”

“Sudahlah Bahar, santri macam ini biar aku yang coba urus.”

Di dalam kamar, Taslim semakin gelisah. Jauh dari pikiran mengenai beberapa kejadian tadi, dia merasa semakin terpuruk dan tertekan berada dalam lingkungan pesantern seperti ini. Pikirnya jangankan makan, tidur pun tak enak.

Sekitaran jam 11 malam, di waktu kegiatan pesantren telah usai, segera ia menyaipakan ranselnya, dimasukkan semua baju. Taslim pun akhirnya memilih jalan untuk kabur dari pesantren. Malam yang gelap dan jalanan di luar yang belum ia paham, tak dihiraukan. Taslim tetap bertekad untuk pergi. Agar tidak ketahuan pengurus pesantren, ia memilih jalan belakang, melompati jendela kamar, kemudian menaiki pagar pembatas pondok. Namun Taslim belum tahu, setiap malam terdapat beberapa santri yang berkeliling pondok sebagai tugas piket malam menjaga keamanan pesantren dari luar. Salah satu santri yang bertugas bernama Tayyib menemukannya. Melihat Taslim kabur, santri itu pun mengejarnya, tapi dia tak dapat mengejarnya. Santri itu pun segera kembali ke pesantren hendak melapor kepada Bahar.

“Bahar,..!” dengan suara yang masih terpatah-patah ia memanggil Bahar

“Iya ada apa?” bahar menanggapi serius kedatangan Tayyib.

“Ada santri kabur tadi”

“Hah? Sungguh? Dari mana tau kau itu santri?”

“Aku masih lihat dia tadi di masjid, waktu shalat maghrib berjamaah, dia di sebelahku,”

“Siapa dia? Siapa namanya?”

“Aku tak tahu namanya,”

Mendengar laporan tersebut, Gus Taufik yang dari tadi bersama Bahar, akhirnya bergegas pergi ke kamar Saleh. Tak lama pun Gus Taufik kembali.

“Bahar, yang kabur itu Taslim,” ucap Gus Taufik.

“Sudah kuduga, Gus.”

“Biar aku saja yang urus dia besok”

“Kenapa enggak sekarang, Gus?”

“Kereta mana ada yang berangkat malam begini, aku yakin besok dia masih di stasiun,” ucap Gus Taufik yakin.

Transportasi satu-satunya untuk keluar dari daerah pesantren hanya kereta api saja, dan hanya melayani pemberangkatan pada pagi sampai sore. Memang Taslim pun tidak akan berani jalan kaki untuk keluar memang kawasan yang masih pedalaman ini yang menjadi pertimbangan Gus Taufik.

Keesokan harinya, sepagi mungkin Gus Taufik bergegas berangkat ke stasiun, dan dugaannya pun tidak meleset. Tak lama pula ia mencari Taslim. Ia duduk di kursi pemberangkatan.

“Jam berapa keretanya berangkat?” tanya Gus Taufik.

Muka Taslim tiba-tiba kaget melihat Gus Taufik duduk disampingnya, belum sempat Taslim menjawab, Gus Taufik udah kembali berucap, “sudah makan belum? Baiknya makan dulu sebelum berangkat,” kata Gus Taufik kembali sambil menyodorkan nasi bungkus. Taslim pun tak sanggup kalau harus menolak nasi bungkus itu karena ia memang benar-benar lapar.

“Kenapa Sampeyan di sini?” tanya Taslim.

“Untuk menemuimu, Taslim!”

“Untuk apa? Mengajakku kembali ke pesantren?”

“Awalnya sih begitu niatku, tapi setelah melihat kau mau menerima nasi bungkus itu, aku jadi bingung.”

“Saya tak mengerti, maksud sampeyan apa?” tanya Taslim heran.

“Awal di pesantren dulu, aku  juga mengalami keadaan sepertimu.”

Mendengar jawaban itu, Taslim semakin keheranan dan bingung maksud dari Gus Taufik. Namun ia mulai berpikir mengapa ia begitu dipedulikan, Taslim pun kembali bertanya.

“Kenapa Sampeyan begitu peduli kepada saya?”

“Karena kamu dititipkan kepadaku oleh orang tuamu sendiri. Jadi, aku punya tanggung jawab kepada orang tuamu.”

“Kenapa begitu yakin, saya akan kembali ke pesantren?”

“Setidaknya saya sudah berusaha untuk mengajakmu kembali.”

Taslim hanya terdiam mendengar jawaban tersebut, “beginikah rasa persaudaraan dibangun di pesantren,” ucap Taslim dalam hati.

“Aku tak berhak memaksamu untuk kembali ke pesantren, ini hidup kamu. Dan jadi santri, tak seburuk yang kau pikirkan saat ini,” ucap Gus Taufik kembali sambil memegang pundaknya dan menatap mukanya dengan tersenyum.

Gus taufik kembali  berkata,“habiskan makanmu, lalu bergegaslah pulang, sampaikan salam pesantren kepada keluargamu. Apabila hendak berubah pikiran, kembalilah ke pesantren, tangan kami selalu terbuka,” ucap Gus Taufik sambil beranjak pergi.

Taslim masih diam. Di hadapannya dua jalan. Maknanya sama–sama pulang, tapi ke rumah atau pesantren?